Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Seyakin apa kamu melakukan sesuatu yang bukan hak milikmu. Jikalau kamu yakin dan percaya itu ada, pertahankan dia. Kenapa harus mendiami, kenapa harus membiarkan dia melakukan seorang diri. Itu akan membuat kamu semakin menderita jika kamu memang sangat mengharap dia ada untukmu.
Kita tidak akan tau, kekuatan mana yang akan memberi kesempurnaan. Kita perlu melakukan satu meskipun perbedaan jarak tidak sama. Kita selalu mendapat perselisihan, bahkan perselisihan itu membawa sebuah faktor unsur yang sangat simpel.
Aku akui, kamu mencintainya, tapi bukan cara kamu membisu, dan melihat dia secara senyum yang hampa. Apakah bisa kamu seperti ini terus. Melepaskan dan merelakan dia, dimana janji yang kamu berikan untuknya. Sampai kapan kamu berdiri tegap di sini. Tetapi perasaanmu perlahan-lahan akan lenyap.
Kejar dia jika kamu merasa dapat berikan lebih dari kebahagiaan dia alami. Kejar dia, jika kamu tidak akan pernah lagi melepaskan dan merelakan semua yang bukan miliknya. Kejar dia, jika kamu ingin menggenggamnya meskipun terakhir kalinya.
"Sedang nulis apa, sih?" ke kepoan Sania mulai menjadi-jadi.
Selama ini Sania memang tergolong cewek paling acuh urusan kepribadian para laki-laki. Tetapi ini akan jauh berbeda. Sania belum pernah merasakan sikap seorang kakak laki-laki yang selalu dia panggil abang.
Sejak Anita melahirkan dan Anita dipulangkan ke mantan suaminya. Bukan mantan suami. Anita belum resmi bercerai. Hanya masalah biasa harus dibawa ke masalah serius.
"Cuma tulis laporan peraturan baru buat bos nanti," jawabnya segera dia menyudahi buku tulis yang sangat tebal.
Sania memasang kurang yakin dan kurang puas dengan jawaban dari Revan. "Laporan? Peraturan baru?"
"Iya, kemarin bos telepon gue, katanya ada peraturan buat anggota yang baru datang ke kota ini. Bos ingin buat peraturan agar gak ada kejadian-kejadian kayak tahun-tahun sebelumnya," kata Revan, memasukkan buku itu ke laci meja dan tidak menguncinya.
Sania memperhatikan meja itu, Sania masih bersikap biasa. Bertanya seraya seperti pembahasan kantor dan pekerjaan. Sania bukan cewek yang blak-blakan. Kadang blak-blakan itu juga tergantung suasana hatinya.
"Peraturan apa tuh? Bukannya peraturan kemarin lu buat masih berlaku? Belum kadarluarsa loh?" Revan tercegah. Dia mencoba mencari alasan lain.
"Kata bos itu uda gak berlaku lagi," ucapnya cepat.
"Masa?"
"Iya, uda, ah. Elu makin hari makin bawel," Revan beranjak dari duduknya dan segera ke kamar buat mandi.
"Elu gak rindu sama Anita?" tetiba Sania menyebutkan nama itu saat Revan baru mengangkat ke kamar mandi.
Revan kembali tercegah diam, Sania berjalan dan membuka isi laci yang masih terpasang kunci di sana. Dibukanya buku itu dimana Revan tadi tulis. Revan menoleh dan menatap Sania sangat tajam.
"Abang gak perlu menyimpan sendiri. Gua tau Abang sangat rindu padanya, kan? Kenapa gak kejar dia?" tutur Sania, berikan peluang untuk Revan.
Revan belum menyahut. Dia masih berdiri di sana. "Bang, bagaimana pun Anita uda bagian hidup kita. Bagaimana hidupnya? Saat dia melewati semua rintangan yang ada. Dia mempertahankan kandungan itu meskipun dia harus hancur. Gua tau, Abang memilih diam, memilih untuk menjaga perasaannya, melindungi atas perintah. Tapi gak salah Abang mengejar walau itu kesempatan, kesempatan gak akan bisa mengubah sedia kala," papar Sania.