Perkara rumah tangga dan pekerjaan, aku dituntut untuk profesional.
"Ini kopinya, Mas." Aku menyodorkan gelas kopi yang masih panas ke hadapan Mas Arfin yang sedang sibuk dengan game di ponselnya.
"Hem." Hanya itu jawaban Mas Arfin. Selalu seperti ini, saat di rumah. Hape tak pernah lepas dari genggamannya. Kalau bukan game pasti Youtube dan Instragram. Aku serasa menikahi laki-laki ban**.
Berulang kali aku protes dan marah, namun Mas Arfin tidak menggubrisnya.
Bahkan, saat anak pertama kami lahir, tak pernah sekalipun Mas Arfin menggendongnya, sampai sekarang bayiku berusia tujuh bulan.
Semua ini gara-gara benda kecil pipih yang sudah menguasai Mas Arfin.
Ya, aku merasa jika aku telah diduakan Mas Arfin. Dan ponselnya yang berlogo apel itu, telah merebut Mas Arfin dariku dan putri kami.
Sering terjadi pertengkaran kecil antara aku dan Mas Arfin.
Laki-laki yang telah menghalalkan ku dua tahun ini, kerap berkata-kata kasar dan sering melampiaskan amarahnya pada benda atau barang di sekitarnya.
Sampai saat ini, aku masih bertahan demi Alea, malaikat kecil yang dikirim Allah untuk menyempurnakan cintaku dengan Mas Arfin.
Mas Arfin bekerja sebagai pegawai di salah satu bank ABC di kota ini. Sedangkan aku, baru satu tahun ini bekerja sebagai guru honorer di SMA Swasta di kota ini juga.
Mas Arfin anak sulung dari dua bersaudara. Adiknya, Dina, sudah berkeluarga dan tinggal se-kota dengan kami.
Hari ini Mas Arfin tidak ke kantor karena hari Sabtu. Aku berniat menitipkan Alea, namun jawaban suamiku sangat menyakitkan.
"Siapa suruh cepat punya anak, nyusahin 'kan jadinya?" sungutnya sembari memainkan ponsel yang terus melekat di tangannya.
Jawaban Mas Arfin cukup membuatku paham, jika sampai saat ini Dia belum bisa menerima kehadiran Alea.
Dulu pas awal-awal menikah, Mas Arfin selalu mewanti-wanti agar aku tak cepat hamil. Katanya tunggu mapan dan punya segalanya, karena kami berdua baru meniti karier.
Aku mengiyakan permintaan Mas Arfin, namun Allah punya rencana lain. Bulan ke delapan usia pernikahan kami, benih tertanam di rahimku.
Aku bahagia, tapi tidak dengan Mas Arfin. Dia sangat membencinya karena beranggapan bahwa janin yang aku kandung akan menghalangi rejeki karena otomatis aku akan berhenti bekerja.
Saking bencinya dengan kehadiran anak, Mas Arfin sampai berjanji tidak menyentuhku lagi agar aku tidak hamil lagi. Dan terbukti sampai saat ini, Alea sudah berusia tujuh bulan, Mas Arfin belum menafkahiku secara batin.
Berulang kali aku menjelaskan bahwa kelak, anak kami akan memberikan rejekinya tersendiri.
Mas Arfin tidak memperdulikan kondisiku saat hamil. Aku tetap menguatkan diri, mungkin saat ini suamiku belum menerima calon anakku. Dan aku berharap, saat anakku sudah di dunia, ayahnya akan menyayangi dan mencintainya sepenuh hati.
Dan harapanku sia-sia. Bahkan, mengadzani Alea yang baru saja dilahirkan, Mas Arfin menolak dan memilih meninggalkan rumah sakit.
Aku yang rentan stres saat itu, sudah nekat meminta cerai. Dan anehnya, Mas Arfin malah mengancam tidak akan melepaskan dan menceraikan aku. Aku bingung, merasa kalau ada sesuatu yang disembunyikan oleh suamiku.
Seperti biasanya, aku menggendong Alea dan siap berangkat sekolah. Popok dan mainan serta roda untuk putriku, sudah siap. Aku tak ingin merepotkan Mbak Ani, pengasuh Alea yang bekerja paruh waktu, hanya saat aku di sekolah.
Kebetulan rumah Mbak Ani berhadapan dengan sekolah tempatku mengajar, jadi memudahkan aku untuk menyusui Alea saat di sekolah.
Aku mencium tangan Mas Arfin yang masih setia di tempatnya, tak berubah sedikit pun. Ponsel di tangannya menampilkan game M* yang sedang berlangsung. Lama menatapnya, membuatku muak.
"Aku pamit, Mas."
"Hem." gumamnya dengan tatapan yang terus tertuju di layar ponsel.
Singkat, jelas dan padat. Salah satu ciri khas Mas Arfin jika menjawab atau merespon pembicaraanku.
Ah, bodoh amat dengan kau, Mas. Mulai saat ini, aku tidak akan memperdulikanmu lagi sampai kau mau menerima kehadiran Alea.
Aku mengendarai motor matic maronku yang baru ku beli beberapa bulan yang lalu saat selesai cuti melahirkan.
Dan, bukan kehadiran Alea saja yang tak diterima Mas Arfin dan keluarganya, pun kehadiran si maron ini. Mas Arfin marah dan menuduhku mencuri saat tahu aku membeli motor ini. Wajar jika Mas Arfin dan keluarganya terkejut, karena mereka menganggap aku tak punya uang dan berasal dari keluarga miskin.
"Memang berapa sih gaji guru honorer macam kau? Masa mampu beli motor, cash lagi?"
Begitu komentar Mas Arfin yang diiyakan sama Bapak, Ibu mertua dan Dina, adiknya. Aku hanya tertawa dalam hati. Baru motor saja mereka sudah menggeliat, apalagi kalau ku beli Mercedes Benz. Bisa mati berdiri mereka.
Aku berdalih jika motor ini dibelikan Bang Andi, Abangku satu-satunya yang paling ditakuti Mas Arfin.
Menyebut nama Bang Andi, Mas Arfin tak banyak celoteh lagi. Karena dia tahu kalau Abangku itu punya usaha ternak sapi dan kerbau, jadi wajar jika membelikan adik semata wayangnya ini sebuah motor.
Padahal, motor ini aku beli dari hasil keringatku sendiri. Selain sebagai guru honorer, aku juga sebagai penulis novel atau cerbung di beberapa platform yang sudah ku tekuni saat masih kuliah, empat tahun yang lalu.
Dan penghasilanku per bulan tergolong fantastis. Sebagian aku tabung dan sebagian lagi aku pakai untuk modal usaha rumah makan dan butik yang sudah berjalan selama satu tahun.
Aku juga membeli beberapa rumah yang dilelang pihak bank karena pemiliknya tak mampu membayar cicilan.
Dan tentu saja, semua ini tanpa sepengetahuan Mas Arfin dan keluarganya.
Awal menikah, aku berniat memberi tahu Mas Arfin. Namun melihat tingkahnya dan juga keluarganya, membuatku mengurungkan niat.
Baru saja hendak meninggalkan halaman rumah, sesosok makhluk yang paling ku benci, muncul di hadapanku.
"Eh Kak, tunggu dulu. Dina mau pinjam motor kakak, boleh ya, Kak?" pinta Dina, adik Mas Arfin yang juga tak kalah menyebalkan.
"Mau pinjam? Enggak salah?" sinisku menatap Dina.
"Enggak. Ayo turun, aku udah telat, nih!" sergah Dina dengan tingkah sombongnya yang begitu memuakkan.
"Beli dong. Masa kalah sama guru honorer." Ledekku membuat merah wajah Dina.
Piiip! Piiipp!
"Minggir, guru honorer mau lewat." Ku bunyikan klakson berulang kali, membuat Dina terperanjat.
Aku menancap gas, meninggalkan Dina yang sebentar lagi akan berubah menjadi Mak Lampir.
"Kurang ajar, bo*oh, bego, kampungaaannn!!!" teriak Mak Lampir tak karuan. Aku tak peduli, terus melajukan kendaraanku.
Dina, Dina. Kalau kau baik, aku akan jauh lebih baik. Pun sebaliknya.
Masih pagi, saat aku sampai di sekolah. Aku langsung menuju rumah Mbak Ani, yang sepertinya sudah menungguku dari tadi.
Menyusui Alea hingga bayi kecilku tertidur. Setelahnya, aku ke sekolah, guna melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik untuk generasi negeri ini.