Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Suasana malam dingin, alunan musik piano instrumental tampak semakin nyaring terdengar ketika Soni mempersilakan Kara untuk duduk. Pria itu telah mempersiapkan segalanya, untuk melamar Kara. Wanita yang memiliki kulit putih bertubuh ramping nan mungil, senyuman kecil ditorehkan tampak kaku.
Suasana canggung tercipta.
"Mbak Kara, ingin memesan makanan yang kamu suka?" tanya Soni tak meluputkan pandangannya begitu serius.
Kara mengendik, "Son, sebenarnya aku lebih menyukai aneka makanan yang sederhana. Makan di warteg ataupun sekadar nasi goreng pinggir jalan." Kara menjawab sembari menyelipkan anak rambut, ragu menatap pria itu.
Kara benar-benar memperhatikan suasana di cafe tersebut. Suasana yang membuatnya sangat canggung. Bagaimana tidak, sedangkan tempatnya saja tergolong sangat mewah.
"Mbak, sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu kepada Mbak. Sebenarnya aku itu mencintai Mbak Kara." Soni akhirnya berani mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam.
Kara langsung terbelalak mendengar pengakuan Soni.
"Apa? Itu tidak boleh terjadi Soni!" Kara sedikit tersentak kaget dan tersenyum canggung. Kara bergeming memikirkan cara menolak secara halus pada pria di hadapannya.
Soni langsung memegang tangan Kara dan mengecup punggung tangan Kara.
"Aku serius, Mbak. Aku mencintaimu. Lagian kenapa juga tidak boleh terjadi?"
Kara semakin bingung untuk menjelaskan semuanya. Kara tahu, sikap Soni yang suka memaksa. Makanya sekarang, Kara lebih memilih memikirkan cara halus menolak pria ini.
"Kita nggak akan pernah cocok, Son. Kita juga nggak akan bisa bersama. Kita nggak pantas Soni. Aku harap kamu paham."
Kara mencoba berbicara dengan sangat pelan pada Soni. Kara juga berbicara dengan nada yang lemah lembut.
"Kenapa nggak cocok. Please 'lah. Kalau kasih alasan itu yang tepat dikit. Aku tahu, kamu juga belum move on dari dia. Apa salahnya terima aku dan coba buka hati buat aku?"
Soni menatap tajam Kara. Karena penolakan wanita itu. Sungguh jawaban Kara yang ambigu. Soni tidak dapat menerima itu.
"Kita nggak akan bisa sejalan. Orang tuamu tidak akan pernah setuju. Aku tidak bisa melawan takdir yang ada. Aku harap kamu paham akan hal ini."
Kara berusaha tegas menjawab itu. Kara tidak ingin jika Soni menaruh harapan yang lebih. Kara lekas berdiri dan ingin pergi meninggalkan tempat itu.
"Kamu mau ke mana, Mbak? Makan dulu." Soni menatap tajam Kara, agar mau menurutinya.
Kara memang menuruti ucapan Soni. Ya, Kara memilih mencari aman saja saat ini.
"Mbak, tolong jawab! Kenapa Mbak nolak aku? Ini bukan karena Shella 'kan?"
Kara tersenyum getir menatap Soni.
"Bukan karena siapapun Son. Kita memang tidak seharusnya bersama. Tolong Son, jangan memaksakan takdir yang jelas sangat tidak mungkin ini."
Kara menundukkan wajahnya dan enggan menatap Soni.
"Kenapa tidak mungkin, Mbak? Apa sejijik itu, aku di matamu? Kenapa pria itu bisa dapat tempat di hatimu, sedangkan aku nggak. Aku yang menemanimu loh, Mbak. Sampai kamu udah ada di titik ini. Sedangkan dia menghilang pergi begitu saja, di saat kamu butuh dia, Mbak."
Soni sangat tidak terima, jika Kara masih mempertahankan cintanya, untuk mantan kekasihnya yang menghilang begitu saja.
"Aku tahu, kamu cukup berjasa dalam hidupku, tapi tidak sepatutnya kita bersama. Maaf, aku tidak bisa memberikan jawaban lain. Aku harap kamu dapat mengerti tentang hal ini."
Sesak semakin terasa, saat Soni mengatakan itu. Sesuatu yang sangat jelas larangannya. Andai saja, Kara mampu berkata jujur tentang keadaan yang sesungguhnya. Namun, semua itu hanya akan membuat banyak hati tersakiti dan sampai saat ini Kara hanya bisa memendam itu.
Soni hanya menatap Kara dengan tatapan seolah tidak percaya dengan jawaban wanita itu. Soni mengira karena ada hal lain. Soni benar-benar bingung dengan sikap Kara saat ini. Kara lebih diam dan lebih dingin.
Soni melangkah pulang bersama Kara. Walaupun tidak menutup perasaannya yang cukup hancur mendengar penolakan Kara tadi.
"Aku masuk duluan. Makasih sudah menjemputku. Lain kali nggak usah jemput lagi."
Kara meninggalkan Soni terlebih dahulu.
Soni langsung menggebrak setir mobilnya. Kesal bukan kepalang saat ini. Yang Soni tahu, saat ini Kara masih jomblo, tapi kenapa sulit digapai? Lebih sulit daripada mengejar Shella yang anak sultan itu.
"Aku akan menaklukanmu, Mbak Kara. Aku pastikan kamu pasti akan menjadi milikku," gumam Soni.
*
Kara langsung berlari menuju kamarnya. Namun, dipertengahan jalan Kara bertemu dengan Ibu Arlita, ibunda Soni.
"Kara, Soni mana? Kenapa sih kamu harus dijemput Soni terus? Nggak berani pulang sendiri kamu?"
Kara sebisa mungkin tersenyum, walau sangat jelas gurat kesedihan di matanya.
"Maaf, Nyonya! Saya tidak menyuruh Den Soni menjemput saya. Saya tahu diri, kok."
Kara sebisa mungkin mengontrol emosi. Hal seperti ini, sudah sangat sering terjadi. Kara selalu berpikir, setidaknya dia dibiayai sekolah dan bisa mendapat pekerjaan yang layak saat ini. Kara menepis segala keinginan lain, agar nantinya mendapatkan masa depan yang baik.
"Ya memang, seharusnya kamu tahu diri. Ingat, kamu hanya cucu seorang pembantu!" seru Arlita.
Kara semakin tersenyum hambar.
"Setidaknya pekerjaan pembantu itu halal, Bu. Satu lagi, dia tidak pernah untuk tidak mengakui cucunya ataupun anaknya."
"Kamu!"