Seorang pemuda dari Suku Dayak Bakumpai menjadi boronan di kota gaib Saranjan. Pemuda bernama Lawen tidak tau pasti apa? kesalahannya, sampai Panglima tertinggi Saranjana sangat ingin menangkapnya. Raja Saranjana mengadakan saebara untuk menangkapnya dengan imbalan separuh keraja'an dan menikahi putrinya.
Laki-laki dari Suku Dayak Bakumpai bernama Lawen berlari tunggang langgang, ia di kejar oleh pasukan dari manusia dan robot.
Ia tidak mengetahui apa kesalah yang di perbuatnya sehingga di kejar dan hendak mereka tangkap.
"Kamu berhenti, jangan lari." Teriak pemimpin pasukan itu.
Lawen tidak mau menuruti teriakan itu ia terus saja berlari, hutan di depan sama sekali tidak ia kenal.
Hutan ini sangat asing baginya karna sangat ketakutan akan di tangkap tanpa pikir panjang dengan langkah kencang masuk ke dalam hutan.
"Tuan kita tidak mungkin mengejarnya lagi, ini sangatlah berbahaya." Ucap salah satu prajurit yang mengejar Lawen.
"Manusia itu pasti akan mati kalau sudah memasuki hutan terlarang, ayo kita pulang kembali ke istana."
Rombongan prajurit itu putar balik meninggalkan Lawen yang terus berlari ke dalam hutan, cahaya matahari tidak bisa menembus dedaunan pohon yang semuanya berjejer menjadi satu. Batang pohon dan akar semuanya sangat besar saking besarnya bisa untuk membuat satu perahu hanya dengan satu akar pohon.
Semakin ke dalam semakin gelap, hingga mengganggu penglihatannya.
"Oh Tuhan dimana aku ini, kenapa tempat ini begitu asing bagiku. Dan apa mau orang orang itu hingga mengejarku sampai sejauh ini." Gerutu Lawen dalam hati.
Karena pandangan yang terbatas ia tersandung sebuah akar kayu yang besar, ia terjungkal di sela sela akar kayu.
Sendal yang tadi ia kenakan talinya terputus, lutut dan lengannya mengeluarkan darah segar.
"Ahhhh sakit."
Lawen mendesis ia terpuruk, rasa haus menyerang tenggorokannya namun tidak kunjung melihat ada mata air di sekitar posisinya.
Dengan sedikit pincang ia melanjutkan berjalan mungkin sa'at ini ia sedang terkena dehidrasi, sehingga nampak susah bernafas ia harus segera menemukan mata air agar tidak melukai tenggorokannya yang sudah mengering.
Lawen melihat ada daun Bajakah Tampala, ia memperhatikan warnanya putih kuning dan coklat. Lawen mendekat memastikan ciri khusus dari Bajakah Tampala, kalau Bajakah Tampal maka daunya berbentuk tajam dan bunganya berwarna merah muda, putih ungu dan berbentuk kecil. Tanaman Bajakah Tampala sering di manfa'atkan oleh orang Dayak sebagai obat-obatan trasisional untuk melawan penyakit kanker.
Tanaman Bajakah Tampala merambat di batang pohon kayu hingga sampai 50 meter ke atas.
Mandau yang menggantung di pinggangnya ia keluarkan untuk menebas akar Bajakah Tampala, ia memotong dari dua sisi membentuk seperti sedotan.
Akar Bajakah Tampala ia angkat lalu lidahnya ia julurkan mengaliri serat air dalam akar. Kandungan air dalam akar Bajakah Tampala sangat banyak dan memiliki rasa seperti air pegunungan segar dan dingin alami. Selain menghilangkan rasa haus di tenggorokan meminum serat air Bajakah Tampala, juga dapat mengurangi kram pada perut dan bagi wanita menghilangkan rasa nyeri saat haid.
Hari sudah mulai gelap Lawen khawatir kalau tidak keluar hutan secapatnya. Jika malam masih dalam hutan ia takut sewaktu-waktu hewan buas akan datang, apalagi sekarang kondisinya sedang terluka banyak darah segar keluar dari tubuh, memudahkan hewan predator mengendus keberada'annya.
"Anak muda sedang apa kamu? di wilayahku"
Seorang Kakek bertubuh bungkuk menggunakan tongkat tiba tiba muncul di belakang, sorot matanya menandakan ketidak suka'an nya dengan kehadiran Lawen.
"Saya tersesat Kek"
"Tersesat cuih.! Alasan kamu sudah sering aku dengar"
"Banyak manusia serakah yang sengaja masuk ke hutan ini, kalian para manusia hanya bisa merusak saja"
Kakek itu mengayukan tongkatnya ke sebuah akar kayu besar, dia bilang manusia lalu dia apa? apakah dia hantu? Lawen mencerna perkata'an Kakek tua itu. Ia tidak sadar bahwa kaki yang menupang tubuhnya gemetaran dan mulai meleh.
"Tunggu Kek sampean mau kemana?"
"Apa urusanmu menanyakan aku hendak kemana"
Kakek tua bertongkat berbalik badan meninggalkan Lawen seorang diri, keinginan Lawen yang hendak menanyakan jalan keluar di hutan ini tidak bisa ia utarakan mulutnya seakan terkunci untuk mengucapkan kata-kata. Kakinya pun tidak bisa di gerakan lagi hingga jatuh tak sadarkan diri.
"Oooo Lawen jangan tidur sa'at senja, pamali"
Enon membangunkan Lawen dari tidurnya, dalam rumah betang yang tidak ada sekat di dalam, untuk alas tidur hanya menggunakan tikar dari anyaman purun( Tanaman Rawa).
"Iya Uma Lawen sudah bangun"
Kata Uma dalam bahasa Dayak Bakumpai adalah panggilan untuk seorang Ibu.
Lawen sadar tadi hanya sebuah mimpi namun mimpi ini sudah yang ke 3 kalinya, ia tidak terlalu memikirkannya dengan cepat langsung turun tangga menuju sungai tidak jauh dari posisi rumah betang. Lawen mencuci muka lalu melompat ke dalam air membersihkan tubuhnya.
Dari ekor mata ia menangkap sosok Kakek bungkuk tadi, tapi setelah ia fokuskan pandangan tidak terlihat ada seseorang.
Ia bergegas keluar dari dalam air menyudahi mandinya.
Lawen mempercepat langkahnya masuk ke rumah betang karena hari sudah mulai gelap.
"Uma bau apa ini tercium seperti aroma sesuatu yang gosong terbakar"
Ia mengendus dengan hidungnya ke seluruh sudut dalam rumah betang.
"Uma tidak tau, mungkin saja aroma tungku perapian kita yang terbakar coba kamu periksa dulu"
Enon yang sedang asik menyusun daun sirih lalu mengoles kapur sedikit dan menggulungnya dengan buah pinang, tradisi manginang / menyirih sudah di lakukan masyarakat Dayak turun temurun.
"Sudah aku periksa Uma, tidak ada sesuatu yang terbakar dalam tungku"
"Hidungmu sudah bermasalah, itu akibat kamu sering tidur di waktu senja, pamali"
Lawen kesal dengan kata-kata Uma padahal ia sangat yakin aroma gosong tadi nyata, tapi setelah ia endus kembali tidak ada aroma gosong.
Lampu pelita berbahan bakar minyak tanah menjadi satu-satunya penerang di malam hari, ketika malam tiba perapin (obat nyamuk tradisonal) di hidupkan mengepul asapnya yang banyak, memenuhi ke seluruh sisi rumah betang. Membuat Uma Enom yang sedang menginang terganggu.
"Matikan perapin itu sebentar, nyamuk-nyamuknya juga sudah pergi"
Ucap Enon yang terbatuk-batuk.
Lawen mencipratkan air ke arah perapin, untuk mematikan nyala api dan mengurangi kepulan asapnya.
"Uma apa lauk buat kita makan malam ini"
"Ikan betok rebus ada di dalam tudung saji, kalau mau makan, makan lah dulu."
Lawen makan dengan lahapnya hingga ia lupa menyisakan ikan untuk Umanya, ikan gabus yang besar ia habiskan dari ekor sampai kepala tidak bersisa.
Setelah makan ia langsung menggelar tikar menggantung kelambu bersiap untuk tidur.
"Dasar anak itu, akhir-akhir ini sangat lahap makan. Sampai lupa menyisakan untuk ku"
Enon menggelengkan kepala mebuka tudung saji.
Enom kembali merebus ikan gabus, untuk lauknya makan, malam ini cuacanya sangat dingin.
Setelah setengah jam ia merebus ikan gabus namun tidak kunjung matang. Biasanya hanya perlu waktu 10 menit untuk memasak ikan gabus ini, pikir Enon.
Suara berdenyit terdengar seperti suara kuku yang mencakar dinding rumah, ia turun membawa lampu pelita melihat mahluk apa? yang membuat gaduh di rumahnya. Namun setelah ia melihat ke sekeliling rumah tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Kressss bakantan melompat dari bawah rumah berlari ke dalam semak semak.
Ia lega ternyata hanya binatang yang sedang mencari makan.
Setelah puas melihat lihat ia kembali masuk ke dalam rumah.
"Lawen cari kayu bakar di hutan, persedia'an kayu kita sudah menipis."
Masyarakat Dayak Bakumpai memasak hanya mengandalkan ranting kayu dari hutan sekitar, Lawen sehari-hari hanya bekerja mencari ikan, seminggu sekali ia akan masuk ke dalam hutan untuk mengumpukan ranting kayu untuk sekedar keperlua'an memasak.
"Sebentar Uma, Lawen masih memberi makan ayam."
"Ayam kamu itu sebaiknya di potong saja untuk lauk makan."
"Jangan Uma, ayam ini teman satu-satunya Lawen. Untuk lauk biar Lawen turun ke sungai mencari ikan Lagi."
Di sisi rumah ada seseorang yang melihat aktivitas Lawen ia mengendap endap layaknya seorang ninja, ia bersembunyi dari pohon ke pohon secepat kilat hingga tidak terlihat dengan mata normal.
Lanjung / tas di punggung Lawen sudah di pikul serta mandau sudah tergantung di sisi pinggangnya. Ia siap berangkat masuk ke dalam hutan mencari kayu bakar, dengan langkah santai berjalan menyusuri jalan setapak.
Di kampung ini hanya ada 30 rumah betang jarak rumah ke rumah lumayan jauh tidak seperti kampung yang kita lihat sekarang rumah-rumah berjejer saling berdempetan.
Alasan masyarakat Dayak Bakumpai membuat rumah jauh dari rumah lainnya, karena ingin dekat denan sungai dan juga ingin mencari tanah subur serta luas. Supaya bisa bercocok tanam, uang tidaklah penting bagi masyarakat Dayak Bakumpai karena segala kebutuhan sudah semuanya di sediakan oleh alam.
Jika ingin ikan hanya tinggal pergi ke sungai, jika perlu sayur dan daging pergi ke dalam hutan.
Setelah Lawen melewati pohon besar ia mendengar suara ranting patah akibat pijakan kaki di balik semak-semak. Terus ia perhatiakan dan menajamkan pendengaran, mandau ia keluarkan dari sarung sebagai bentuk ke waspada'an.
"Siapa disana.?"
Dengan langkah pelan mendekati ke arah semak semak, ia ingin melihat siapa? yang bersembunyi disana. Di dalam semak-semak ada pergerakan hingga membuat anak kayu bergoyang. Lawen mulai mengayunkan mandau menebas anak kayu buka jalan.
"Kreahhhh Weeuuukkk, Uweeekkek"
Di balik semak- semak ternyata dua pasang kera hutan yang sedang memadu kasih, Lawen tersenyum dan kembali menyarungkan mandaunya lalu melanjutkan jalan. Tidak lupa sebagai orang Dayak yang baik ia meminta ma'af kepada kera hutan yang telah tergangu dengan kehadirannya.
"Wal tunggu." Seorang laki-laki dari arah belakang memanggil Lawen.
Sebutan Wal dalam bahasa Dayak Bakumpai adalah kawan.
"Kenapa ada pa Cek, apa kamu juga ingin masuk ke hutan."
"Iya aku juga ingin ke hutan mencari kayu bakar."
Napas Ecek naik turun tersengal-sengal, setelah berlari kencang agar bisa menyusul Lawen.
"Ayo mari kita berangkat, nanti keburu gelap."
"Tunggu dulu biarkan aku sedikit mengambil napas."
Mereka berjalan bersama mesuk ke dalam hutan, hamparan hijau rumput ilalang yang di tiup oleh angin menambah keindahan pemandangan di dalam hutan. Ranting yang mereka temukan langsung di masukan ke dalam lanjung, mereka cukup jauh berjalan ke dalam hutan Lawen melihat tumpukan ranting kering yang cukup banyak, sehingga ia sangat antusias, tidak mudah untuk bisa mengambilnya ia harus melompati kayu besar yang tumbang agar bisa sampai di tumpukan ranting itu.
Tanpa di sadari hari mulai gelap dan merekapun terpisah, ia mencoba berteriak memanggil nama Ecek tapi tidak ada jawaban. Ia ingin kembali ke tempat dimana mereka tadi masih bersama namun tidak kunjung menemukan jalan. Padahal ia sering mondar-mandir di dalam hutan tidak biasanya kehilangan arah jalan.
"Ecek dimana kamu? apa kamu mendengarku."
Lawen terus berjalan mengayunkan mandaunya menebas apapun yang menghalangi jalan.
"Dimana Lawen, perasa'an tadi masih berada di belakang. Apa dia sudah pulang? cepat sekali menghilangnya."
Di tempat lain.
Ecek bergumam, ia kesal Lawen meninggalkannya. Mentang-mentang lanjungnya sudah terisi penuh tanpa pamit ia pergi.
Karena hari yang sudah mulai gelap Ecek bergegas menuju rumah betangnya padahal lanjung yang dia pikul belum terisi penuh, tidak biasanya butuh waktu lama mencari ranting kayu. Namun hari sedikit berbeda.
Bab 1 MIMPI
25/02/2024
Bab 2 KAKEK JIWO
25/02/2024
Bab 3 KEMBALI
25/02/2024
Bab 4 RAJA SARANJANA
25/02/2024
Bab 5 KUNTAU
25/02/2024
Bab 6 PERTARUNGAN
24/02/2024
Bab 7 MINYAK BINTANG
25/02/2024
Bab 8 PULAU JAWA
27/02/2024
Bab 9 TERPESONA
03/03/2024
Bab 10 TERTANGKAP
03/03/2024
Bab 11 TAWANAN
07/03/2024
Bab 12 HOMOR
07/03/2024
Bab 13 MENGINTAI
07/03/2024
Bab 14 DENDAM LAMA
07/03/2024
Bab 15 MELAWAN
07/03/2024
Bab 16 UPACARA MILITER
07/03/2024
Bab 17 KEMBALI KE RUMAH
07/03/2024
Bab 18 BEKAS PEMBUNUHAN
07/03/2024
Bab 19 RUSA
07/03/2024
Buku lain oleh Mu Ka
Selebihnya