Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Surat Dari Venus
5.0
Komentar
34
Penayangan
19
Bab

Semakin bertambahnya zaman, saat ini ada banyak hal yang dinormalisasikan. Hal buruk menjadi kebanggaan, bahkan sebuah trend. Namun siapa sangka, hal buruk tersebut ada di balik keadilan, kebaikan, dan kejujuran? Seperti langit malam bertabur bintang. Sekalipun gelap mengililingi, masih ada setitik cahaya bagi mereka yang dapat melihatnya. Tentang perjalanan seorang gadis penderita PTSD yang mencari cinta sejatinya dan menyembuhkan diri. Ran, bersama Nenek Mariyati, Sunny dan Kinan, ia menemukan sebuah keluarga yang telah lama ia rindukan. Bersama Venus, ia belajar mencintai seseorang.

Bab 1 Pertemuan Dua Orang Kesepian

"Ran, cepat berangkat sebelum ketinggalan bus dan kamu terlambat sekolah lagi!!" teriak seorang wanita paruh baya sembari menggunakan celemek di tubuhnya. Wanita itu sudah berkepala lima, namun sosoknya masih terlihat bugar melihat dari gaya bicaranya yang lantang.

"Iya nek, sebentar... aku melupakan dasiku," jawab Ran.

Ran memang gadis yang cukup ceroboh. Dia terlalu menyepelekan hal – hal kecil, dan itu sudah beberapa kali merusak harinya seperti kasus dasi pagi ini. Semalam, nenek sudah mengingatkannya untuk segera menyiapkan perlengkapan sekolah agar tidak ada yang kurang ketika pagi hari. Ia mendengarkan saran nenek, lalu menyiapkannya. Namun, ia melewatkan sesuatu, yaitu dasi masih ada di keranjang cucian kotor. Ia baru menyadarinya ketika tengah malam. Alhasil, ia harus mencuci dan menjemur dasi malam itu juga.

Lorraine Estelle adalah nama lengkap yang diberikan oleh ibu Ran dulu ketika ia lahir. Nama yang sangat sulit diucapkan bagi lidah Orang Jawa. Tidak sekali dua kali orang – orang salah menyebutkan namanya. Ia sendiri heran bagaimana bisa ibunya yang seorang gadis desa biasa, yang tidak pernah tau dunia luar, bisa memberikan nama itu.

Ran berumur tujuh belas tahun. Ia duduk di bangku kelas sebelas SMA semester dua, yang sebentar lagi akan ujian untuk kenaikan kelas. Begitu cepat waktu berlalu semenjak Ran diadopsi oleh Nenek Mariyati dari panti asuhan. Kira – kira lima tahun lalu saat dia akan menduduki bangku SMP.

Ran adalah gadis yang memiliki tinggi sekitar 168 cm, dengan berat badan 56 kg. Tubuh yang ideal dan idaman bagi para gadis. Ia memiliki mata bulat berwarna hitam legam yang dihiasi dengan bulu mata lentik. Rambutnya hitam lurus sepanjang bahu. Kulitnya berwarna kuning langsat, bersih, karena sekalipun ia adalah anak yang ceroboh ia suka merawat tubuhnya.

Ran memang tidak memiliki kecantikan yang trendi pada masa sekarang, seperti badan putih dan menggunakan lensa mata. Ia cukup sederhana, namun tetap berpenampilan rapi dan enak dipandang.

Nenek Mariyati adalah seorang janda tua yang kehilangan suami sekaligus anaknya pada kecelakaan maut tahun 2013. Tepat setahun sebelum bertemu dengan Ran. Kecelakaan itu terjadi saat suami dan putri semata wayangnya sedang mengantarkan pesanan ke pembeli yang lokasinya juga tidak terlalu jauh, dari rumah makan mereka.

Sebelum kecelakaan itu terjadi, ternyata ada seorang anak kecil yang menyeberang jalan dengan tiba – tiba, membuat suaminya terkejut. Karena berusaha menghindar agar tidak menabarak anak kecil itu, suami dan putrinya menabrak truk barang yang melintas berlawanan, hingga menewaskan keduanya.

Kejadian tragis tersebut membuat Nenek Mariyati sampai masuk rumah sakit jiwa akibat serangan panik. Dan, pertemuan dengan Ran adalah obat terbaik yang membuat Nenek Mariyati menemukan alasan hidupnya kembali.

Pertemuan mereka cukup unik dan tidak disengaja. Terjadi sekitar enam bulan setelah Nenek Mariyati masuk rumah sakit jiwa. Kala itu Nenek Mariyati sedang jalan – jalan bersama perawatnya ke luar untuk menghirup udara sore. Di sebelah rumah sakit, terdapat sebuah taman yang ramai dikunjungi penduduk sekitar, terutama anak kecil karena ada wahana bermain disana.

Kebetulan Ran sedang mengamen dengan biola tuanya di taman itu. Ia sudah memainkan biola sejak umur enam tahun. Diumurnya yang keempat belas tahun, kini ia sudah menguasai dua puluh lima musik klasik. Padahal sebelumnya, ia tidak pernah mengikuti les biola karena les biola mahal. dan dulu orang tuanya tidak memiliki uang lebih, bahkan untuk makan sehari saja sudah kesulitan. Biola itu juga pemberian dari mendiang kakeknya, dan saat itu sudah berumur lima puluh tahun.

Ran hanya memperhatikan pemusik gereja yang mengiringi panduan suara, setiap ia dan ibunya melakukan ibadah pada hari minggu pagi. Itu terjadi sebelum ia berpisah dengan ibunya, dan akhirnya tinggal di panti asuhan. Setelah di panti asuhan, ia sering berlatih sendirian ketika tidak ada kelas membaca dan menulis. Ia juga membeli beberapa kaset dvd musik klasik di pasar, setiap ia keluar bersama penjaga panti asuhan untuk bebelanja. Untungnya, panti asuhan berbaik hati untuk meminjamkan televisi dan pemutar dvd padanya, dua jam setiap hari. Ia sangat menyukai biola, karena biola yang bisa menghibur kesepiannya saat itu.

Mendengar bunyi biola yang begitu indah, Nenek Mariyati teringat akan putri semata wayangnya yang juga suka memainkan biola. Lantas Nenek Mariyati bangkit dari kursi rodanya, dan berlari keluar dari area rumah sakit jiwa. Perawat yang menjaga Nenek Mariyati sampai kewalahan, sampai meminta tolong satpam untuk membantunya. Meskipun sudah berumur, ternyata Nenek Mariyati masih memiliki tenaga yang tak kalah dari anak muda. Pelatihan saat di kebun bersama orang tuanya ketika kecil, yang mengharuskannya menaiki bukit saat malam hari ternyata sangat berguna.

Di taman itulah Nenek Mariyati menemukan Ran. Gadis kecil yang cantik dengan topi rajut merah dan biola tua. Setelah pertemuan itu, Nenek Mariyati harus mendapatkan terapi yang lebih intens dari sebelumnya untuk menyadarkan diri bahwa Ran bukan putrinya.

Kehadiran Ran cukup membantu selama proses pengobatan berlangsung. Ran tidak keberatan mengunjungi Nenek Mariyati di rumah sakit secara rutin, untuk memainkan beberapa lagu dengan biolanya. Tidak lupa, Ran didampingi salah satu pengurus panti asuhan karena ia masih dibawah umur.

Satu persatu memori muncul dalam ingatan Nenek Mariyati, sampai ia menyadari bahwa Ran bukan putrinya. Ketika ia mengingat kembali, Ran dan putrinya terlalu banyak perbedaan. Ran mampu berdiri dengan baik dan memiliki kondisi yang utuh. Sedangkan putrinya tidak bisa menggunakan kaki dengan baik dan hanya duduk di kursi roda, akibat penyakit disabilitas intelektual yang merusak jaringan otot kaki. Tetapi, meskipun ia sadar Ran bukan putrinya, Nenek Mariyati tetap jatuh cinta pada Ran dan ingin mengadopsi gadis itu.

Prosedur adopsi tidak begitu saja dengan mudah dilakukan, memperhitungkan kondisi Nenek Mariyati saat itu. Salah satu syarat mengadopsi anak adalah mampu; mampu menafkahi, mampu memberi kasih sayang, dan mampu secara mental. Jadi, Nenek Mariyati berniat untuk memperjuangkan kesembuhannya terlebih dahulu agar layak di mata hukum untuk menjadi wali dari Ran.

Setelah selesai dengan persiapan dasinya, Ran keluar dari kamar dan memakai sepatu. Ketika ia hendak berpamitan pada Nenek Mariyati, wanita paruh baya itu sudah tidak ada di rumah. Untungnya Ran tahu dimana pada pukul itu neneknya berada.

Ran berjalan menuju rumah makan yang berada tepat di samping rumahnya. Rumah makan itu adalah usaha milik neneknya yang sebelumnya dirintis bersama mendiang suami.

Sebelum mengadopsi Ran, Nenek Mariyati ternyata sudah memperhitungkan bagaimana ia menghidupi Ran. Tabungan dan asuransi yang masih disimpan, digunakan untuk membeli rumah yang nyaman untuk ditinggali berdua, dan mendirikan usaha di samping rumah.

Usaha itu adalah rumah makan. Sebuah bisnis yang dulu pernah Nenek Mariyati tekuni bersama mendiang suaminya. Sekalipun rumah makan itu tidak semewah rumah makan kebanyakan, ternyata nama Nenek Mariyati sudah banyak dikenal orang karena cita rasa masakannya. Secara tidak langsung, hal itu menjadi branding dari usahanya. Bahkan, Nenek Mariyati sudah menerima banyak pesanan cathering dari acara tasyakuran, dan pernikahan. Kini, hasil dari jerih payah itu digunakan untuk merenovasi rumah serta pendidikan Ran. Tak lupa, setiap dua bulan sekali, Ran dan Nenek Mariyati memberi bantuan ke panti asuhan yang dulu merupakan tempat tinggal Ran.

Ran tersenyum ketika melihat semua bangku penuh dengan pengunjung. Nenek Mariyati bersama Mbok Darmi juga terlihat sibuk kesana kemari untuk melayani pengunjung. Ia bangga terhadap Nenek Mariyati dan merasa bersyukur karena beliau mau membantunya keluar dari panti asuhan serta bertanggung jawab atas hidupnya. Ia tidak tahu apakah akan ada orang yang sudi mengadopsinya, jika Nenek Mariyati tidak datang.

"Nek, Ran berangkat dulu!" ujar Ran dengan suara yang sedikit lantang.

Nenek yang mendengar itu bergegas menghampiri Ran dan menepuk bahunya, "Kamu tuh ada banyak pengunjung malah teriak – teriak," katanya.

Ran menyengir menampilkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi, lalu ia membalas, "Maaf Nek, aku melihat nenek sibuk hihi."

"Yaudah sana berangkat, hati – hati di jalan, ini ada uang saku dipakai buat makan siang ya."

Ran meraih tangan nenek dan mengecupnya. "Aduh nek, uang yang kemarin masih ada kok, Ran kan juga udah punya pekerjaan, itu buat nenek aja," ujarnya.

"Udah... nenek sibuk, kamu lekaslah berangkat," balas Nenek Mariyati sembari memasukan uang lima puluh ribu ke dalam saku rok sekolah Ran, dan berlalu meninggalkan Ran untuk melanjutkan pekerjaannya.

Ran mendengus, namun dia juga tidak berniat untuk menghampiri nenek dan mengembalikan uang itu karena bakal terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai.

Lantas, Ran melambai pada Mbok Darmi sembari meninggalkan rumah makan menuju halte bus terdekat. Beruntungnya, Ran sampai tepat waktu ketika bus terakhir menuju sekolah tiba.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku