Ingin Tenang, Dengan Menumpang

Ingin Tenang, Dengan Menumpang

KhaRa_Asha

5.0
Komentar
427
Penayangan
21
Bab

Deli ingin mencari ketenangan dari semua masalah yang sedang dihadapinya, dengan cara menumpang hidup di rumah Dena–Adik Kandungnya

Bab 1 Kedatangan Kak Deli

Jam di dinding menunjukkan hampir pukul dua belas siang, cuaca terasa sangat panas hari ini. Alhamdulillah, semuanya selesai tepat waktu sesuai perkiraanku. Mengamati dan memastikan kembali keadaan rumah, rasanya senang melihat semua sudah bersih dan rapi. Sejak pagi, aku dan Nisa bekerjasama menyelesaikan semua pekerjaan rumah.

Satu per satu ku tutup pintu kabinet di dapur. Bahan makanan serta keperluan sehari-hari lainnya, baru saja selesai ditata rapi sesuai tempatnya. Ku lepas rasa lelah dengan duduk bersandar di kursi. Terlintas dalam pikiran ingin menikmati segelas es teh manis, pasti terasa sangat segar di tenggorokan.

Saat ini yang ada di rumah hanya aku dan Nisa–Anak Sulungku. Sejak selesai menyantap sarapan pagi, Bang Hasyim–Suamiku dan Zio–Anak Bungsuku pergi bersama-sama mengikuti kegiatan gotong royong. Hari ini semua warga di sini wajib ikut berperan serta membersihkan saluran air yang tersumbat di ujung komplek perumahan.

Dua hari yang lalu, sedari pagi hingga sore hujan turun sangat deras. Tadi pagi saat aku pergi ke pasar untuk berbelanja, luapan air selokan masih menggenang setinggi mata kaki di depan gerbang masuk komplek. Menurut informasi dari tetangga sebelah rumah, saluran air yang berada di ujung komplek tersumbat oleh banyak sekali sampah.

Perlahan ku aduk seduhan teh di dalam gelas dengan dua sendok makan gula. Dari kulkas, ku ambil beberapa buah es batu kecil kemudian memasukkannya ke dalam gelas. Samar-samar terdengar seperti suara ketukan pintu. Ku hentikan adukan sendok di gelas, mencoba mendengar lebih jelas.

"Assalamu'alaikum ...." Kini terdengar suara seseorang mengucap salam.

Nisa yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga terdengar menyahut salam. Ku lihat dia mematikan televisi, kemudian beranjak pergi ke pintu depan. Ruang keluarga dan dapur rumah tidak ada sekat, apapun yang terjadi di ruang keluarga bisa terlihat dari dapur.

'Wa'alaikumsalam ... eh, Tante Deli. Mari masuk, Tante! Sendirian aja, ya?" Sesaat hening, tak terdengar jawaban apapun dari lawan bicara Nisa. Tak lama terdengar seperti suara gesekan benda berat bergeser di lantai.

Ternyata Kak Deli yang datang, tapi tadi tak terdengar suara mobil travel yang mengantarnya. Biasanya dia ke sini bersama anak atau menantunya, kali ini kenapa hanya datang sendirian?.

"Sini, Nisa bantu bawa kopernya!" Santun terdengar suara Nisa menyambut kedatangan Tantenya. Kureguk es teh manis hingga tersisa setengah gelas, setelahnya kembali menajamkan telinga menyimak percakapan Nisa dengan Kak Deli.

"Iya, Nisa. Terimakasih, loh, hati-hati berat! Makin tinggi aja kamu, Nisa. Kok, malah jadi kelihatan kurus banget. Nggak bagus tahu, kurus kayak gini!" Teganya Kak Deli mengomentari tubuh Nisa. Seolah sangat perhatian pada keponakannya itu, padahal di telingaku terdengar seperti sedang menghinanya.

"Nih ada sedikit oleh-oleh dari kampung, kasih sana ke Mamak mu!" titah Kak Deli.

Sesaat tak terdengar apapun, aku mengernyitkan kening.

"Ngapain lagi kamu, Nisa? Sana, cepat panggil Mamakmu!" hardik Kak Deli pada Nisa. Aku tersentak. Sebenarnya apa yang telah dilakukan Nisa, sehingga Kak Deli meninggikan suaranya.

Baru saja hendak beranjak, derap langkah Nisa terdengar semakin dekat. Yang pertama terlihat adalah raut wajahnya yang murung dan juga kesal. Anak perempuanku yang mulai beranjak remaja ini, tertunduk lesu melangkah ke arahku.

"Mak ... Tante Deli sudah datang! Bawa koper besar, loh! Nisa bantu angkat tadi, ternyata berat banget. Jangan-jangan ... isinya batu!" celetuk Nisa dengan polosnya.

Hah! Koper Besar? Apa Kak Deli berencana tinggal lama di rumahku? Apa terjadi sesuatu di kampung, atau Kak Deli hanya ingin liburan saja. Aku terus menduga-duga, apa sebenarnya tujuan kedatangan Kak Deli ke sini. Semakin dipikirkan rasanya sangat aneh, tak mungkin Kak Deli meninggalkan usaha warung makan yang dikelolanya di kampung.

Usaha warung makan itu dulunya milik almarhum Ibu, Kak Deli meneruskannya setelah kondisi kesehatan Ibu semakin memburuk. Dari hasil usaha warung itu lah, Kak Deli mencukupi kebutuhan hidup dia dan anak-anaknya.

Nama ku Dena, aku saudara satu-satunya Kak Deli. Ibu kami sudah wafat 10 tahun yang lalu, sedangkan Ayah sudah menikah lagi setahun setelah Ibu wafat.

Seketika lamunanku buyar, saat Nisa menyentak lenganku pelan.

"Mak ... dengar Nisa, tidak?" rengeknya.

"I–iya, Sayang! Mamak dengar, kok."

"Tadi Tante Deli sempet-sempetnya komentar, kalo Nisa terlalu kurus. Lah, emangnya Nisa kurus banget, ya? Nyinyir banget sih mulut Tante Deli, Nisa nggak suka!" Setengah berbisik Nisa berbicara, seperti takut terdengar oleh Kak Deli. Ternyata Nisa paham dan masih ingat tabiat Tantenya itu.

"Nisa nggak lupa, kan? Apa pesan Mamak, bila ada yang memperlakukan Nisa seperti Tante Deli tadi? Ambil nafas tiga kali dari hidung, dan hembuskan dari mulut. Ucap Istighfar sebanyaknya dalam hati, terus ... kasih deh senyum termanis yang Nisa punya!" Kuusap-usap bahunya menenangkan, menatap gemas wajahnya yang mulai tersenyum.

Nisa mengulurkan tangannya padaku, memberikan satu bungkusan plastik yang dibawanya.

"Nih Mak, Tante Deli bilang ini buat Mamak! Oleh-oleh dari kampung katanya, boleh Nisa lihat tidak apa isinya?" Pasti dia mengira isi plastik ini jajanan kampung kesukaannya. Camilan adalah makanan favorit Nisa, kalau belum dapat yang diinginkannya pasti akan terus menggangguku.

"Kalau isinya camilan bolehlah, ya, Nisa minta? Buat besok dibawa ke rumah Lia, jadi Mamak besok nggak perlu bikinkan Nisa camilan lagi." Tuh kan benar dugaan ku. Belum lagi sempat menjawab, Nisa sudah merebut plastik yang diberikannya tadi. Padahal aku sendiri belum melihat apa isi di dalamnya.

"Eh ... anak ini, main rebut aja! Sana bilang Tante Deli, tunggu sebentar. Mamak mau ganti baju dulu!" Nisa mendengus kesal, terpaksa memberikan lagi plastik berisi oleh-oleh itu kepadaku.

Dari dalam kamar, samar ku dengar Nisa mengobrol dengan Kak Deli. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengar dengan jelas.

Selesai berganti pakaian dan sedikit memoles wajah agar tak terlihat pucat. Aku tersentak saat hendak melangkah keluar kamar, tiba-tiba saja Nisa sudah menghadang di depan pintu. Matanya mengamatiku dengan seksama, seperti sedang mencari-cari sesuatu.

"Mana Mak bungkusan tadi, apa sih isinya? Nisa mau, Mak!" Alisnya dinaik turunkan, tangan kanannya diangkat setinggi dada menadah padaku, sedang tangan kirinya berkacak pinggang. Tingkah Nisa membuatku tertawa terbahak-bahak, ada saja ulahnya di rumah selama libur sekolah ini.

"Tuh, Mamak taruh di atas meja dapur." Tanganku menunjuk ke arah plastik yang dicari Nisa.

"Makan siang dulu, Mamak sudah masak lauk kesukaanmu. Itu oleh-oleh bisa dimakan nanti saja, tunggu Adek sama Bapak pulang, ya!" sambungku lagi.

"Iya, Mak! Oh iya, Jadi nanti malam Nisa tidur sama Tante Deli, ya? Nisa tidur sama adek Zio aja, ya, Mak?" Mulut Nisa mencebik, tangannya menggoyang-goyangkan lenganku berusaha membujuk.

Ku sentil ujung hidung Nisa, mengacak-acak rambut pendeknya agar dia segera menyingkir dari depan pintu kamar. Nisa memasang raut wajah sedih, terlihat kecewa karena aku tak mau memenuhi permintaannya.

Di ruang tamu, terlihat Kak Deli duduk santai di sofa. Sepertinya tengah asyik menonton sesuatu di ponselnya.

Sebenarnya aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Biasanya Kak Deli akan memberi kabar jauh hari sebelum keberangkatannya, bila ingin mengunjungiku di sini. Tadi malam, setelah adzan isya berkumandang Kak Deli menelponku. Katanya baru saja berangkat dari rumah, akan menuju kota tempat tinggal ku sekarang.

Aku tak sempat menanyakan apa-apa, takut Kak Deli tersinggung dan marah. Tabiatnya yang mudah marah dan keras kepala, membuatku berpikir berulang kali untuk bertanya. Daripada nanti dapat amukannya saat sampai di rumahku, lebih baik aku diam dan mengiyakan saja ucapannya.

Setelah panggilan berakhir, langsung saja ku beritahukan hal ini pada Bang Hasyim. Dia hanya mengangguk saja, tanda bahwa setuju dan tak keberatan akan kedatangan Kak Deli.

"Maaf, ya! Kakak jadi menunggu lama. Dena baru selesai beresin dapur, mumpung hari minggu," celotehku pada Kak Deli. Yang ku ajak bicara terkesan cuek dan tak peduli.

"Kamar yang biasa ku tempati sudah siap, kan? tanya Kak Deli tanpa melihat ke arahku sama sekali.

"Se–sementara, Kak Deli sekamar sama Nisa dulu, ya? Di kamar tamu banyak stok barang pesanan pelanggan, rencananya nanti sore baru diambil pemiliknya, Kak!" Aku tersenyum kecut, saat Kak Deli spontan menoleh kearahku. Wajahnya memancarkan rasa tak suka atas jawabanku tadi.

"Ya sudah, bilang Nisa tolong bikinin minuman dingin dan bawakan ke kamar. Aku mau istirahat dulu, capek banget rasanya!" Pandangan Kak Deli tak lepas dari layar ponsel, dia perlahan beranjak menuju koper yang diletakkan Nisa didekat meja tamu.

"Kenapa Kak Deli tak langsung memintaku menyiapkan minuman yang dimintanya, malah menyuruhku bilang ke Nisa? Aneh!" Monolog ku sambil menggelengkan kepala.

Langkahku terhenti, saat hendak beranjak menuju dapur. Ku perhatikan apa yang sedang dilakukan Kak Deli. Raut wajahnya tak menunjukkan kelelahan, penuh senyum seperti sedang kasmaran. Dengan pandangan masih ke layar ponsel, Kak Deli melangkah tertatih menyeret koper besar menuju ke kamar Nisa.

Di dapur, kuambil sebotol minuman dingin dari dalam kulkas. Membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Di atas nampan bermotif bunga, ku letakkan setoples nastar keju beserta gelas berisi minuman dingin tadi.

Saat hendak beranjak membawa nampan, terasa getar ponsel di saku gamisku. Di layar terlihat ada pesan masuk, rupanya dari Bang Anto. Keningku mengernyit, tak paham dengan isi pesan itu.

Belum hilang kebingunganku, dering panggilan masuk di ponsel membuatku tersentak. Tertera nama Bang Anto, namun tak langsung ku terima panggilan teleponnya. Aku bergegas membawa nampan menuju ruang keluarga, terlihat Nisa sedang menonton tayangan televisi.

"Nisa ... tolong antarkan ini ke Tante Deli di kamarmu, ya. Jangan lupa, ketuk pintu terlebih dahulu!"

"Siap ... Mak!" Nisa langsung beranjak mendekat. Dengan sigap dia mengambil nampan di tanganku, kemudian melangkah pergi menuju kamarnya. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur Nisa tak pernah protes dan mengeluh saat diminta bantuan apapun.

Dering ponsel masih terdengar, ku percepat langkah menuju kamarku. Jemariku menggeser tombol hijau di layar ponsel, setelah sebelumnya pintu kamar ku pastikan tertutup rapat dan terkunci.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Balas Dendam Kejam Sang Mantan

Gavin
5.0

Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku