Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Malam baru datang, tapi para pemuda pemudi haus hiburan yang ada di kelab malam tempat Nana biasa mencari mangsa sudah terlena di lantai dansa. Kehidupan liar yang ia rengkuh sejak remaja membuatnya berakhir sebagai wanita malam. Namun, bisa dibilang, Nana menikmatinya.
Asap mengepul dari mulut pria muda yang duduk dengan tenang di depan Nana. Matanya menatap tajam tubuh indah Nana yang tercetak jelas dibalik bajunya yang minim.
"Wanna eat me?" tanya Nana seduktif. Nana memang suka mencari mangsa cepat, dalam satu malam, ia bisa menggaet dua pria untuk dimanjakan.
Pria itu, tanpa babibu, menggendong Nana dengan cepat menjuju ruang khusus para tamu yang ingin berolahraga ranjang. Memuaskan hasratnya yang naik karena godaan Nana, sang kupu-kupu malam. Itulah Jakarta dan kehidupan malamnya.
***
Suara tabuhan genjring dan lantunan selawat terdengar semarak di aula pesantren Nurul Hikmah. Pesantren yang memiliki lebih dari dua ribu santri itu memang mengadakan selawat bersama setiap malam selasa. Fauzi memandang dari jauh di mana santri putra dan santri putri berada dalam dua kerumunan. Kerumunan itu terpisah oleh satir hijau yang membentang dari mimbar hingga ke pintu.
"Santri Abah semangat sekali kalau sedang berselawat. Kalau mengaji kitab gundul saja, pada ngantuk semua," kelakar Fauzi sembari memijit pundak Kiai Anwar, ayahnya.
Kiai Anwar terkekeh pelan, kemudian berkata, "Loh, jangan salah, tidak lihat kalau Ustaz Fahri sedang ngaos Fathul Izzar?"
"Kalau itu jangan ditanya." Ganti Fauzi yang terkekeh.
"Lagi ngomongin apa, kok, sepertinya seru sekali." Seorang wanita berpakaian syar'i datang sembari membawa dua teh dalam cangkir kecil. "Ini tadi Umi dapat kue bolu dari Isma, dia sudah balik ke sini."
"Lagi ngomongin santriwan dan santriwati Umi, semangat sekali berselawat," ujar Fauzi sembari mengambil teh untuk Kiai Anwar."Mau bolunya, Bah?"
"Tidak usah, Abah masih kenyang." Kiai Anwar mengelus perutnya sembari tersenyum simpul.
"Ya, sudah dilanjutin, Umi masuk lagi, ya."
"Nggih, Umi. Terima kasih teh dan bolunya," ujar Fauzi takzim.
Fauzi dan Kiai Anwar terdiam. Dari teras Dalem, mereka melihat santriwan dan santriwati bubar setelah sholawat selesai. Sebentar lagi adzan isya' akan dikumandangkan oleh salah satu santri putra yang piket.
"Kamu jadi imam, ya? Abah mau salat di rumah. Nanti kamu mengajar?" tanya Kiai Anwar.
"Sendika dawuh, Abah. Nanti Fauzi mengajar Nashoihul Ibad." Fauzi membuka kunci kursi roda kiai Anwar dan membawanya masuk ke Dalem.
Kiai Anwar terpeleset ketika selesai mengimami salat zuhur, sehingga patah tulang kaki dan harus memakai kursi roda sampai tulangnya kembali tersambung.
"Nanti setelah mengajar, langsung pulang dulu, ya? Abah sama Umi mau bilang sesuatu," pinta Kyai Anwar setelah sampai di kamar.