Thomas meninggal dunia satu hari sebelum pernikahannya karena kecelakaan pesawat. Dia pun menjadi arwah lalu bertemu dengan malaikat. Malaikat itu memberi kesempatan Thomas untuk bersatu kembali lagi dengan kekasihnya. Asalkan Thomas bisa menggunakan tubuh dari orang lain. Saat dia merasuki tubuh orang lain, arwah pemilik orang lain itu tidak terima. Mampu kah Thomas mengatasinya dan bersatu lagi dengan kekasihnya?
"Marlena, Marlena!" Thomas menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Marlena dan keluarga yang lagi sibuk menata ruangan, terkejut hingga semua pasang mata menatap Thomas.
"Ada apa, Thomas? Kenapa seperti dikejar-kejar setan?" spontan Marlena bertanya dengan ekspresi bingung.
Thomas belum menjawab. Setibanya di depan Marlena dan keluarga, dia menunduk mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal terlebih dulu.
"Bagaimana jika pernikahan ini kita undur. Satu hari saja." Mendengar itu sontak semua orang yang ada di sana terkejut. Mata mereka membelalak dan bibir mereka menganga.
"Maksudmu apa, Thomas? Kamu ingin mengundur pernikahan ini? Memangnya ada apa? Kamu masih ragu?" dari sekian orang yang ada di sana, Marlenalah yang paling terkejut. Tubuhnya mendadak lebih tegak karena tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Thomas.
"Bukan. Bukan itu, Marlena. Tetapi karena cincin peninggalan ibu tertinggal di rumah Bibi Margaretha." Wajah Thomas tampak cemas.
Marlena diam sejenak. Dia belum berani memberi jawaban pada Thomas. Sesekali matanya menatap Santos, Ayahnya dan Maritha, ibunya. Seolah sedang meminta pendapat.
Tetapi mereka semua diam. Mungkin saja turut bingung dengan keadaan ini. Marlena masih menimang-nimang kemungkinan yang terjadi.
"Bagaimana kalau kita menikah tanpa cincin itu, Thomas?" tanya Marlena dengan sangat hati-hati.
"Tidak bisa, Marlena. Aku sudah pernah cerita tentang cincin itu padamu. Kamu tahu cincin itu adalah pembawa keberuntungan dan akan melanggengkan hubungan rumah tangga kita, Marlena. Cincin itu sudah turun-temurun." Thomas menggeleng cemas. Kecemasan tercetak semakin jelas di wajahnya.
Semua orang terdiam di ruangan itu. Ada yang menunduk sembari memegangi bibirnya. Ada melongo karena benar-benar berada dalam keadaan yang sulit. Sedangkan Marlena? Matanya mulai basah.
"Bagaimana ini, Ayah?" Marlena yang sudah tidak sanggup menanggung beban ini melimpahkan pada ayahnya.
"Kalau Ayah nurut kamu saja, Marlena. Tapi ada hal penting yang harus kamu ingat. Bahwa apa pun peninggalan dari orang tua bisa mendatangkan keberuntungan." Ayah memegang pundak Marlena. Tatapan matanya pada Marlena penuh makna.
Marlena mengangguk lalu melirik ke arah Maritha. Maritha hanya mengangguk kecil. Dia juga sama dengan yang lain, gelisah bimbang dan berada di posisi serba salah.
Marlena menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali menatap Thomas yang masih menunggu keputusannya dengan rasa cemas.
"Kamu tahu, sulit sekali rasanya melepaskanmu di malam pernikahan kita ini, Thomas." Suara Marlena sudah terasa berat. Gundukan air mata di matanya semakin tebal. Thomas melihat itu, ikut berkaca-kaca. Dia tidak tega sebenarnya. Tetapi mau bagaimana lagi, dia harus mengambil cincin itu.
Paman Hisyam tiba-tiba maju dan berdiri di dekat mereka, "Apa kamu yakin, Thomas? Ini malam pernikahan kalian. Apa kalian bisa memastikan jika nanti semuanya akan baik-baik saja?" dia menyela ucapan Marlena.
Marlena menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya seketika gemetaran usai mendengar ucapan Paman Hisyam.
"Paman, aku berjanji akan memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Percayalah padaku. Karena cincin itu akan membawa keberuntungan." Thomas mencoba meyakinkan Paman sekaligus semua orang yang ada di ruangan itu.
Paman Hisyam terdiam. Di pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan. Sebenarnya dia ingin melarang Thomas pergi. Akan tetapi tekadnya yang kuat, membuat Paman Hisyam hanya mengangguk pasrah pada akhirnya.
"Baiklah, Thomas. Kami akan mengizinkanmu pulang. Berjanjilah padaku, Thomas. Jagalah dirimu baik-baik di perjalanan." Marlena menggenggam tangan Thomas erat-erat. Air matanya pun mengalir. Dia tidak mampu menahannya lagi.
Thomas menarik tubuh Marlena dan memeluknya. Dia bisikan kata untuk menenangkan dan meyakinkan kekasihnya itu.
"Aku akan berjanji demi aku, demi kamu dan demi kita semua, Marlena." Thomas memegang kedua pipi Marlena. Jari-jarinya mengusap air mata Marlena yang terus-menerus mengucur.
Marlena mengangguk. Meskipun anggukan itu tidak mempunyai arti yang mendalam, dia tidak ingin membuat Thomas ragu. Biarkan Thomas pergi dengan penuh percaya diri dan tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya, itulah yang diyakini Marlena.
***
Jam 3 pagi, Thomas sudah berada di bandara diantar Marlena dan Santos. Mereka masih menunggu sampai keberangkatan Thomas tiba.
"Hati-hati, Thomas. Teruslah berdoa dan jaga dirimu baik-baik selama di perjalanan." Marlena melepaskan tangan Thomas perlahan saat Thomas hendak masuk di ruangan tunggu.
"Baik Marlena. Aku pergi dulu, Marlena, Ayah." Thomas melambaikan tangan.
Marlena dan Santos masih berdiri menatap kepergian Thomas yang semakin jauh masuk ke ruangan itu. Tanpa sadar, Marlena menggigit jemarinya.
"Apakah semua akan baik-baik saja, Ayah?" Marlena menatap Santos saat matanya mulai berkaca-kaca.
"Percayalah pada yang di atas. Semuanya akan baik-baik saja, Marlena." Santos mengangguk.
Marlena dan Santos pergi setelah mengetahui pesawat yang Thomas tumpangi telah melesat jauh ke atas. Marlena terus melambaikan tangan saat pesawat itu terbang.
"Kita harus menghubungi pihak-pihak yang terkait, Marlena. Kemarin aku sudah menghubungi beberapa pihak yang terlibat. Hanya tinggal pihak dekor dan pihak katering." Santos mengajak Marlena untuk segera masuk ke mobil.
"Baik, Ayah. Maafkan aku dan Thomas karena sudah bikin ulah lagi." Marlena menggenggam tangan Ayahnya ketika sudah berada di mobil.
"Tidak apa-apa, Marlena." Santos membalasnya. Dia usap pelan-pelan telapak tangan anak kesayangannya itu.
Mobil mereka melesat cepat dari parkiran bandara menuju jalan raya. Pagi sudah kian matang di kota itu saat Thomas menatap keadaan luar dari balik kaca pesawat.
***
"Hai, Anak muda. Kenapa sejak tadi wajahmu tampak begitu cemas?" Seorang Kakek-kakek yang masih tampak bugar tengah menyapanya. Kakek itu duduk persis di sebelah Thomas.
"Ah tidak apa-apa, Kakek. Hanya memikirkan beberapa hal saja." Thomas menoleh lalu tersenyum pada Kakek itu.
Kakek itu mengangkat alisnya lalu membalas senyuman Thomas. Thomas mengernyitkan dahi. Ada apa dengan kakek ini? Kenapa eskspresinya seperti itu?
"Kamu ingin mengambil barang yang sangat berharga ya dalam hidupmu?" ucapan Kakek itu membuat mata Thomas melebar selebar-lebarnya. Seperti ada dentuman keras di dalam dirinya karena ucapan itu.
"Em... kurang lebih seperti itu, Kek." Thomas mengangguk penasaran.
Kakek itu terkekeh lalu mengusap-usap janggutnya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Bulu-bulu itu sudah beruban dan kerutan wajahnya sudah tampak.
"Sebenarnya hari ini adalah hari pernikahanmu, ya?" Kakek itu bertanya lagi tanpa merasa berdosa karena telah mengejutkan Thomas berkali-kali.
Thomas kembali terbelalak. Dia tidak mengiras Kakek ini mengetahui semua tentang dirinya. Padahal sebelumnya, dia sama sekali tidak pernah bertemu dengan Kakek ini.
"Anda siapa? Kenapa bisa mengetahui banyak hal tentang diriku?" protes Thomas.
"Anak muda, Anak muda." Kakek itu malah tertawa kecil bukannya menjawab.
Thomas mencoba mengingat-ingat. Siapa tahu dia pernah bertemu dengan Kakek ini, atau mungkin dia merupakan salah satu keluarga Marlena.
"Selama mungkin kamu memikirkan siapa aku, selama itu pula kamu tidak pernah mengetahuiku. Aku bukan keluargamu atau keluarga calon istrimu." Kakek tersenyum jumawa.
Kening Thomas berkeringat. Memangnya siapa kakek ini? Dia bisa membaca pikiranku dan dia tahu semuanya tentangku? Batin Thomas seraya menatap penasaran pada Kakek itu.
Bersambung...