Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Seriusin Aja, Nikahnya

Seriusin Aja, Nikahnya

Leni Nuryani

5.0
Komentar
4.1K
Penayangan
19
Bab

Kara kebingungan kala Soni mengungkapkan kata cinta kepadanya. Kara memang merasa hutang budi pada Soni yang teramat baik, tapi jelas Kara tidak dapat menerima Soni. Hendra pria itu yang membongkar tentang rahasia Kara dan akhirnya membuar Soni mundur. Hendra pun akhirnya menaruh keyakinan untuk berumah tangga dengan Kara. Apakah pernikahan Kara nantinya hanya sebatas kontrak ataukah malah membawa kebahagiaan untuk Kara?

Bab 1 Pernyataan Cinta Soni

Suasana malam dingin, alunan musik piano instrumental tampak semakin nyaring terdengar ketika Soni mempersilakan Kara untuk duduk. Pria itu telah mempersiapkan segalanya, untuk melamar Kara. Wanita yang memiliki kulit putih bertubuh ramping nan mungil, senyuman kecil ditorehkan tampak kaku.

Suasana canggung tercipta.

"Mbak Kara, ingin memesan makanan yang kamu suka?" tanya Soni tak meluputkan pandangannya begitu serius.

Kara mengendik, "Son, sebenarnya aku lebih menyukai aneka makanan yang sederhana. Makan di warteg ataupun sekadar nasi goreng pinggir jalan." Kara menjawab sembari menyelipkan anak rambut, ragu menatap pria itu.

Kara benar-benar memperhatikan suasana di cafe tersebut. Suasana yang membuatnya sangat canggung. Bagaimana tidak, sedangkan tempatnya saja tergolong sangat mewah.

"Mbak, sebenarnya aku mau mengatakan sesuatu kepada Mbak. Sebenarnya aku itu mencintai Mbak Kara." Soni akhirnya berani mengungkapkan perasaannya yang telah lama terpendam.

Kara langsung terbelalak mendengar pengakuan Soni.

"Apa? Itu tidak boleh terjadi Soni!" Kara sedikit tersentak kaget dan tersenyum canggung. Kara bergeming memikirkan cara menolak secara halus pada pria di hadapannya.

Soni langsung memegang tangan Kara dan mengecup punggung tangan Kara.

"Aku serius, Mbak. Aku mencintaimu. Lagian kenapa juga tidak boleh terjadi?"

Kara semakin bingung untuk menjelaskan semuanya. Kara tahu, sikap Soni yang suka memaksa. Makanya sekarang, Kara lebih memilih memikirkan cara halus menolak pria ini.

"Kita nggak akan pernah cocok, Son. Kita juga nggak akan bisa bersama. Kita nggak pantas Soni. Aku harap kamu paham."

Kara mencoba berbicara dengan sangat pelan pada Soni. Kara juga berbicara dengan nada yang lemah lembut.

"Kenapa nggak cocok. Please 'lah. Kalau kasih alasan itu yang tepat dikit. Aku tahu, kamu juga belum move on dari dia. Apa salahnya terima aku dan coba buka hati buat aku?"

Soni menatap tajam Kara. Karena penolakan wanita itu. Sungguh jawaban Kara yang ambigu. Soni tidak dapat menerima itu.

"Kita nggak akan bisa sejalan. Orang tuamu tidak akan pernah setuju. Aku tidak bisa melawan takdir yang ada. Aku harap kamu paham akan hal ini."

Kara berusaha tegas menjawab itu. Kara tidak ingin jika Soni menaruh harapan yang lebih. Kara lekas berdiri dan ingin pergi meninggalkan tempat itu.

"Kamu mau ke mana, Mbak? Makan dulu." Soni menatap tajam Kara, agar mau menurutinya.

Kara memang menuruti ucapan Soni. Ya, Kara memilih mencari aman saja saat ini.

"Mbak, tolong jawab! Kenapa Mbak nolak aku? Ini bukan karena Shella 'kan?"

Kara tersenyum getir menatap Soni.

"Bukan karena siapapun Son. Kita memang tidak seharusnya bersama. Tolong Son, jangan memaksakan takdir yang jelas sangat tidak mungkin ini."

Kara menundukkan wajahnya dan enggan menatap Soni.

"Kenapa tidak mungkin, Mbak? Apa sejijik itu, aku di matamu? Kenapa pria itu bisa dapat tempat di hatimu, sedangkan aku nggak. Aku yang menemanimu loh, Mbak. Sampai kamu udah ada di titik ini. Sedangkan dia menghilang pergi begitu saja, di saat kamu butuh dia, Mbak."

Soni sangat tidak terima, jika Kara masih mempertahankan cintanya, untuk mantan kekasihnya yang menghilang begitu saja.

"Aku tahu, kamu cukup berjasa dalam hidupku, tapi tidak sepatutnya kita bersama. Maaf, aku tidak bisa memberikan jawaban lain. Aku harap kamu dapat mengerti tentang hal ini."

Sesak semakin terasa, saat Soni mengatakan itu. Sesuatu yang sangat jelas larangannya. Andai saja, Kara mampu berkata jujur tentang keadaan yang sesungguhnya. Namun, semua itu hanya akan membuat banyak hati tersakiti dan sampai saat ini Kara hanya bisa memendam itu.

Soni hanya menatap Kara dengan tatapan seolah tidak percaya dengan jawaban wanita itu. Soni mengira karena ada hal lain. Soni benar-benar bingung dengan sikap Kara saat ini. Kara lebih diam dan lebih dingin.

Soni melangkah pulang bersama Kara. Walaupun tidak menutup perasaannya yang cukup hancur mendengar penolakan Kara tadi.

"Aku masuk duluan. Makasih sudah menjemputku. Lain kali nggak usah jemput lagi."

Kara meninggalkan Soni terlebih dahulu.

Soni langsung menggebrak setir mobilnya. Kesal bukan kepalang saat ini. Yang Soni tahu, saat ini Kara masih jomblo, tapi kenapa sulit digapai? Lebih sulit daripada mengejar Shella yang anak sultan itu.

"Aku akan menaklukanmu, Mbak Kara. Aku pastikan kamu pasti akan menjadi milikku," gumam Soni.

*

Kara langsung berlari menuju kamarnya. Namun, dipertengahan jalan Kara bertemu dengan Ibu Arlita, ibunda Soni.

"Kara, Soni mana? Kenapa sih kamu harus dijemput Soni terus? Nggak berani pulang sendiri kamu?"

Kara sebisa mungkin tersenyum, walau sangat jelas gurat kesedihan di matanya.

"Maaf, Nyonya! Saya tidak menyuruh Den Soni menjemput saya. Saya tahu diri, kok."

Kara sebisa mungkin mengontrol emosi. Hal seperti ini, sudah sangat sering terjadi. Kara selalu berpikir, setidaknya dia dibiayai sekolah dan bisa mendapat pekerjaan yang layak saat ini. Kara menepis segala keinginan lain, agar nantinya mendapatkan masa depan yang baik.

"Ya memang, seharusnya kamu tahu diri. Ingat, kamu hanya cucu seorang pembantu!" seru Arlita.

Kara semakin tersenyum hambar.

"Setidaknya pekerjaan pembantu itu halal, Bu. Satu lagi, dia tidak pernah untuk tidak mengakui cucunya ataupun anaknya."

"Kamu!"

Bu Arlita semakin emosi kepada Kara. Namun, Bu Arlita lekas meredam emosinya, saat Soni memasuki rumah.

"Maaf, Bu! Saya permisi!" Kara tersenyum manis, walaupun dalam hatinya menahan luka yang teramat dalam.

Kara langsung masuk kamar neneknya. Kara langsung memeluk Nenek Ruminah dan menangis dipelukan Ruminah.

"Kara ngerasa lelah, Nek. Kita pergi aja yuk!"

Ruminah menggelengkan kepala.

"Nggak, Kara. Kita nggak boleh pergi dari sini. Kalau kita pergi, berarti kita kalah. Bukankah kamu masih menginginkan hal itu."

Kara memejamkan mata. Mencoba menahan rasa sakit yang kian menggebu. Ditambah rasa bersalah pada Soni, karena tidak bisa mengungkapkan siapa dia yang sesungguhnya.

Semua Kara lakukan untuk kebaikan bersama. Mungkin tidak akan ada yang memihaknya, kecuali Nenek Ruminah dan juga Revan sahabatnya.

"Kamu kuat, kok, Kara. Kamu lebih kuat dari ini. Kamu bahkan sudah melewati rasa yang terlampau sakit itu."

"Kara tahu, Nek, tapi sampai kapan?" Kara tidak sanggup membendung tangisnya.

"Sabar, Sayang. Sabar." Nenek Ruminah menarik napas sebelum menyampaikan ucapannya. "Bentangkan sajadahmu. Menangis dan mengadulah pada Sang Pencipta. Mintalah agar dia dilembutkan hatinya dan mau menerimamu, serta mengakuimu."

Kara menganggukan kepala.

Pagi hari, Soni seperti biasa ingin mengantarkan Kara ke tempat kerjanya. Namun, hari ini dengan tegas Kara menolak.

"Aku dijemput Revan, Son. Kamu nggak usah antar aku lagi. Mulai hari ini, Revan yang akan antar jemput aku."

Soni sendiri cukup terkejut dengan perkataan tegas Kara

"Kamu mencoba menghindari aku, Mbak? Bahkan kamu nggak kasih celah sedikitpun aku buat masuk ke dalam hatimu."

Kara menggelengkan kepala dan tersenyum manis. Senyum yang membuat Soni, semakin ingin dekat bersama Kara.

"Kenapa kamu pilih Revan dibandingkan aku?" Soni sangat penasaran. Ingin rasanya Soni marah, tapi ini masih di rumah. Soni juga tidak mau membuat kericuhan di sana. Apalagi ada sang Mama yang biasanya tidak suka dengan Soni yang sering mengantar jemput Kara.

"Kamu tidak perlu tahu alasanku. Aku tidak akan memberikan alasan apapun tentang itu. Jadi, ada baiknya kamu tidak bertanya apapun lagi. Maaf aku permisi."

Kara segera melangkah pergi dari hadapan Soni. Kara langsung naik ke motor milik Revan.

"Tumben minta jemput. Ada apa?" Revan penuh tanda tanya tentang Kara. Apalagi Kara biasanya selalu ceria dan tertawa lepas. Sekalipun orang lain melihat senyum Kara manis, tapi tidak dengan Revan. Pria itu tahu, jika senyum itu adalah luka dalam diri Kara.

"Jalan dulu aja, ya. Nanti aku ceritain kok."

Revan mengangguk dan memberikan helm pada Kara. Revan juga sudah menyalakan motor dan menstaternya.

"Mau langsung ke tempat kerja apa mau cerita dulu."

"Mampir cari sarapan dulu ya. Aku mau cerita, tapi yang dekat kantor aja."

"Oke."

Revan menuruti keinginan Kara.

Revan menepikan motor di dekat penjual nasi uduk.

"Kenapa?"

"Ini tentang Soni. Dia memintaku menjadi pacarnya."

Revan langsung terbelalak mendengar penuturan Kara.

"Apa? Jangan bercanda loh!"

"Buat apa aku bercanda. Aku serius dengan semua ini. Makanya aku pusing."

Revan hanya menggelengkan kepala saja.

"Bukankah itu tidak boleh terjadi?"

Kara menganggukan kepala.

"Please, mau yah. Jadi pacar pura-puraku."

Revan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Oke, deh. Aku bantuin kamu loh, ya. Biar kamu nggak dikejar terus sama pria itu. Apalagi kamu itu nggak boleh, tidak pantas dan tidak sepatutnya bersama dia. Kamu masih ingat tentang itu 'kan? Hal yang menjadi masalah utamanya."

"Aku tidak boleh lupa tentang hal itu."

Revan sangat tahu bagaimana hancurnya perasaan Kara saat ini.

"Jangan pernah nyerah, karena aku tetap akan dukung kamu!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku