Sebuah perjuang dan cinta dari wanita hebat, mampu mengenalkan pada dunia. Lia akan menyatakan cintanya di waktu yang tepat dan akan menikah dengan rangga di negri sakura Jepang.
Aku mencabut cincin di jari manisku, teringat kembali cincin emas ini adalah pemberian Bram. Tepatnya ini adalah cincin pernikahan aku dan Bram lima tahun silam. Air mata yang kembali ingin terjun bebas, aku tahan sekuat tenaga.
"Mas. Pasangkan cincin ini pada Lusi.!
Ku ulurkan kedua tangan ini, seraya menghiasi senyum di bibirku.
Bram tertegun, lalu menatap mataku dengan penuh rasa kasih sayang, mengambil cincin itu dari tanganku, seraya memeluk tubuh ini dengan hangat.
"Cepat Mas. Pasangkan cincin itu di jari tangan Lusi"
"Lusi, hayoo ulurkan tanganmu" ku raih tangan sahabatku ini, yang sedang kikuk tidak tau harus bagaimana menghadapi situasi sa'at ini.
Tangan Bram yang sedikit bergetar, mulai memasangkan cincin di jari tangan manis Lusi, keduanya seperti boneka yang di kontrol oleh tuannya, menurut tanpa ada kata-kata yang bisa keluar di mulut mereka.
"Mas, ngomong dong.! MAUKAH ENGKAU JADI ISTRIKU." Aku kembali mengajarinya, kata-kata untuk melamar.
Mereka hanya saling pandang, lalu melihat ke arahku, gelak tawa dari ketiga orang menggema di dalam ruang kamar Poskemas, untung tidak ada orang selain mereka bertiga.
****************
Ini gara-gara si Alifa, yang pura-pura pingsan segala, pakai acara di bawa ke PUSKESMAS lagi, jadinya aku yang harus mencuci piring-piring kotor ini. Siapa suruh jadi menantu enggak bisa hamil, padahal sudah 5 tahun mereka menikah, di bentak-bentak sedikit nangis cengeng sekali.
Jangan-jangan ini cuma akal-akalannya supaya dapat perhatian Bram, biar dia bisa mengusirku di rumah ini. Coba aja kalo dia berani ngadu sama Bram, awas kamu Alifa. Dari pada aku suntuk di rumah sendiri'an, sebaiknya aku pergi ke rumah Azizah.
Tok...Tok...Tokkk..
"Zah, buka pintu ini aku, Tina.!"
"Tina. Tumben sudah siang baru kesini," ucap Azizah, mendengar orang di balik pintu adalah adiknya.
"Ini gara-gara menantuku si Alifa, pake acara pingsan, dan di bawa ke Puskesmas"
"Puskesmas.? Pingsan,? emang ada apa? dengan menantumu itu. Apa dia hamil?"
"Hamil, mana mungkin. Wanita mandul seperti dia, ia tidak bisa memberi keturun untuk anak ku."
"Seharusnya kamu sebagai Mertua, harus membantu dia juga,"
Azizah tau bahwa Tina tidak cocok dengan menantunya, padahal Alifa adalah anak yang penurut dan sangat sopan kepada orang tua.
"Aku?. Membantu dia,!" ucap Tina yang mengacungkan telunjuknya ke wajah.
"Asal kamu tau Zah. Dari awal aku tidak merestui mereka menikah.
Bram seorang Pengusaha, tidak pantas bersanding dengan Alifa yang hanya Wanita pengangguran, cuma lulusan SMK"
"Aku pusing, ngomong sama kamu, lebih baik kamu pulang, aku ada urusan dan mau ke BanjarMasin malam nanti."Azizah yang males berdepat mendorongnya ke luar rumah.
*Esok Harinya*
Suara burung-burung mulai berkicau, embun-embun yang membasahi helai daun dan bunga yang subur tumbuh di taman rumah, mata hari mengeluarkan cahayanya dengan gagah, kilauan cahayanya menebus di celah horden kamar, sepasang suami istri.
"Mas, bangun udah pagi Sayang.!"
Alifa mengecup pipi suaminya.
"Alifa, pagi-pagi sudah bikin aku enak aja"
"Aku mencintaimu Mas"
"Aku juga Sayang"
Pelukan hangat di pagi ini membuatku merasa tenang.
"Mas, aku minta kamu secepatnya, menikahi Lusi."
Ku dorong tubuh Bram, dan menatapnya serius, ku tekankan bahwa keinginanku tempo hari tidak mai-main.
"Alifa, sebaiknya kamu pikirkan lagi, apa yang kamu ucapkan itu, kamu pikirkan lagi resikonya, setelah nanti terjadi pernikahanku dengan Lusi."
"Mas, aku sudah yakin. Insya allah ini adalah jalan takdirku untuk menjadi Istri sholeha, aku hanya ingin kamu mempunyai keturunan, walaupun bukan
denganku."
Hembusan nafas kasar dari Bram, tanpa jawaban ia turun dari ranjang dan mengambil handuk bergegas melangkah pergi ke kamar mandi. Aku yang baru keluar kamar di kejutkan dengan mertuaku Tina, ia menatapku dengan tatapan tidak suka, seraya melangkah melewatiku, aku abaikan saja dari pada nanti mulut nya itu berucap macam-macam, malah bikin sakit hati lagi, dengan langkah cepat aku buka kulkas mengambil susu murni yang ku tambahkan air panas lalu ku seduh dengan 20 kali putaran, Kembali lagi ku ambil dua potong roti, segera aku panggang.
"Sarapan, kok enggak ngajak-ngajak"
Dengan wajag sinis Tina duduk di kursi meja makan
"Alifa sudah buatkan tiga gelas susu, kita barengan sarapannya sama Mas Bram."
"Hallah, Alifa- Alifa, kamu cuma mau minta pujikan, biar kamu enggak di bilang pemalas."
"Astagfirullah, Ibu. Alifa enggak ada maksud seperti itu, Alifa cuma menjalani kewajiban seorang Istri, melayani semua kebutuhan kalian."
"Jangan sok rajin deh kamu, melayani semua kebutuhan kami."
"Ada apa sih? pagi-pagi sudah ribut.!" Kehadiran Bram membuat mereka terkejut.
"Ayo, Mas. Sarapan dulu" Ku susun gelas dan piring yang menampung sepotong roti, untuk sarapan di pagi ini.
"Bram, kalian menikah sudah memasuki lima tahun. Kapan kalian punya anak.?
Mama malu setiap kali arisan selalu di tanyai kapan punya cucu,? sama teman teman Mama"
"Ma, mungkin kami belum di beri sama allah aja, sehingga belum di kasih anak"
"Istri kamu ini emang mandul, jelas-jelas mandul. Tidak ada harapan untuk kalian punya Anak."
Aku hanya menunduk, mendengar Ibu dan Anak ini bicara. Roti yang ku panggang tadi seakan tidak menimbulkan rasa panas sedikitpun, hingga ku telan tanpa ada rasa. Justru panas di telinga sampai ke ulu hati, ingin rasanya aku teriak di wajah Tina ini, bahwa aku memang mandul dan itu juga bukan kehendak ku, tidak ada wanita di dunia ini yang mau dirinya mandul, tidak seorangpun.
"Tenang saja Bu,! sebentar lagi Ibu akan punya cucu" ucapku dengan bibir bergetar
Tanganku langsung di genggam erat oleh Mas Bram, lalu menatapku hangat. Seakan berbicara jangan beritahu Ibu tentang rencana pernikahannya dengan Lusi.
"Jangan asal ngomong, kamu Alifa, buktikan bagaimana caranya.?" Mata Tina melotot dan urat di lehernya mengencang.
"Mas Riko, akan menikah dengan Dokter Lusi"
Dengan mantap aku memberitahu rencana pernikahan Lusi dan Bram, walaupun hati ini sungguh perih.
"Baguslah. Itu berarti Ibu akan cepat punya cucu."
*Di tempat yang lain*
Di sebuah Cafe ternama di kota Banjarmasin. Dari balik kaca terpampang pemandangan nan indah, lampu-lampu kota di pinggiran sungai, terlihat menawan, megahnya sebuah menara pandang yang menyerupai bangunan china, dan terlihat dengan jelas elegannya patung bakantan yang menjadi Icon Kota BanjarMasin. Sebuah musik bernuasa romantis dari penyanyi terkini. Melantunkan sebuah lirik bertajuk Melapas Masa Lajangku, menggema ke seluruh penjuru ruangan.
"Aku akan menikah, engkau tetaplah berdakwah mungkin kita belum berjodoh"
Lusi yang tertunduk di hadapan seorang laki-laki yang selalu ia sebut-sebut dalam setiap doa.
Laki-laki ini adalah idaman semua orang wanita, karna wajahnya yang khas orang timur tengah, di sisi pipinya tumbuh bulu yang tipis, hidung mancung badan tinggi tegap, tutur kata lemah lembut, Ustad Rizal begitulah orang mengenalnya, karna dia selalu muncul berdakwah di seluruh Media maupun di TV nasional.
"Insya allah, ini mungkin sudah menjadi kehendaknya" Ucap Ustad Rizal yang sedikit menghela nafas panjang.
"Apa aku boleh tau, dengan siapa kamu menikah.?" Ucap Rizal lagi
"Apa kamu ingat. Dengan Bram, Pengusaha batu bara."
"Iya, aku mengingatnya, Apa dia yang menjadi calonmu? bukankah dia sudah punya Istri.!"
Dengan nafas berat Lusi menjawab
"Ini demi sahabatku, Alifa. Dia yang meminta pernikahan ini, itu sebabnya aku tidak bisa menolak"
Ustadz Rizal yang sedari tadi duduk menghadap Lusi, kini mengalihkan pandangan ke gelas kopi yang terhidang di atas meja bundar, di tengah-tengah mereka, pikiran yang melalang buana mungkin terjadi terhadap Ustadz muda ini, hingga hanya raganya yang ada di depan Lusi, namun jiwa dan pikirannya entah kemana.
"Ma'af Ustadz Rizal, sebaiknya aku pulang, engkau pasti mengerti tidak baik jika kita terlalu lama bertemu seperti ini."
"iiii i-ya, aku mengerti" Ustadz Rizal yang tersadar dari lamunanya.
"Assalamu'alaikum." Ucap Lusi yang berdiri dari kursi, lalu melangkah pergi.
"Wa'alaikumsalam"
Ustadz Rizal hanya bisa memandang punggung Lusi, hingga hilang di balik pintu. Dengan pelan Ustadz Rizal mengiringi langkah Lusi keluar Cafee, mobil Lusi pelan meninggalkan parkiran.
Ustadz Rizal yang memandang mobil Lusi melaju keluar halaman Cafee. lirih terucap di bibir Pendakwah muda ini.
"Sampai bertemu di titik bahagia, menurut takdir"
Lusi hanya bisa memandang Ustadz Rizal dari dalam kaca mobilnya, sungguh hatinya juga sakit, tidak bisa bersanding dengan orang yang dia cinta, karna harus menikahi orang lain demi sahabatnya.
Rencana allah lebih mulia dari rencana manusia.
Baik menurut manusia belum tentu baik menurut allah.
Baik menurut allah pasti baik menurut manusia.
Buku lain oleh Mu Ka
Selebihnya