Lina dan Arief sedang menatap masa depan yang penuh harapan. Setelah bertahun-tahun saling mencintai, mereka akhirnya mendapatkan kabar yang mereka impikan-Lina hamil. Mereka akan segera menjadi orang tua, sebuah mimpi yang telah lama mereka tunggu. Namun, kebahagiaan itu hancur seketika ketika Arief terlibat dalam sebuah kecelakaan. Ditabrak oleh seorang pria bernama Andi, yang sedang mabuk, Arief terdampar di rumah sakit dalam keadaan kritis. Di detik-detik terakhir kesadarannya, Arief meminta Lina untuk menjaga hidupnya, bahkan jika itu berarti menerima Andi sebagai suami pengganti. "Lina... jangan biarkan hidupmu hancur... Andi... dia bisa... jadi pelindungmu," ucap Arief dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya kabur dan hampir terpejam. Lina, yang kini kehilangan separuh dirinya, harus menghadapi pilihan yang tak terbayangkan-menerima Andi, pria yang telah merenggut suaminya, untuk mengisi kekosongan hatinya. Bisakah Andi, yang tidak ingat apa pun tentang kejadian itu, menjadi suami yang baik bagi Lina? Atau akankah takdir yang sudah tertulis ini menghancurkan segalanya?
Lina duduk di tepi tempat tidur, memandang hasil USG yang baru saja diambil dari klinik pagi itu. Sebuah gambar kecil di atas kertas putih yang memperlihatkan detak jantung bayi mereka. Hanya segenggam ukuran kecil, tapi bagi Lina, itu adalah dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan harapan, dengan impian-impian yang telah lama mereka bangun bersama.
Arief masuk ke dalam kamar dengan senyum lebar di wajahnya. "Bilang padaku, ada apa di sini?" tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu, meski ia sudah menebak. Lina menatap suaminya dengan mata penuh cinta, lalu mengangkat gambar USG itu ke arah Arief.
"Ini," jawab Lina, suaranya bergetar sedikit. "Ini anak kita, Arief. Anak kita."
Arief mengangkat alis, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. "Kita... kita benar-benar akan menjadi orang tua?" Ia mendekat dan duduk di samping Lina, lalu menatap gambar itu seolah itu adalah sebuah karya seni yang paling indah yang pernah dilihatnya. "Aku nggak bisa percaya... akhirnya," katanya, hampir tak percaya.
Lina tertawa pelan, merasakan hangatnya kebahagiaan yang menyelimuti mereka. "Kau selalu bilang kita akan jadi orang tua yang hebat, kan?" Lina memiringkan kepala, matanya berkilau dengan air mata kebahagiaan yang tak bisa ia tahan. "Kita akan memberikan dunia terbaik untuk anak kita."
Arief menggenggam tangan Lina dengan lembut, lalu menatap matanya. "Kau tahu, aku nggak sabar melihat bayi kita. Aku ingin melihat dia tumbuh besar dengan cinta yang sama seperti yang kita berikan satu sama lain. Dan aku akan selalu ada untuk kalian berdua, Lina. Kita akan lewati ini bersama-sama."
Lina merasa seluruh tubuhnya terhangatkan oleh kata-kata Arief. Sudah bertahun-tahun mereka bersama, saling berbagi impian, kesedihan, dan kebahagiaan. Tapi saat ini, dengan bayi yang akan datang, Lina merasa seperti hidup mereka baru saja dimulai. Semuanya terasa begitu sempurna, begitu indah, dan tanpa cacat.
"Arief, aku takut," kata Lina tiba-tiba, suaranya serak, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang.
Arief menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kau takutkan, sayang?"
"Takut kalau aku tidak bisa jadi ibu yang baik... Takut kalau aku tidak bisa memberimu semua yang kau inginkan... Takut... takut kalau semuanya akan hancur," Lina menjelaskan dengan suara hampir tidak terdengar, seperti ada beban yang tak bisa ia lepaskan.
Arief menarik Lina ke dalam pelukannya, meletakkan dagunya di atas kepala Lina. "Kau adalah orang terbaik yang bisa jadi ibu bagi anak kita, Lina. Aku tahu itu. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri seperti aku mempercayaimu. Semua yang kita miliki sekarang, ini adalah hasil kerja keras kita berdua. Dan tidak ada yang bisa menghancurkannya."
Lina menutup matanya, merasa damai di pelukan suaminya. Suara detak jantung Arief menjadi musik yang menenangkan hatinya. Tidak ada lagi yang bisa ia inginkan selain ini-mereka berdua, bersama-sama, menanti hari kelahiran anak mereka.
Namun, meskipun Arief berbicara dengan keyakinan, Lina tidak bisa menghilangkan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Dunia ini kadang bisa begitu kejam, dan ia tak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan mereka. Tetapi dalam dekapan Arief, ia merasa bahwa mungkin-hanya mungkin-semua akan baik-baik saja.
Mereka berdua terdiam dalam kebisuan yang penuh makna. Dalam setiap detak jantung, ada rasa cinta yang begitu mendalam dan keinginan untuk menjalani hidup ini bersama. Mereka telah melewati banyak hal bersama, tetapi kali ini, mereka merasa seolah semua hal buruk yang terjadi sebelumnya akan terbayar dengan kebahagiaan ini.
Di luar jendela, senja mulai turun, menciptakan warna keemasan di langit. Linanya bisa merasakan kehangatan matahari yang mulai meredup menyelimuti kamar mereka. Semua terasa sempurna.
Tapi siapa yang tahu, kadang kehidupan membawa kita pada jalan yang tidak pernah kita bayangkan, dan kebahagiaan itu-seperti pelangi-dapat hilang begitu saja dalam sekejap. Lina tidak tahu bahwa saat senja itu terbenam, takdir mereka sudah ditentukan.
Di luar kamar mereka, cuaca berubah begitu cepat. Sebuah badai kecil mulai datang, namun Lina dan Arief tidak menyadari apa yang akan terjadi. Ketika Arief keluar untuk membeli makan malam, Lina mengira itu akan menjadi hari yang sama seperti sebelumnya. Tak ada yang tahu bahwa itu adalah momen terakhir mereka menikmati kebersamaan yang utuh.
Kecelakaan itu datang begitu mendalam. Lina menerima telepon malam itu, sebuah suara yang sangat asing namun begitu terdengar jelas di telinganya.
"Bibi Lina, Arief... kecelakaan... Dia... dia..." kata suara di telepon itu terguncang, dan sebelum Lina bisa mengajukan pertanyaan lebih lanjut, telepon terputus.
Tanpa berpikir panjang, Lina langsung berlari menuju rumah sakit. Ketika dia tiba, dunia seolah berhenti. Di sana, di ruang darurat rumah sakit, ia melihat Arief terbaring tak berdaya, tubuhnya terhubung dengan banyak alat medis. Darah yang masih segar di pakaian Arief membuat hati Lina hancur, seakan waktu berjalan terlalu lambat.
Lina duduk di samping tempat tidur Arief, meremas tangan suaminya, berharap ia bisa bangun dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, hanya ada keheningan yang menyelimuti.
Bab 1 Sebuah Awal yang Manis
17/12/2024
Bab 2 Lina tidak tahu berapa lama
17/12/2024
Bab 3 Wasiat yang Tak Terbayangkan
17/12/2024
Bab 4 Bayangan yang Tak Terbantahkan
17/12/2024
Bab 5 Ketika Hati Menghadapi Pilihan
17/12/2024
Bab 6 Di tengah malam yang gelap
17/12/2024
Bab 7 Langkah Baru di Tengah Kekosongan
17/12/2024
Bab 8 Ketegangan di Tengah Harapan
17/12/2024
Bab 9 memasuki bulan kedelapan kehamilan
17/12/2024
Bab 10 Langkah Berat ke Depan
17/12/2024
Bab 11 tak kenal ampun
17/12/2024
Bab 12 Pertarungan Hati yang Tak Terlihat
17/12/2024
Bab 13 Menghadapi Kenangan yang Tak Terhapus
17/12/2024
Bab 14 Cinta yang Teruji, Kekuatan yang Terbuka
17/12/2024
Bab 15 Seiring berjalannya hari
17/12/2024
Bab 16 Semua perasaan yang ia coba sembunyikan
17/12/2024
Bab 17 keheningan yang melingkupi rumah mereka
17/12/2024
Bab 18 pikirannya terombang-ambing
17/12/2024
Bab 19 namun tidak ada yang benar-benar bisa menyembuhkan luka
17/12/2024
Bab 20 Waktu berjalan begitu lambat
17/12/2024
Bab 21 kenangan tentang Arief bersamanya
17/12/2024
Bab 22 Lina merasa ada harapan baru
17/12/2024
Bab 23 Lina merasakan setiap kata Andi menyentuh hati
17/12/2024
Bab 24 meskipun itu tidak akan mudah
17/12/2024
Buku lain oleh Samsul Bahri
Selebihnya