Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Suami Dari Alam Lain

Suami Dari Alam Lain

R.D.Lestari.

4.9
Komentar
118.5K
Penayangan
126
Bab

Bagaimana rasanya jatuh cinta pada makhluk Uwentira yang super tampan? Itulah yang dialami Indri dan kedua sahabatnya. Mampukah mereka memilih? tinggal di dunia mereka atau Uwentira? Kota gaib terbesar di Indonesia?

Bab 1 Tersesat Di Hutan

Bismillah

"SUAMI DARI ALAM LAIN"

#part_1

#by:R.D.Lestari.

#true story

Drap! Drap! Drap!

Bunyi langkah kaki memecah keheningan. Ku tatap wajah Sri dan Rena yang tadi amat ketakutan kini berubah ceria. Mendung itu seketika hilang terbias cahaya harapan.

"Sepertinya ada suara derap langkah kaki, mudah-mudahan ada yang akan menolong kita," ucap Sri lirih.

Aku beranjak dari dudukku dan menatap Rena sekilas.

"Jaga Sri, Ren. Aku akan melihat siapa yang datang. Semoga itu orang-orang yang mencari kita," seruku.

"Aku temani, Indri. Bahaya jika sendiri, diluar banyak binatang buas," Rena berusaha mencegahku.

"Tak apa aku sendiri. Sri lebih butuh dirimu, tubuh nya teramat lemah karena demam dan luka di kakinya," sahutku. Lambaian tangan kuarahkan pada mereka. Senyum tipis mengulas di bibir kedua sahabatku itu.

"Hati-hati, In," ucap Rena dan Sri. Aku hanya mengangguk, berbalik dan melangkah pergi meninggalkan mereka.

Bulir bening menetes di pelupuk mata. Apakah salah kami hingga mengalami nasib setragis ini?

Kami mahasiswa dari suatu perguruan tinggi di kota Sulawesi. Kedatangan kami ke hutan lebat ini karena suatu kegiatan penelitian dari Universitas tempatku menimba ilmu.

Jumlah kami saat itu ada delapan orang, tapi hanya kami bertiga yang terpisah dari rombongan. Itu pun karena ulahku yang tak mau buang hajat sembarangan.

Akibat dari kecerewetanku, akhirnya Sri dan Rena dapat imbasnya. Kami tersesat di dalam hutan dan tak tau arah. Hingga terpisah dari rombongan.

Lelah berjalan dan takut yang tak terhingga, Sri tiba-tiba mendengar geraman yang amat dekat. Saat menoleh, dengan jarak sekitar dua puluh meter tegak seekor beruang madu yang siap menerkam. Kukunya yang panjang dan hitam mengarah ke arah kami. Taringnya mencuat di antara moncongnya.

Kami serentak berlari, tapi sayang Sri terjatuh dan sempat tercakar di bagian kaki. Aku dan Rena berbalik dan memukul beruang dengan panci dan peralatan masak serta tas yang kami bawa. Beruntung binatang buas itu menyerah dan berlari meninggalkan kami, hanya saja kaki Sri terluka cukup parah.

Dengan sisa tenaga kami membawa Sri berjalan di antara lebatnya hutan. Pepohonan besar dan tumbuhan hutan lainnya membuat kami di rundung ketakutan.

Dalam kelelahan yang tiada terhingga, samar-samar terlihat sebuah rumah yang cukup kokoh berdiri.

Kami pun memutuskan singgah dan meminta bantuan. Walau sebenarnya ragu, di tengah hutan ada rumah? siapa yang tinggal di sini?

Saat itu Sri dan Rena juga diriku berusaha memanggil si pemilik rumah, tapi tak ada jawaban. Ternyata rumah pun tak terkunci dan tak ada apa pun di dalam rumah. Seperti sudah sangat lama tak di huni.

Dan sejak saat itu kami tinggal di rumah tua ini untuk melindungi diri dari makhluk buas dan juga binatang melata lainnya. Ini sudah hari ketiga, luka di kaki Sri menyebabkan infeksi dan Sri demam. Stok mie dan makanan instan lainnya pun sudah hampir habis. Untuk air minum, aku sengaja menampung air hujan. Kebetulan malam selalu hujan.

Kami hanya bertahan pada lampu senter dan lampu handphone. Itupun sudah mat* semua. Tadi malam pun gelap-gelapan .

***

Drap! Drap! Drap!

Suara langkah kaki itu terdengar lebih jelas. Ku percepat langkahku . Sepertinya bukan cuma seorang , tapi banyak orang.

Mataku berbinar melihat sekumpulan tentara sedang berjalan mendekati gubuk kami. Tanpa sadar aku berlari mendekati mereka.

"Pak--Pak, tolong!" teriakku.

Mereka serentak menghentikan langkah. Nyaris copot jantungku melihat tatapan para lelaki di hadapanku. Tampan , semua amat tampan. Wajah mereka bukan seperti warga pribumi pada umumnya. Mata mereka biru, hidung mereka mancung dan kulit mereka putih bersih. Mereka memakai baju tentara tapi berbeda warna dengan yang sering tentara pakai pada umumnya.

Mereka hanya terdiam melihatku. Seolah menatap heran dengan kehadiranku .

"To--tolong, sa--saya,Pak," lirihku.Tubuhku gemetar menahan malu karena mereka menatapku tanpa berkedip sedikitpun.

"Kenapa bisa berada di dalam hutan. Sendiriankah kamu?"

Salah satu dari mereka berjalan mendekatiku, wajahnya lebih tampan dari yang lain. Jika diperhatikan sepertinya dia pemimpinnya, nampak dari pakaiannya yang berbeda.

"I--iya, Pak. Saya tersesat bersama dengan dua teman saya," paparku.

"Sekarang di mana kedua temanmu?" tanyanya . Ia semakin dekat dan wajahnya terlihat semakin jelas. Tampan... sangat tampan.

"Me-- mereka di --disana," jawabku terbata seraya menunjuk ke arah gubuk.Benar-benar grogi berdekatan dengan pemuda setampan ini.

"Pasukan! tolong bantu gadis ini! bawa mereka ke basecamp! segera!" teriaknya lantang .

"Baik Komandan!" seru mereka serentak.

Para tentara mendekati gubuk mengikutiku dari belakang. Rena dan Sri nampak amat terkejut sekaligus bahagia mendapat pertolongan yang tak terduga. Akhirnya ada yang datang menyelamatkan kami.

Mereka dengan sigap membopong tubuh Sri dan juga Rena. Karena Rena pun juga lemah. Sedangkan aku memilih berjalan mengikuti mereka menuju basecamp yang di sebutkan.

Mereka tak banyak bicara. Sepanjang jalan pun hanya diam tak bersuara. Cukup jauh kami berjalan, sekitar sepuluh menit kami pun sampai.

Basecamp yang di maksud ternyata bukan hanya tenda. Tapi sebuah gedung yang amat luas dengan peralatan dan senjata yang lengkap. Aneh bukan? Di dalam hutan selebat ini ada gedung yang luas dan punya semua perlengkapan modern. Juga mobil-mobil bagus dan motor sport mahal. Seperti di film-film hollywood.

Aku menatap takjub. Begitu juga Sri dan Rena. Tak menyangka jika di dalam hutan ada tempat sekeren ini.

Sri segera di obati dengan seorang dokter yang amat cantik. Sebenernya mereka ini siapa? dari logat dan cara bicaranya sama seperti kami, tapi fisik mereka amat jauh dengan kami pada umumnya. Mereka semua bertubuh lebih tinggi, bermata biru, berhidung mancung dan berkulit putih. Warna rambut mereka pun condong berwarna pirang. Lebih mirip orang-orang bule.

Sementara Sri dan Rena di obati, aku menunggu di tempat berbeda. Duduk sendiri di teman secangkir susu coklat panas dan juga roti-roti dengan berbagai toping. Amat enak dan super lembut. Seperti berada di dalam hotel dengan pelayanan bintang lima.

Semua orang di sini sibuk dengan kegiatannya masing-masing sehingga enggan bagiku untuk bertanya dan menyapa. Mereka cenderung cuek.

"Boleh aku temani?" suara berat seseorang membuyarkan lamunanku. Aku hampir saja tersedak.

"Maaf, aku mengganggumu, ya?" tanyanya ramah.

"Ti-- tidak, si--silahkan, duduk," tawarku dengan gugup.

Ia lalu mengambil sebuah bangku dan duduk di sampingku.

Dadaku bergemuruh melihat ketampanan pemuda itu dari dekat. Dia, pemimpin pasukan yang tadi menolongku. Ternyata ia tampak lebih tampan di tempat yang terang seperti ruangan ini.

"Aku Bima," ia mengulurkan tangannya.

"A--Aku Indri," jawabku dan ku sambut tangan nya.

Dingin. Seperti ada magnet listrik yang menjalar disekujur tubuh ku. Rasanya tubuh ku bergetar karena grogi.

Ia menarik kembali tangannya dan menatapku dengan lucu. Sempat tersenyum dan senyum itu mampu merontokkan hatiku.

"Kamu sepertinya amat lelah. Istirahatlah sejenak. Esok kami akan mengantarmu dan kedua temanmu pulang," ucapnya.

"Kami punya banyak ruangan dan kamar yang pasti membuatmu betah. Anggap saja di rumah sendiri," lanjutnya.

"Terima kasih telah menolong kami," sahutku.

Ia mengangguk dan kembali tersenyum. Rasa mau pingsan lihat senyumnya. Ah, seumur hidup baru pertama bertemu laki-laki setampan ini.

Ia bangkit dari duduknya dan menatap wajahku dengan senyum manisnya.

"Ayo, aku antar ke kamarmu, biar kamu bisa langsung tidur," katanya dan ia pun melangkah pelan. Aku mengikutinya dari belakang.

***

"Wah, gil*! ini gil* namanya!" seru Rena. Matanya menyisir semua ruangan. Ia tak henti berdecak kagum dengan kamar yang di sediakan untuk kami beristirahat.

"Mimpi apa kita, woy! berasa liburan di hotel bintang lima kita!"Sri menimpali.

"Sayang di sini ga ada sinyal," wajah Rena mendadak mendung.

"Dah lah, kita foto aja," ajakku.

"Wei, tak boleh foto bertiga, nanti salah satu ada yang mat*," sahut Sri.

"Ah, mitos aja itu," sanggahku.

"Udah, ayok," desakku. Kami mendekati Sri di ranjang dan ...

"Say cheese, buncis, satu, dua, tiga," kami berselfie riang. Tapi ternyata....

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh R.D.Lestari.

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku