Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Malam Untuk Danira

Malam Untuk Danira

Mizy

5.0
Komentar
496
Penayangan
63
Bab

Namaku Danira, aku bukan seorang pelakor, aku hanya seorang gadis desa yang merantau ke kota dan mencari rezeki di sana. Namun sayang, sesuatu hal telah menyeret aku pada sebuah pekerjaan yang tidak seharusnya aku lakukan. Tapi untuk keluar dari pekerjaan itu, aku tidak bisa karena aku sudah jatuh sedalam-dalamnya tanpa bisa lagi naik ke permukaan. Hingga suatu hari, aku dibawa pada sebuah malam yang mampu merubah hidupku seratus delapan puluh derajat dimana semua manusia tidak akan pernah menyangka dengan takdirku itu. Selamat membaca, semoga kisahku bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Bab 1 Meninggalkan Kampung Halaman

"Pria itu sudah di tangkap."

Danira memutar bola mata, ia tidak berani bertatapan dengan mata tajam milik Husain. Beberapa hari terakhir ini, pria paruh baya itu yang terus mengunjunginya di rumah sakit, bersama Santi tentunya, istri Husain.

Santi yang berdiri di samping Husain memberi kode pada suaminya itu untuk keluar dan selanjutnya Danira bisa mendengar langkah kaki yang mulai menjauh. Ia merasa lega karena sekarang hanya tinggal berdua dengan Santi. Berhadapan dengan Husain membuat nyalinya menciut. Entah kenapa, sosok Husain mengingatkan ia pada sosok Imron, ayahnya di kampung.

"Bagaimana rasanya sekarang?" tanya Santi lembut.

"B-baik," jawab Danira dengan suara yang teramat pelan. Untuk mengeluarkan suara saja ia butuh tenaga yang besar, untung saja benda tajam itu tidak melukai pita suaranya.

"Orang tua kamu sudah tau. Mereka sedang berusaha untuk ke sini."

Kedua bola mata Danira berembun, apa yang harus ia jelaskan pada ayah dan ibunya nanti jika mereka bertemu?

"Jangan menangis. Mereka sudah tau apa yang sudah terjadi."

Ucapan yang keluar dari mulut Santi bukannya menenangkan Danira tetapi malah membuat genangan di matanya tadi semakin banyak dan menjatuhkan bulir-bulir di kedua pipinya yang pucat.

"Bagaimanapun, mereka harus tau apa yang telah terjadi pada dirimu di sini. Kalaupun kejadian ini di sembunyikan, cepat atau lambat mereka pasti akan tahu juga. Lebih baik mengatakannya sekarang daripada mereka tahu dari orang lain ataupun dari berita yang mereka lihat nanti."

Danira terdiam, Santi seratus persen benar. Memang lebih baik ayah dan ibu Danira tau kejadian ini sekarang daripada tau dari mulut orang lain yang tidak sepenuhnya mengetahui apa yang sudah terjadi pada gadis itu.

Tapi, membayangkan kenyataan kalau ayah dan ibunya sudah mengetahui apa yang Danira lakukan selama di sini... membuat gadis itu kembali meneteskan air mata.

Danira sudah menggoreskan luka yang teramat dalam di hati kedua orang tuanya.

"Dua minggu lagi, kamu akan menjalani operasi kedua. Jagalah kesehatan, jangan terlalu lama bersedih karena tuhan sudah memberikan kamu umur yang panjang untuk mengakui kesalahan dan bertaubat. Berbahagialah... karena kamu salah satu orang yang sangat beruntung."

Danira menyimpan rapat perkataan Santi dalam hati dan kepalanya. Andai saja dua orang tua ini tidak peduli kepada nasib dirinya, pasti Danira akan melalui hari-hari yang gelap di rumah sakit. Hari-hari yang penuh cemoohan dan sindiran dari orang lain.

Namun Santi dan suaminya, Husain yang membuat Danira kuat dan tegar menghadapi cobaan yang tengah ia alami, jika dua orang tua itu tidak ada... rasanya Danira ingin bunuh diri dan mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup menanggung malu.

Malu?

Ternyata gadis yang baru berusia dua puluh tahun itu masih merasakan malu saat berita tentang dirinya di muat di media lokal dan situs berita lokal. Dan berkemungkinan, berita tentang dirinya ini juga akan di muat di portal berita nasional.

Bukankah biasanya seperti itu? Si pemburu berita pasti suka mencari berita yang sedang viral di daerah tertentu dan mengemasnya kembali untuk di upload di channel pribadi guna mendapatkan keuntungan dari informasi yang mereka berikan.

Sangat menyedihkan!

Dua tahun yang lalu...

"Yakin gak mau ikut, Ra?

"Mau banget, Sy... tapi ayah dan ibu belum memberikan izin."

Danira menjawab sambil terus menjalin dua daun kelapa yang akan ia bentuk menjadi sarang ketupat. Sarang-sarang ketupat itu nantinya akan di bawa ibunya ke pasar kecamatan untuk di jual. Hasil penjualan akan di berikan oleh ibu Danira untuk gadis itu tabung.

"Ya udah, cepetan bujuk. Satu minggu lagi aku berangkat, kalau jadi... kita barengan saja."

"Tiap hari juga aku dah bujuk, Sy... tapi memang ayah dan ibu aja yang gak mau mengizinkan." Danira menampilkan ekspresi wajah cemberut demi meyakinkan ucapannya.

"Kalau begitu ancam saja, Ra!"

Danira yang tadinya sibuk menjalin daun kelapa mengangkat kepalanya untuk menatap wajah sahabatnya, Lusy.

"Ancam? Ancam bagaimana?" tanyanya penasaran.

"Bilang saja kalau kamu tidak di izinkan pergi maka kamu akan kabur dan tidak akan pulang, atau yang lebih ekstrim lagi, bilang kalau kamu akan mati," desis Lusy.

Bulu kuduk Danira meremang mendengar ide sahabatnya itu. Bukankah itu terlalu kejam untuk ia ucapkan pada orang tuanya?

"Ituuu... kalau kamu masih mau pergi," ujar Lusy lemah saat melihat ekspresi wajah Danira yang berubah mendengar ucapannya.

Danira membuang nafasnya, Lusy memang anak yang berani. Mereka sudah saling kenal semenjak kecil, rumah mereka tidak begitu jauh dan dulu mereka sering bermain bersama. Sifat keduanya bagaikan langit dan bumi, Lusy tidak mau di atur dan melakukan apa saja yang dia inginkan sedangkan Danira, ia gadis yang penurut dan tidak pernah membantah. Dua sifat yang berbeda itulah yang membuat Lusy dan Danira dekat dan saling melengkapi.

"Nanti aku akan coba bujuk ibu lagi. Siapa tahu, hati ibu akan melunak dan mengizinkan aku untuk pergi denganmu."

Lusy tersenyum, ia percaya kalau Danira sudah berusaha membujuk orang tuanya. Danira tidak pernah berbohong.

*

"Jauh sekali, Nak," ujar Nazrah dengan raut wajah khawatir.

"Kenapa juga harus jauh-jauh. Kita hidup seperti ini sudah cukup bagi Ibu asalkan kita tetap berkumpul bersama. Anak Ibu dan Ayah hanya kamu seorang, kalau mau kerja yang dekat dari sini kan bisa. Ayah dan Ibu lebih mudah mengunjungi jika kangen sama kamu," lanjut Nazrah.

"Tapi Bu...." Wajah Danira sedikit cemberut mendengar tanggapan ibunya. Sejak Lusy menawarkannya untuk ikut bersama dia, Danira sudah mulai bosan dengan pekerjaan yang di lakoninya. Hari-hari ia habiskan untuk mencari daun kelapa muda serta menjalinnya hingga membentuk sebuah ketupat.

"Kasihan ibu kamu kalau kamu tinggal jauh-jauh."

Imron, ayah Danira yang sedari tadi memperhatikan ikut bersuara.

Danira menunduk, berusaha menyembunyikan wajah sedihnya.

"Kata Lusy, gaji di sana besar. Kita bisa beli apa saja yang kita mau. Bahkan kita bisa melihat Singapura tanpa harus mengunjungi negara itu," ucap Danira yang masih mengharapkan izin ke dua orang tuanya.

Jujur saja, ia sangat tergiur dengan cerita Lusy tentang kota yang berseberangan dengan negara singa tersebut.

Yang Danira tau, negara tersebut sering menjadi tempat artis jalan-jalan dan berbelanja.

"Mencari kerja itu gak gampang, Nak. Apalagi kamu hanya tamat SMA. Apa iya, kamu akan dapat kerja sampai di sana?" Nazrah terlihat ragu, ia sudah mulai memikirkan permintaan putrinya.

Kalau sudah begini, Danira seolah mendapatkan sedikit harapan.

"Lusy juga tamat SMA, Bu. Dia langsung dapat kerja dan ibu bisa lihat kalau sekarang ia punya banyak uang. Cincin dan gelang emasnya saja banyak."

Nazrah menghela nafasnya. Wanita itu memutar bola matanya melirik pada Imron, ayah Danira.

Merasa di lirik, Imron pun angkat bicara.

"Kalau mau, kamu juga bisa beli cincin, tabungan kamu kan juga sudah mulai banyak," cetus Imron.

Danira menatap kedua orang tuanya secara bergantian, sepertinya memang tipis harapannya untuk pergi bersama Lusy. Gadis itu pun masuk ke kamarnya dengan perasaan kecewa.

Beberapa menit kemudian, Danira mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ia pun bergerak dan membukakan pintu kamar.

Nazrah sudah berdiri di depannya, wanita itu tersenyum kecil.

"Baiklah, jika memang itu mau mu. Ayah dan ibu mengizinkan, tapi dengan syarat kamu harus pulang setidaknya satu kali dalam setahun."

"Baik, Bu. Danira akan sering pulang mengunjungi ayah dan ibu."

Gadis itu tersenyum senang, ia memeluk Nazrah dengan erat. Esok pagi, ia akan menyampaikan berita bahagia ini pada Lusy.

*

Burung besi itu mendarat dengan sempurna di Bandara Hang Nadim. Ini adalah pertama kalinya Danira naik pesawat, dan ia sempat takut saat pesawat landing tadi. Rasanya ia di jatuhkan dari tempat yang tinggi. Perutnya ikut bergetar dan setelah itu ia merasakan geli seperti ada yang menggelitik dari dalam.

Cuaca hari ini terasa sangat panas, Lusy bilang sudah biasa di kota itu cuaca panas seperti ini. Tidak seperti di kampung mereka yang adem dan dingin. Di sana berjejer pohon kelapa, dan semua masyarakat bisa dengan mudah memetiknya. Tapi yang Danira lihat sepanjang perjalanan di kota ini bukit-bukit gersang dengan jenis tanah yang keras dan sedikit tandus. Di sisi lain jalan berjejer bangunan dua lantai dan sebagian lagi ada pintu masuk seperti gapura yang Danira tidak tahu di dalamnya apa.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku