Keira tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam hitungan hari. Tuduhan pencurian yang tak pernah dilakukannya menghancurkan reputasinya. Semua itu berujung pada satu jalan keluar: menikah dengan seorang pria yang tak mencintainya. Ezra Leighton, pria itu, adalah tunangan mendiang saudari Keira yang tewas dalam kecelakaan misterius. Dengan hati yang penuh luka, Keira mencoba bertahan. Namun, Ezra, yang tenggelam dalam amarah dan duka, hanya melihatnya sebagai bayangan buruk masa lalunya. Apakah Keira bisa bertahan di tengah pernikahan tanpa cinta? Atau perlahan-lahan kebenaran yang terselubung di balik kecelakaan saudari Keira akan mengubah segalanya?
Langit malam itu gelap, seperti mengerti bahwa takdir seseorang baru saja berubah dalam sekejap. Keira duduk memeluk lutut di pojok kamar yang dingin. Ini bukan rumahnya. Bahkan, tidak ada sedikit pun rasa memiliki saat ia menatap dinding-dinding putih tanpa kehangatan itu. Hari ini, ia resmi menjadi istri Ezra Leighton. Tapi kata "istri" terasa seperti lelucon kejam.
Semua terjadi begitu cepat. Seakan waktu berlari tanpa memberinya kesempatan untuk bernapas, untuk mencerna apa yang sedang terjadi. Semua berawal dari tuduhan itu-tuduhan yang menghancurkan hidupnya.
"Kau pikir aku akan percaya kebohonganmu, Keira? Buktinya sudah jelas. Kau mencuri, dan sekarang Rachel mati karena perbuatanmu!"
Suara menggelegar Ezra kembali terngiang di benaknya. Bahkan setelah sehari penuh berlalu, kalimat itu masih terasa seperti pukulan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan isakan yang hampir pecah. Tidak ada seorang pun di rumah ini yang peduli pada perasaannya. Ezra hanya ingin menyiksanya, memastikan ia membayar atas kesalahan yang bahkan tidak pernah ia lakukan.
Tiga minggu yang lalu
Keira berdiri di depan meja besar itu, kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Ia tahu tidak ada gunanya mencoba membela diri. Ezra Leighton tidak mau mendengarkan apa pun. Pria itu sudah menuduhnya mencuri cincin warisan keluarga Leighton-cincin yang seharusnya menjadi milik Rachel di hari pernikahannya.
"Aku bersumpah, aku tidak tahu apa-apa tentang cincin itu!" seru Keira, matanya basah oleh air mata.
Ezra hanya menatapnya dengan dingin, tangan kirinya meremas kuat surat laporan polisi yang ia bawa. "Jangan bohong, Keira. Bukti sudah jelas. Kau adalah orang terakhir yang terlihat di ruangan itu sebelum cincin itu hilang. Dan sekarang Rachel tewas, meninggalkan aku dengan kehancuran ini. Apa lagi yang mau kau sangkal?"
Keira terdiam. Apa yang bisa ia katakan? Tidak ada yang mempercayainya. Bahkan orang tuanya sendiri memintanya untuk meminta maaf kepada Ezra agar masalah ini tidak semakin besar. Mereka tidak peduli pada kebenaran. Yang penting reputasi keluarga tetap utuh.
"Kalau kau tidak mau mengaku, aku akan memastikan kau masuk penjara," lanjut Ezra dengan suara pelan namun penuh ancaman. "Dan kau tahu apa yang akan terjadi di sana, Keira. Kau tidak akan keluar hidup-hidup."
Punggung Keira merinding. Ia tahu Ezra serius. Keluarga Leighton terlalu berkuasa. Jika ia melawan, ia tidak akan menang.
"Apa... apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya akhirnya, suara kecilnya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.
Ezra tersenyum miring, namun senyuman itu dingin seperti es. "Kau akan menikah denganku."
Keira menatap Ezra dengan tatapan tak percaya. "Apa?"
"Kau dengar aku," Ezra menegaskan. "Kau akan menggantikan Rachel. Kau akan menjadi istri yang seharusnya dia menjadi. Dengan begitu, aku akan melupakan laporan ini. Itu satu-satunya cara kau bisa memperbaiki semua kekacauan yang telah kau buat."
"Aku tidak... aku tidak bisa-"
"Kau tidak punya pilihan, Keira." Ezra memotong dengan nada penuh otoritas. "Ini satu-satunya cara kau bisa menebus kesalahanmu. Kalau tidak, kau akan masuk penjara, dan aku akan memastikan tidak ada jalan keluar bagimu."
Keira merasa tubuhnya melemah. Pilihan itu terlalu kejam. Menikahi seorang pria yang membencinya atau kehilangan segalanya.
Hari ini
Keira tersentak dari lamunannya saat pintu kamar terbuka dengan keras. Ezra berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam yang sebagian kancingnya terbuka. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya tetap dingin seperti biasanya.
"Kau belum tidur?" tanyanya, meski nadanya terdengar lebih seperti tuduhan.
Keira tidak menjawab. Ia tidak ingin memulai pertengkaran, terutama setelah hari yang begitu panjang dan melelahkan.
Ezra melangkah masuk, menutup pintu dengan sedikit terlalu keras. "Jangan berharap aku akan membuat hidupmu nyaman di sini. Kau hanya ada di rumah ini karena aku mengizinkannya. Jadi, jangan bermimpi kita akan menjadi pasangan seperti yang kau lihat di film atau buku."
Keira menatap Ezra, mencoba membaca sesuatu di balik sikap dinginnya, tapi tidak ada. Pria itu hanya menyisakan kebencian untuknya.
"Aku tidak meminta apa-apa darimu," jawab Keira akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Aku hanya ingin melewati hari ini tanpa merasa seperti beban yang kau benci."
Ezra mendekat, wajahnya begitu dekat hingga Keira bisa merasakan napasnya. "Beban? Kau adalah beban, Keira. Kau adalah pengingat dari semua yang telah aku kehilangan. Jangan pernah lupa itu."
Kata-kata Ezra menampar Keira lebih keras daripada apa pun yang pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin melawan, ingin berteriak bahwa ia juga kehilangan Rachel, bahwa ia juga terluka. Tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Ezra berbalik tanpa menunggu jawaban, meninggalkannya sendirian di kamar yang dingin itu. Keira memeluk dirinya sendiri, air matanya jatuh tanpa suara.
Di luar jendela, bulan bersinar samar, menyaksikan luka-luka yang tak terlihat namun terasa begitu dalam. Di dalam rumah ini, Keira tahu bahwa ia sendirian. Tapi, di tengah kesunyian malam, ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan bertahan.
Karena ia tahu, di balik kebencian Ezra, tersembunyi kebenaran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran tentang Rachel, tentang kecelakaan itu, dan tentang cinta yang mungkin tidak sepenuhnya mati.
Bagaimana kelanjutan hubungan Keira dan Ezra? Akankah kebencian mereka berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, atau justru menghancurkan mereka berdua?
Buku lain oleh Samsul Bahri
Selebihnya