/0/24544/coverbig.jpg?v=a41098e31e30487cb90926341e0f14dc&imageMogr2/format/webp)
Ketika Dunia Hancur, Ia Memilih Wanita Lain Di saat-saat paling kelam dalam hidupnya-saat napas putri kecilnya tinggal sehela, bertahan hanya dengan bantuan selang dan doa-Calla berdiri sendiri di ruang ICU, memegang tangan mungil yang mulai dingin. Tidak ada pelukan. Tidak ada bahu untuk bersandar. Tidak ada Ares, suaminya. Karena di saat anak mereka berjuang melawan maut, Ares justru sedang menjemput wanita yang dulu pernah ia janjikan dunia-Lyanna, cinta pertamanya. Dan ketika denyut jantung itu berhenti untuk selamanya, saat dunia Calla runtuh dengan jeritan sunyi, Ares... sedang memeluk Lyanna di tengah sorak sorai pesta penyambutan, menari di bawah lampu kristal tanpa sedikit pun tahu bahwa ia telah kehilangan segalanya. Termasuk dirinya.
Hujan turun perlahan di balik jendela rumah sakit, seperti ikut menangisi sesuatu yang belum terjadi... atau mungkin sedang terjadi. Di ruangan yang nyaris membeku oleh suhu dan rasa putus asa, Calla berdiri kaku di samping ranjang rumah sakit mungil itu-menatap tubuh kecil dengan selang-selang yang seakan menegaskan bahwa hidup sang putri kini bergantung bukan pada kasih sayang, tapi pada mesin.
Leona, putri mereka, baru berusia lima tahun. Terlalu kecil untuk berperang, terlalu polos untuk mengerti bahwa jantung kecilnya tak lagi berdetak sekuat dulu. Napasnya berat, teratur oleh alat, dan setiap bunyi bip yang terdengar seolah menusuk ulu hati Calla lebih dalam. Sakit itu tak punya suara. Tapi kini, ia merasa bisa mendengarnya-menderu di dadanya, di sekujur tubuhnya, memekakkan telinga hingga membuatnya nyaris gila.
Di balik pintu, para dokter hanya bisa menunduk. Mereka sudah menyampaikan semuanya. Leona tak akan bertahan lama. Beberapa jam, mungkin. Sehari, jika mujizat datang. Tapi mereka tahu... mujizat tidak akan datang malam ini. Tidak untuk Calla.
Dan Ares tidak ada di sana.
Tidak ada suara pintu terbuka. Tidak ada langkah tergesa masuk ruangan. Tidak ada pelukan, pelipur, atau bahkan tatapan iba dari seorang ayah yang seharusnya berlari, jatuh, menangis-untuk putri yang pernah ia sebut "cahaya kecil di dunia paling gelapku."
Karena malam ini, Ares memilih berada di tempat lain.
Tiga belas jam sebelumnya, Calla meneleponnya. Tangannya gemetar saat memencet nomor itu, berharap hanya sekali ini saja Ares menjawab dengan cepat. Ia bahkan belum sempat menyeka air mata yang terus turun saat suara sambungan mengalun tiga kali... empat... lalu akhirnya,
"Ares, tolong... Leona... dia-"
"Aku sedang boarding ke Florence. Pesawat tinggal lepas landas," sahut Ares cepat, terdengar tergesa dan... tak sabar. "Bisa nanti saja?"
"Nanti?" suara Calla pecah. "Leona kritis. Jantungnya-"
"Aku sudah titip pada rumah sakit terbaik. Dokter-dokternya akan-"
"Dia butuh kau, Ares! Dia... putri kita!" Calla berteriak, tidak peduli lagi pada suara orang-orang di ruang tunggu yang mulai menatapnya. Ia berdiri sendiri di tengah dunia yang retak, dan satu-satunya orang yang seharusnya memeluknya, justru memutus panggilan tanpa pamit.
Klik.
Suara itu lebih menyakitkan dari berita apapun yang dokter sampaikan malam itu.
Sekarang, saat jam dinding menunjukkan pukul 22.14, dan Leona mulai menunjukkan penurunan drastis, Calla sudah tidak menangis lagi. Air matanya kering. Hatinya pun demikian. Ia duduk di kursi plastik dingin, menggenggam tangan mungil itu erat-erat-seolah bisa memaksa jiwa anaknya untuk tetap tinggal hanya dengan cinta seorang ibu.
Tapi tubuh itu mulai melemah. Warna kulit Leona semakin pucat. Mesin menunjukkan angka-angka yang tak lagi menjanjikan harapan. Perawat masuk dan keluar membawa instrumen yang tak ia mengerti. Salah satu dokter mencoba menenangkannya, dengan suara tenang dan penuh hormat.
"Jika Anda ingin memanggil keluarga... mungkin sekarang saatnya."
Keluarga?
Calla memejamkan mata. Ia tidak punya siapa-siapa lagi. Ibu mertuanya bahkan tak pernah menyukai keberadaannya. Ibunya sendiri meninggal saat Calla masih duduk di bangku SMA. Ayahnya entah di mana. Yang ia punya... satu-satunya yang ia anggap rumah... justru sedang menjemput wanita dari masa lalunya.
Lyanna.
Nama itu seperti duri dalam tenggorokannya. Wanita yang dulu pernah Ares cintai sebelum mereka menikah. Wanita yang katanya menghilang, lalu muncul kembali dua minggu lalu. Dan Ares, dengan segala luka yang katanya belum sembuh, langsung terbang-untuk menjemputnya di bandara dan menyambutnya dengan pesta privat di vila keluarga.
Calla bahkan tidak diberitahu langsung. Ia mengetahuinya dari media sosial salah satu rekan bisnis Ares, yang tanpa sadar memotret kebersamaan mereka dan mengunggahnya dengan caption:
"Akhirnya, pasangan yang ditakdirkan bersama kembali bersatu. Welcome home, Lyanna."
Pasangan yang ditakdirkan?
Calla menggenggam lebih keras tangan Leona. Seolah mengalirkan seluruh rasa sakitnya lewat sentuhan itu.
Dia tidak pernah menjadi 'takdir' bagi siapa pun. Bahkan ketika menikah dengan Ares tiga tahun lalu, itu bukan karena cinta. Tapi karena sebuah perjanjian keluarga yang tidak pernah Calla minta. Ia dijodohkan. Dijadikan istri pengganti karena kakaknya kabur menjelang pernikahan.
Dan Ares? Ia menerimanya karena bisnis.
Tapi saat Leona hadir, Calla benar-benar percaya... bahwa hidupnya punya makna. Bahwa Ares mungkin bisa melihatnya. Mungkin bisa mencintainya. Tapi semua itu hanya harapan kosong.
Kini, saat anak mereka terbaring antara hidup dan mati, Ares memilih wanita lain.
Pukul 23.02.
Detik itu, mesin utama berbunyi panjang. Dokter berteriak. Perawat berlari. Seseorang menekan tombol alarm.
Calla tidak bergerak. Ia hanya berdiri, terjebak di tengah kekacauan itu, dengan jantung seperti diremas, lidah kelu, tubuh dingin.
Salah satu perawat menatapnya dengan iba.
"Bu... Anda harus keluar dulu."
"Tolong selamatkan dia," bisiknya. "Tolong..."
Tapi tidak ada jawaban pasti.
Calla berjalan mundur dengan langkah goyah. Ia bersandar di dinding luar ICU, dan di saat itulah... sebuah pesan masuk di ponselnya.
Dari: Ares
"Kami baru sampai. Malam ini akan jadi malam yang panjang. Aku akan pulang besok siang. Jaga dirimu."
Tidak ada pertanyaan tentang Leona.
Tidak ada kata bagaimana kondisi anak kita.
Tidak ada.
Calla menatap pesan itu lama, lalu menurunkan ponsel perlahan. Saat suara alarm di ruang ICU berhenti, dan dokter keluar dengan tatapan muram, ia sudah tahu.
Dunia itu berhenti malam ini.
Dan Ares bahkan tidak tahu apa yang baru saja ia hancurkan.
Bab 1 Sunyi yang Tak Pernah Dimengerti
28/05/2025
Bab 2 ruang ICU
28/05/2025
Bab 3 hidup Calla berubah total
28/05/2025
Bab 4 Retak di Antara Harapan
28/05/2025
Bab 5 Hidup memang kejam
28/05/2025
Bab 6 Di balik layar media
28/05/2025
Bab 7 sosoknya dalam cahaya keemasan
28/05/2025
Bab 8 Tiga minggu kemudian
28/05/2025
Bab 9 Kau bisa lakukan ini
28/05/2025
Bab 10 Berita tentang Ricci Group
28/05/2025
Bab 11 menghubungi berbagai lembaga rumah sakit
28/05/2025
Bab 12 kejadian penculikannya
28/05/2025
Bab 13 Warisan Luka
28/05/2025
Bab 14 selama lebih dari 12 tahun
28/05/2025
Bab 15 Mereka yang dulu takut kini mulai bicara
28/05/2025
Bab 16 Satu hal yang pasti
28/05/2025
Bab 17 penyelidikan
28/05/2025
Bab 18 sudah terlalu lama menyembunyikan
28/05/2025
Bab 19 jadwal pertemuan
28/05/2025
Bab 20 Curiga
28/05/2025
Bab 21 Kita harus bertindak cepat
28/05/2025
Bab 22 bukan hanya karena ancaman
28/05/2025
Bab 23 membatasi pergerakan Maya
28/05/2025
Bab 24 Tembakan pertama
28/05/2025
Bab 25 melainkan karena kesadaran
28/05/2025
Bab 26 berisi bukti
28/05/2025
Bab 27 Siapa yang mengawasi mereka
28/05/2025
Bab 28 Pintu gudang berderit terbuka
28/05/2025
Bab 29 menambah kesunyian
28/05/2025
Bab 30 meninggalkan bekas luka
28/05/2025
Buku lain oleh Supyan sauri
Selebihnya