Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Aku Tak Ingin Menjadi yang Kedua.

Aku Tak Ingin Menjadi yang Kedua.

azzurra

5.0
Komentar
922
Penayangan
63
Bab

Tanpa sengaja Nisa memergoki Damar -suami Nisa- sedang mencium seorang wanita. Ternyata selama ini Damar menikungnya dari belakang, Damar memiliki istri lain sebelum dia menikahi Nisa. Pantas selama ini Damar tak mau menyentuhnya dengan dalih Nisa masih kuliah. Akankah Nisa sanggup bertahan dalam rumah tangganya? Sedangkan Damar bersikukuh tak mau menceraikannya.

Bab 1 Tak percaya

Bab 1. Tak Percaya.

"Lan, itu kaya mobil laki gue, deh!" Nisa menunjuk sebuah mobil yang menyalip mobil yang Lana kendarai.

"Emang laki elo doang, yang punya mobil begituan?" canda Lana masih fokus pada jalan raya yang selalu padat merayap. Apalagi ini weekend. Daerah puncak sudah dipastikan sulit bergerak.

"Gue yakin itu mobil laki gue. Ada logo perusahaannya di kaca belakang," ujar Nisa masih kekeuh dengan penglihatannya.

Alfathunisa Dalilla berusaha melihat plat nomor mobil yang dia yakini milik suaminya yang berada setelah beberapa mobil di depannya. "Katanya, dia mau ke Semarang. Kenapa lewat arah Bandung ya?" gumam Nisa.

Mobil-mobil melaju perlahan. " Fix! Itu mobil laki gue!" seru Nisa. " Eehhh kok, dia belok? Mau ke mana dia, Lan?"

"Meneketehe!" sahut Lana mengendikan bahu.

"Ikutin, Lan!"

Sesuai perintah, Lana membelokkan mobil mengikuti mobil hitam milik Damar-suami Nisa. "Pelan-pelan aja, Lanaaa ...! Jangan deket-deket. Gak bisa banget jadi mata-mata, ih!" keluh Nisa karena mobil Lana berada pas di belakang mobil Damar. "Kaca mobil gak keliatan 'kan, dari luar? Damar kenal gak ama mobil elo yang ini? " Nisa khawatir.

"Amaaan ... ini kan, mobil baru. Makanya kita jalan berdua sekarang, buat ngetes mobil," ucap Lana lagi. Lana pun memperlambat laju kendaraan membiarkan mobil Damar melesat. Karna jalan yang dilalui kini lengang.

"Ini jalan tembusan ke Semarang kali, Nis? Positif thinking aja, lagian laki elo 'kan, gak pernah neko-neko selama ini," ucap Lana menenangkan sahabat karibnya yang terlihat gelisah sejak tadi.

Nisa hanya diam, dia terus memperhatikan laju kendaraan suaminya. "Eehhh ... kok, elo gak belok? Itu 'kan, mobil Damar belok kiri, Lanaaa ...! Oh my God! Darah tinggi gue kalo begini."

"Uuppss ...! Kebablasan. Sorry, gue mundur bentar." Lana menekan tuas transmisi otomatis dan perlahan mobil mundur. Setelah mengarah jalan yang tepat mobil berwarna merah ini kembali melaju.

"Ini udah rumah perkampung, Lan. Kita kehilangan laki gue. Ngapain dia ke tempat beginian ya?" tanya Nisa, dan yang ditanya hanya mengendikan bahu.

Nisa merogoh ponsel di dalam tas.

Semenit kemudian ....

"Hallo, Mas. Udah sampe mana?" tanya Nisa pada lelaki yang dia telepon.

"Ohhh ... ya sudah. Hati-hati ya, Mas." Nisa segera menutup ponselnya walau si lelaki di seberang sana masih berbicara. Nisa diam, melihat kosong ke depan.

"Nis, laki loe ngomong apa? Kok, bengong?" tanya Lana menggoyang-goyangkan telapak tangan di depan wajah Nisa.

"Laki gue bohong, Lan. Dia bilang udah mau nyampe Semarang." Nisa mendesah lirih. "Ya udah, kita pulang aja, Lan." suara Nisa pelan tak bergairah.

"Gak jadi, kita jalan ke puncak?" tanya Lana.

"Terserah lo, deh! Gue ngikut aja," ucap Nisa masih tak bergairah.

Lana menautkan alisnya.

"Adem banget di sini, ya?" Nisa membuka kaca mobil melihat ke kiri dan kanan.

Tiba-tiba netranya menangkap mobil Damar yang sudah terparkir di halaman rumah Sederhana. "Lan, Lan! Itu ... Itu ...!" Nisa berteriak sambil menepuk-nepuk lengan Lana. Netranya masih fokus menatap mobil hitam yang terparkir di halaman rumah berpagar pohon soka Jawa.

Ckiittt ...!

Suara ban mobil berdecit akibat rem mendadak.

"Apa sih, Niiis? Bikin kaget aja, udah tempat sepi gini. Elo teriak-teriak panik. Kaya liat hantu aja!"cerocos Lana.

"Auk, ah ...!" Nisa langsung turun dari mobil yang dia tumpangi. Kakinya melangkah cepat menuju rumah sederhana di mana mobil suaminya berada.

"Nis, gue parkir di sana ya!" Lana menunjuk arah di mana ada pohon besar tempat dia ingin memarkirkan mobil.

Perlahan tapi pasti kaki Nisa memasuki halaman rumah.

"Mas, minum dulu." Suara seorang wanita terdengar di gendang telinga Nisa.

Nisa yang masih berdiri di dekat undakan menuju pintu utama, urung memberi salam.

"Bagaimana kabarnya, Mas?" tanya wanita yang menawari minum, dengan suara lembut.

"Baik .... Sini duduk sini. Aku rindu."

Hah rindu?

'Itu suara Mas Damar, loh!' Nisa berbicara dalam hati.

Wanita itu masih mematung di tempat tadi dia berdiri. Ia memindai keadaan halaman rumah. Adem, asri, dan nyaman, pikir Nisa.

"Mas sampe kapan kamu mau begini terus?" tanya si wanita masih dengan suara lembut.

"Mas belum bisa pastikan. Kamu sabar dulu ya. Nanti kalau sudah waktunya, pasti Mas akan menceraikan Nisa."

Deg!

Jantung Nisa seakan berhenti berdetak.

"Apa maksud Mas Damar?" Nisa menutup mulut yang menganga akibat terkejut dengan perkataan Damar.

"Jangan-jangan, kamu juga sudah jatuh cinta sama adikmu itu? Jadi sampai sekarang kamu belum bisa menceraikan dia?" cecar si wanita dengan suara sedikit ditekan.

"Fix! Itu Mas Damar sedang membicarakan aku," bisik Nisa pada diri sendiri. Dengan dada berdegup sakit, Nisa menaiki undakan menuju ke pintu utama.

.

.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku