Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kembalinya Marsha yang Tercinta
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Kanaya Putri Cantika atau yang akrab disapa Naya, gadis cantik yang menjadi incaran banyak lelaki. Namun, ia sama sekali tidak pernah berpacaran. Bukan karena prinsip atau apa, tetapi sulit baginya untuk tertarik dengan laki-laki dan satu-satunya kaum adam yang mampu menarik perhatiannya ialah Satya Kumara, teman seperjuangannya mulai masa pengenalan lingkungan kampus hingga menempuh gelar magister. Bagi Naya, Satya ialah segalanya, begitupula menurut Satya.
Naya dan Satya mengikat hubungan mereka dalam suatu hal yang diberi nama komitmen, komitmen tersebut diwujudkan dalam bentuk cincin dari emas imitasi yang melingkar di jari telunjuk Naya. Meski imitasi dan tidak memiliki harga tinggi, tetapi Naya sangat menghargai. Ya, namanya juga cinta.
"Besok aku balik ke Jakarta dulu, rencanamu setelah ini apa?"
Satya mengangkat bahunya. "Nggak tahu juga, tapi pastinya cari kerja. Kamu tahu sendiri 'kan, tanggunganku masih banyak," ucapnya dengan nada lesu.
Satya ialah anak pertama dari lima bersaudara, semua adiknya masih bersekolah. Bahkan, yang bungsu baru duduk di kelas tiga sekolah dasar, sementara ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Ibunya bekerja hanya sebagai asisten rumah tangga, sesekali berjualan kue basah di pasar dengan pendapatan tidak seberapa. Ayahnya meninggal dengan meninggalkan hutang ratusan juta, itulah yang membuat sang ibu rela banting tulang bekerja siang malam agar bebas dari lilitan hutang. Lelah rasanya tiap hari dihantui rasa takut jika rumah yang disinggahi kini harus ditarik paksa oleh debtcollector.
"Tawaran untuk menjadi dosen, nggak kamu terima?" tanya Naya.
Satya menggeleng. "Demi Tuhan, aku juga mau jadi dosen di kampus ini. Malahan, hal itu merupakan impianku sejak dulu, tapi aku disuruh mencari pekerjaan yang dekat dengan rumah," ungkapnya.
Naya pun mengerti apa alasan di balik itu semua. Ibunya Satya semakin renta, sementara adik pertamanya baru memasuki SMA di tahun depan, sifatnya pun manja. Yang bisa diandalkan hanyalah Satya. Maka dari itu, dia tidak bisa bersikap egois. Toh, jika mereka berjodoh, Tuhan pasti akan mempersatukan mereka berdua, pikirnya.
"Terus kita gimana?" ceplos Naya. "Eh?!" Dia mendelik. Padahal, hal tersebut harusnya diam di pikirannya, yang keluar dari mulut rencananya ialah; "Terus di sana kerja apa?"
Naya mengalihkan pandangan, menghindari tatapan terheran yang terpancar jelas dari kedua netra hitam Satya.
"Kita gimana maksudnya? Memangnya kamu mau kita gimana?"
Sungguh, hal tersebut bukanlah jawaban yang diharapkan oleh Naya. Bahkan, sangat amat jauh dari ekspektasi yang ia miliki. Menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan, dia pun menatap Satya diiringi senyuman lebar, berharap senyum itu mampu menyampaikan maksud atas ucapannya tadi.
Satya tertawa kecil. "Kenapa malah senyum?" Tangannya bergerak mengacak-acak rambut Naya. "Kamu lucu. Sekarang jangan senyum, coba bilang ke aku, kamu mau apa," titahnya.
Naya menggeleng, kesal dapat terlihat jelas dari raut wajah gadis itu. Bukannya berkaca ataupun introspeksi diri, tetapi tawa Satya semakin menjadi.
"Ngambek? Astaga, Naya. Dari dulu kan aku udah pernah bilang, aku ini orangnya emang nggak pekaan. Jadi, bilang aja langsung, nggak usah pake kode-kodean. Aku nggak bakalan marah, tenang aja."
"Aku nggak ngasih kamu kode, Satya. Aku rasa juga, pertanyaanku tadi sudah cukup jelas, kejelasan apa lagi yang kamu minta?"
Satya terdiam. Sesungguhnya, dia pun mengerti apa maksud dari Naya. Ia paham betul gadis itu meminta kejelasan dari hubungan merek berdua. Usia dua puluh empat tahun memanglah usia yang sesuai untuk menikah bagi kaum hawa. Jujur saja, Satya menyayangi Naya, sangat sayang, kasih yang dipunya bahkan lebih dari untuk dirinya sendiri. Namun, Naya berasal dari keluarga berada, mana mungkin ia mengajak gadis itu terjun dalam jurang kemiskinan bersamanya?
"Kenapa sekarang diam?"
Kedua ujung bibir Satya membentuk lekuk indah. Dengan perlahan, dia mengelus puncak kepala gadis yang ia cinta. "Tunggu dulu, ya, aku masih belum siap mengikatmu."