Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Astrid adalah gadis berumur 16 tahun. Tubuhnya tinggi, kulitnya putih, rambutnya cokelat panjang bergelombang. Dia lebih sering menguncir rambutnya. Itu karena dia tidak merasa percaya diri dengan rambutnya sendiri, padahal, rambutnya itu tergolong rambut yang indah. Wajahnya cantik namun tidak terlihat, karena setiap dia berjalan, dia selalu menundukan wajahnya. Gadis pemalu itu merupakan seorang introvert yang tidak jauh dari kata ‘kutu buku’.
Di sekolah, dia tidak punya teman. Entah dia yang tidak mau diajak berteman, atau memang teman-temannya yang tidak peduli. Bagi dia, sekolah adalah mimpi buruk. Dia lebih suka tinggal di rumah bersama novel-novelnya. Namun meskipun begitu, dia tetap mengutamakan sekolah dan meraih nilai-nilai yang bagus, demi beasiswa untuk kuliah. Dia melakukan itu semua karena sadar bahwa membeli buku memerlukan uang, dan uang hanya bisa didapat dari bekerja, membuatnya terobsesi kuliah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Intinya, semua yang dia lakukan sekarang hanyalah untuk satu tujuan, yaitu membaca buku.
Kehidupannya yang anti sosial tentu saja membawa banyak dampak buruk padanya. Dibuli, kesepian, tidak punya teman, dan hampa. Semua rasa sakit itu hanya dia pendam sendiri. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang tahu akan hal tersebut. Buku adalah satu-satunya pelariannya. Dengan membaca cerita yang tertulis di lembaran-lembaran kertas, membuatnya senang. Dia bisa berimajinasi sesukanya dalam membaca cerita. Teknik penulisan sang penulis cerita mampu membawanya merasakan emosi yang dirasakan oleh sang tokoh utama. Segala rasa sedih, rasa bahagia, marah, terharu, bangga, dan sebagainya dapat ia rasakan.
Dia merasa seolah-olah terbawa ke dunia yang baru, yang berbeda. Dia merasa seperti kabur dari realitas yang sekarang sedang dia jalani. Memang dari dahulu dia sudah begitu, lari dari masalah, lari dari kenyataan.
Hidup di Kota Jersey dengan ayah, ibu, serta 2 adiknya. Dia adalah anak paling tua di keluarga. Ayahnya, James Ratchett, merupakan seorang agen perumahan, sedangkan ibunya, Melinda Ratchett merupakan seorang editor majalah fashion terkenal. Mereka bisa disebut sebagai keluarga yang lebih dari sekedar berkecukupan. Adiknya, Jannet Racthett, adalah seorang siswi SMP. Tommy Ratchett, adiknya yang bungsu, sepantaran dengan Jannet.
“Astrid! Turun! Sarapan sudah siap!” teriak Melinda dari dapur.
Segera Astrid mengemas buku-bukunya, berpakaian, dan turun ke dapur.
“Ini, makanlah sarapanmu.” Ucap Melinda sambil menyodorkan semangkuk sereal.
“Jannet, Tommy! Ini sarapanmu! Pancake blueberry untuk Jannet, dan waffle cokelat untuk Tommy!” ucap Melinda.
Dari sini kita sudah bisa melihat bahwa Melinda lebih menyayangi Jannet dan Tommy daripada Astrid. Memasak sebuah pancake dan waffle bisa dibilang merepotkan. Bagi seorang editor majalah terkenal yang sangat sibuk, menyempatkan waktu untuk membuat pancake dan waffle pasti sulit untuk dilakukan, butuh usaha yang lebih besar. Berbeda dengan semangkuk sereal yang hanya diberi susu.
“Astrid, sore ini setelah pulang sekolah kamu mau kemana?” tanya Melinda.
“Tidak kemana-mana, aku langsung pulang,” jawab Astrid.
“Benarkah? Ini hari Jumat, bersenang-senanglah dan pergi bersama teman-temanmu!” ucap Melinda.
“Aku hanya ingin menghabiskan malam Jumatku di rumah sambil membaca buku baruku. Jalan-jalan itu melelahkan, dan tempatnya akan penuh dengan orang-orang, aku tidak suka. Buku baruku memiliki cerita yang sangat unik. Penulis kesukaanku baru saja mengeluarkan buku terbarunya, makanya aku sangat tidak sabar untuk membacanya!” jawab Astrid.
“Oh ayolah! Berhenti menghabiskan waktu dengan buku-bukumu dan carilah teman! Jadilah remaja yang normal. Cari teman, perluas kenalan, itu penting. Ibu tidak akan menjadi sesukses ini jika ibu menghabiskan masa remaja ibu berdua dengan buku,” ucap Melinda.
“Sukses ibu dan suksesku berbeda, Bu. Lagipula, aku tidak mau bekerja untuk menulis omong kosong tentang fashion, busana, skandal, drama, dan meliput pendapat orang-orang bodoh seperti yang ibu lakukan,” jawab Astrid.
“Hey! Pekerjaan ibu itu jauh lebih penting dari sekedar menulis omong kosong. Lihatlah Jannet, dia sudah mengerti busana seperti ibu, padahal dia baru saja SMP. Sementara kamu, pakaianmu saja tidak masuk akal!” Melinda kesal.