5.0
Komentar
1.5K
Penayangan
21
Bab

Saat Nenek pindah ke rumah baru yang di jual amat murah dengan desain yang nyaman, tapi ternyata rumah itu menyimpan banyak misteri.. Di ruang bawah tanah ternyata tempat jagal dan mutilasi. Arwah-arwah yang gentayangan merupakan arwah penasaran yang menuntut balas. Mereka sudah banyak membunuh pembeli rumah sebelumnya. Arwah penasaran merasuk pada setiap orang dan setiap inci rumah,sehingga rumah penuh dengan teror. Hidup jika malam menjelang. Satu persatu pemilik rumah diteror dan harus bertahan untuk berjuang hidup karena rumah seperti terkunci dan susah untuk keluar.

Bab 1 Part1

Bismillah

Rumah Nenek

#part 1

#by: R.D.Lestari.

Pagi itu ku lihat Mama begitu semangat, pakaiannya rapi dan sangat rapi.

"Mau ke mana, Ma? pagi-pagi udah seger banget," tanyaku penasaran.

Mama hanya tersenyum simpul dan membelai rambutku.

"Nenek minta diantarin lihat rumah. Kata Nenek tinggal di kota sumpek. Pengen tinggal di daerah pelosok. Bertani dan pelihara ayam," jawab Mama lembut.

Alisku terpaut. 'Nenek mau pindah rumah? rumah segede itu mau dikemanain, dijual? kan sayang!'

"Sayang dong, Ma. Rumah Nenek itu termasuk elit, loh. Kok malah mau pindah," protesku.

Mama menatapku dalam, tapi senyum tak pernah hilang dari wajahnya.

"Kalau sudah banyak makan asam garam kehidupan, terkadang harta tak menjadi kunci kebahagiaan ,"

"Kenyamanan dan hati yang tentram itu tujuan utama,"

Aku menatap Mama heran, cuma bisa manggut-manggut. Entahlah, orang dewasa memang aneh. Sudah enak tinggal di rumah yang lumayan mewah, di tengah kota pula. Di mana semua serba ada dan gampang di dapat. Kok malah mau pindah ke pelosok.

"Gas, Mama titip adikmu, Ghandy. Mama mungkin lama baru pulang,"

"Nanti makan disiapin Bi Jumi. Kak Ajeng pulang malam katanya, lembut," cerocos Mama sebelum menghilang di balik pintu setelah mengucap salam.

Aku menjawab dengan pelan dan mendoakan supaya Mama berada dalam keadaan baik-baik saja.

Kembali meraih gadget dan memainkan game yang kusuka. Ya, aku Bagas. Umurku lima belas tahun. Kelas sembilan di SMP swasta di kotaku, Surabaya.

Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Adikku Ghandy. Umurnya sepuluh tahun, masih kelas lima SD.

Sedangkan kakakku, Ajeng, bekerja di sebuah Restoran elit dan menjabat sebagai manager. Lumayan untuk seorang cewek, dia termasuk orang yang mandiri dan wanita karir yang diincar banyak lelaki.

Mamaku namanya Rina Astuti, seorang single parent setelah bercerai dari Papa yang sekarang entah berada di mana.

Profesi Mama adalah seorang guru Bahasa Inggris di salah satu SMA negeri yang cukup populer di Kota di mana kami tinggal saat ini, yaitu Surabaya.

Sedangkan Nenek, selama ini hidup hanya berdua dengan Bulek Desi, anak bungsunya.

Rumah yang Nenek tempati memang termasuk elit, karena Nenek kaya, mobilpun ada dua.

Nenek punya lima anak. Mamaku anak keempat diatas bungsu dan paling dekat dengan Nenek karena rumah kami yang paling dekat. Bude-bude yang lain semua tinggal di kota berbeda.

Umur Nenek sudah delapan puluh lima tahun, tapi Nenek masih terlihat energik dan tak bisa diam. Kata orang Nenek awet muda, dan nampak tiga puluh tahun lebih muda dari umur yang sebenarnya.

Bulek Desi yang masih melajang menjadi salah satu alasan Nenek untuk tetap tinggal di rumah besar dan mewah itu, dan ketika Bulek Desi di lamar orang beberapa waktu lalu, barulah pagi ini kudengar Nenek mau menjualnya. Mungkin hanya Bulek Desi yang jadi alasan utama, menurutku, sih.

Memang bukan urusanku, tapi entah kenapa rasanya sayang, rumah bagus, besar dan mewah itu harus dijual. Apalagi letaknya di pusat kota. Sekarang mencari rumah di pelosok? mendengarnya saja aku enggan. Apalagi untuk tinggal di sana. Ogah.

***

Hari ini aku memang tak sekolah, santai di rumah dan bermain game, karena semenjak pandemi, sekolah daring, tapi tidak dengan sekolah Ghandy, ia tetap bersekolah meski hanya beberapa jam saja.

Menjelang tengah hari, Ghandy pulang sekolah dan langsung menanyai soal Mama.

"Ma, Mama belum pulang?"

Aku hanya melirik sekilas dan kembali menatap layar ponsel.

"Mama hari ini pergi sama Nenek, katanya mau lihat rumah," jawabku sekenanya.

"Oh ...,"

"Pesan Mama, kalau mau makan minta sama Bi Jumi, tidur siang dan jangan lupa ngaji," ucapku menirukan gaya Mama.

"Gaya banget sih, Mas. Dianya sendiri ga ngaji," cibir Ghandy, lidahnya terjulur padaku dan terkekeh mengejek.

"Heh, bocah, enak aja. Mas juga ngaji, tau!" sungutku. Bantal kursi melayang tepat mengenai jidat Ghandy. Ia meringis sembari tersungut-sungut menuju kamarnya.

***

Menjelang makan malam, Kak Ajeng pulang diantar pacarnya, Mas Sadawira.

Aku membuka pintu dan melihatnya kesal, di mana tepat saat menuju ruang tengah kulihat siluet bayangan Kak Ajeng sedang berciuman dengan pacarnya. Iuhh, menjijikkan!

Dengan wajah dingin aku menatapnya, meski Mas Sadawira tadi sempat menyapa dan tersenyum ke arahku, aku tak membalasnya, hingga ia hilang dari pandangan aku tetap berwajah masam.

"Kamu kenapa, Dek? di sapa sama Mas Sada kok diem aja," protes Kak Ajeng saat kami melangkah masuk secara beriringan.

"Kakak itu kenapa, sih. Jadi cewek kok mau dicium cowok. Kan bukan muhrim. Kata Pak Ustad, cewek sama cowok yang belum menikah di larang bersentuhan, bukan muhrim. Apalagi ciuman, itu dosa!" omelku panjang lebar.

Kak Ajeng menghentikan langkah dan menoleh ke arahku.

"Kamu tadi ngintip, ya? dosa, tau!"

"Bukan ngintip, Kak. Cuma ga sengaja lihat,"

Kak Ajeng berkacak pinggang dan menatapku garang.

"Ini urusan orang dewasa, kamu masih bocil jangan banyak tanya! ngerti?"

Aku hanya mengangguk. Takut mau bicara melihat mata Kakak yang hampir mau keluar. Wajah cantiknya jadi serupa kuntilanak, seram.

Tanpa menghiraukanku, Kak Ajeng berlalu begitu saja. Aku masih mematung ditempat dan tersadar saat suara mobil Mama terdengar di luar.

Derap langkah kaki Mama terdengar mendekat. Ia tersenyum manis dan mengangkat tentengan di kedua tangannya.

"Apaan tuh, Ma?" tanyaku girang.

"Nih, Pizza sama martabak, juga ada sate untuk kita makan malam,"

"Wah... makan enak!" seru Ghandy yang tiba-tiba datang entah dari mana.

"Kok tumben, Ma?" tanyaku.

"Nanti, Mama ceritain. Sekarang kita makan dulu," janjinya

Kami akhirnya menuju meja makan.

Tak lama Kakak keluar dengan rambut yang terlilit handuk dan pakaian yang sudah berganti. Wangi sabun mandi menguat dari tubuhnya.

"Wah, makan enak, nih, Mah," serunya, ia lalu duduk berhadapan denganku. Aku yang masih takut melihatnya, memilih mengangkat piring berisi sate dan membawanya ke ruang keluarga.

"Eh, mau ke mana, Gas? yok, makan sama-sama," ajak Mama. Aku hanya menoleh dan menggeleng, sempat melirik ke arah Kak Ajeng yang masih melempar tatapan sinis padaku.

Saat makan, kudengar Mama berbincang dengan Kak Ajeng dan Ghandy.

"Jadi, Ma... kita ikut Nenek? trus rumah kita gimana?" Kak Ajeng terdengar gusar.

"Ma, jangan pindah, dong," selaku.

"Ga, bisa. Kasihan Nenek, soalnya bulek Desi kalau sudah nikah mau ikut suaminya ke Manado, tugas," terang Mama.

"Lagian, ga gitu jauh, kok. Cuma agak masuk kampung aja, gitu,"

"Rumah ini rencana mau Mama sewain. Jadi, kalian mau ga mau harus ikut,"

"Kalau sampai ga mau ikut, kalian Mama pecat jadi anak!"

"Mama???"

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh R.D.Lestari.

Selebihnya

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Dilema Cinta Penuh Nikmat

Juliana
5.0

21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku