Jodoh Dari Ayah

Jodoh Dari Ayah

Rohma Fatim

5.0
Komentar
14.7K
Penayangan
70
Bab

"Aku mencintaimu Al, sejak saat itu... Saat pertama kita bertemu ketika aku dan orang tuaku datang untuk melamarmu" ucap laki-laki itu pada gadis yang kini sedang ia tatap. Keduanya dijodohkan oleh orang tua mereka, tanpa tahu dengan siapa dan dengan paksaan harus menerima. Apalagi Genta, yang saat itu masih memiliki beberapa pacar, sebagai pembenaran atas predikat play boy yang ia sandang. Namun siapa sangka saat Genta melihat gadis pilihan orang tuanya itu, untuk pertama kalinya ia langsung dibuat jatuh cinta. Tapi apakah sang wanita mampu menerima jodoh pilihan ayahnya? Yang tak lain adalah Genta Mackenzie. Dan ... apakah ungkapan dari laki-laki bule yang sedang duduk dihadapannya itu akan ia terima?

Bab 1 Lamaran

"Al! Besok kamu jangan ke mana-mana!"

Suara Ayah yang tiba-tiba itu, sontak mengagetkanku.

"Memang ada apa Yah?"

Tak biasanya seperti itu. Padahal tanpa di suruh pun, jika tak ada kelas maka aku akan diam saja di rumah.

Tapi pertanyaanku tidak disambut ramah. Ayah hanya memandang sekilas hingga akhirnya duduk tepat di depanku.

"Besok teman Ayah akan datang untuk melamar kamu." Ucapnya dengan muka datar. Namun tetap membuat kumis tipisnya ikut bergerak.

Mendengar itu bukan hanya bulu kudukku. Bulu ketek dan bulu hidung pun ikut berdiri mendengar jawaban itu. Otakku benar-benar ngeblank!

Jantung sudah lari maraton, sedang hati juga mulai resah menanti ucapan selanjutnya dari Ayah.

"Dan Ayah tak akan menolak lamarannya!"

Degh! Hatiku lemas, jantungku lelah. Badanku tak lagi mampu menopang bobot sendiri, dudukku pun seketika merosot.

"Benarkan ini? Bahkan keinginan berumah tangga saja aku tak memilikinya" Hatiku terus menduga-duga.

"Ini becanda kan Yah?!" Mungkin saja kan, Ayah tahu kejahilan anak jaman sekarang hingga ingin mempraktikkan pada anaknya sendiri.

"Ayah serius! Hal seperti ini tak pantas jika dijadikan bahan guyonan!"

Jika tadi hanya jantung dan hati yang lemas, kini empedu dan pankreas pun ikut tak terima mendengar ucapan Ayah. Sungguh malang nasibku, Mak!

"Mah ... " Aku menatap Mama dengan mata yang memerah. Ucapan Ayah memang sepertinya bukan guyonan, tapi otak masih berharap bahwa ini bukan kenyataan.

"Aku nggak mau nikah sama Om-om Yah. Aku nggak mau sama laki-laki tua!" Sesak yang kupendamkan beberapa detik ini akhirnya aku keluarkan.

Jelas! Siapa yang mau menikah dengan Om-om. Jika sudah saling kenal mungkin tak masalah, tapi ini? Bahkan seperti sedang membeli merpati yang masih terbang di awang.

"Kok tua?" gumam Ayah yang masih bisa terdengar olehku.

"Bukankah teman Ayah yang akan datang melamar aku?! Bisa disimpulkan kalau laki-laki itu sudah tua kan?!"

"Astaga! Al ... Bukan begitu."

Bukan meneruskan ucapannya. Tapi malah tawanya yang kemudian menggema. Tak ibakah pada aku, Anaknya ini.

"Teman Ayah memang datang untuk melamar kamu ... " ucapannya terjeda karena bibirnya seperti masih menahan tawa.

"Tapi, bukan untuk dirinya sendiri. Tapi untuk anaknya!"

Demi apa! aku ingin menangis. Mataku yang semula hanya berembun dan belum basah kini telah mengucur deras.

"Lah, Malah nangis. Ini gimana siih?"

Semakin aku kencangkan saja suaraku, kala mendengar suaranya itu. Sebagai aksi protes karena dengan sesuka hatinya, menjodohkan anaknya tanpa meminta persetujuan dulu.

"Kalau ngomong yang jelas dong, Yah. jangan setengah-setengah gitu. Jatuhnya jadi ambigu!"

Meski aku kecewa, namun masih belum melihat adanya celah untuk menolaknya. Biarlah aku pikirkan nanti.

"Tapi kan, bener ... " jawabnya dengan kekehan kecil di akhir kalimatnya.

Astaga! Tak ada ibakah di hati lelaki tua yang selalu aku agungkan itu? Kenapa masih bisa menertawakanku seperti itu!

"Aku kan masih muda Yah. Kenapa harus menjodohkanku segala" Aku mendesah pelan, kali ini.

"Nggak ada yang menjodohkan kamu Al ... Nggak ada!"

"Kalau nggak ada. Lalu ini apa namanya Yah?!" Astaghfirullah.

"Kan dia yang memang mau datang melamar. Ayah nggak ada niat sama sekali buat jodohin kamu"

Orang tua memang omongannya selalu benar. Jadi yang nggak mau disalahkan bukan hanya perempuan saja, tapi laki-laki juga, sama saja.

"Lalu tadi, Kenapa bilang akan menerima lamaran itu. Apa itu masih belum cukup dikatakan bahwa Ayah mau menjodohkan aku!" Perutku tiba-tiba lapar menghadapi masalah seperti ini, huh.

Dan, lagi! Kenapa Mama dari tadi hanya diam saja, kenapa tidak membelaku. Apakah ini merupakan hasil dari konspirasi keduanya?

"Dia pemuda yang baik, meski bukan makhluk alim, tapi dia tahu kondratnya sebagai hamba tuhan. Dan yang jelas lagi dia sudah mapan juga pandai mengurus kantor. Jadi kalau sewaktu-waktu ayah butuh bantuan di kantor, ia bisa diandalkan" Alasan macam apa itu,

"Huufft ... Oke baiklah. Semoga yang Ayah katakan memang benar" Hatiku memberikan sinyal, mungkin kali ini aku memang harus mengalah.

Bukankah perihal jodoh sudah ada aturannya, jika memang dia nantinya bukanlah jodohku pasti ada jalan untuk lari darinya. Benarkan?

"Namanya Genta. Genta Mackenzie!" Tanpa aku minta Ayah sudah menyebutkan nama pemuda yang katanya sudah mapan itu.

Optimis yang tadi sudah aku bangun, kini mendadak hilang entah ke mana. Hati yang sebelumnya sudah siap menerima, kini kembali luruh ingin menolak semuanya.

"Mah ... Aku nggak mau nikah sama dia Mah. Mendengar namanya saja aku sudah merinding."

Entah mengapa, saat mendengar namanya disebut, aku langsung terbayang satu karakter detektif cilik dalam komik detektif Conan. Apakah ... bentuknya mirip? Aku bergidik ngeri membayangkan itu. Lupa jika air mata saja masih belum kering dari wajahku.

"Memang ada apa dengan namanya Al? Apakah kamu tidak percaya dengan pilihan Ayahmu? Insyaallah laki-laki itu benar adanya. Seperti yang Ayahmu katakan tadi"

Fix, Mama sama Ayah telah berkonspirasi dan bersekongkol untuk perjodohan ini. Aku yakin itu!

"Kak! Sesuai titah sang Romo. Kakak harus turun sekarang!" Apa-apaan itu, adik tak punya akhlak. Mengagetkan empeduku saja!

Dua puluh empat jam ternyata secepat itu berlalu, kemarin aku masih protes untuk menolak lamaran ini, namun kini keluarga pelamar sudah datang. Harus dengan cara apa aku menolaknya?!

Dan lagi, kenapa aku harus dandan secantik ini? Pakai bedak, pakai perona bibir, pakai minyak wangi, pakai baju bagus, pakai, eh ... kenapa jadi ngelantur gini!?

"Kak! Cepetan!" Suara Agus Kembali menggema. Kembali membangunkan otakku yang masih bertapa di perenungan. Dan ini, kenapa otakku berdetak kencang, eh jantungku. Apakah aku grogi?

Masih dengan hati berdebar ... Eh, astaga jantung berdebar. Eh jantung apa dada yang berdebar? Intinya itu. Aku berjalan di belakang mengikuti Agus.

Meski dia lebih muda dariku, tapi jauh lebih tinggi. Tentu langkah kakinya juga lebih lebar. Membuat aku yang langkahnya memang kecil ini akhirnya tertinggal.

Dan sialnya. Saat aku melihat wajah-wajah asing yang baru aku lihat hari ini, aku terpukau dengan satu wajah "Masyaallah duplikatnya Song Kang"

"Apa duplikatnya Kukang?" Dengan dahi yang berkerut laki-laki yang kupandangi takjub itu bertanya dengan lirih.

Astaghfirullah! Suara yang kukira hanya aku ucap dalam hati, ternyata juga terucap bibir. Dasar bibir laknat.

"Kak kalau lihat ada cowok ganteng, bisa jaga image dikit nggak? Aku kan juga ganteng, tapi Kakak nggak pernah terpesona"

Astaga! Ucapan macam itu? Tidak mungkin juga jika aku terpesona dengan adikku sendiri kan? Iya kan?

Semua terkikik geli, termasuk pemuda itu. Ah, inikah kesan pertama yang aku berikan pada mereka!?

Sekilas, aku melirik Ayah. Pria setengah abad itu, sekarang memandangku dengan senyum tipisnya.

Sedangkan Mama, dia seperti menikmati obrolan dengan calon besan. Eh, ... Calon besan?

Kutepuk pelan bibirku beberapa kali. Kalau ditepuk kasar, sayang masih perawan. Wkwkwkw

Satu yang seharusnya Ayah ingat. Wajah rupawan tak bisa menjamin sebuah kebahagiaan. Uang banyak juga tak selalu bisa mengubah derita menjadi bahagia. Tapi Ayah, ... Apakah laki-laki yang bahkan kini masih kupanggil ayah itu paham akan kata hatiku?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku