Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Sang Pemuas
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Melly baru saja merebahkan tubuhnya di kasur berukuran 180x200 sentimeter. Tulang-tulang punggungnya serasa mau patah setelah setengah hari tanpa henti melakukan pekerjaan rumah. Seisi kamarnya pun semua hanya terlihat seperti bayangan karena penglihatannya yang lelah dan mengabur.
"Melly! Kamu jangan tiduran aja, itu setrikaan masih numpuk!" teriak Lian, kakak iparnya.
"Iya, Mbak, aku lagi enggak enak badan," jawab Melly Lirih.
"Tadi pagi kamu baik-baik aja!"
"Tadi pagi udah meriang, cuma aku gak dirasa aja, Mbak. Tapi, sekarang aku udah ngerasa mau demam. Aku nyetrikanya besok aja, ya?"
"Kalau besok kamu masih alasan sakit gimana? Gak jadi lagi nyetrikanya? Terus Alan mau kerja pake baju apa?" hardiknya lagi sambil berlalu meninggalkan kamar.
Melly mengambil ponsel jadulnya yang masih dengan kamera beresolusi rendah, mencari sebuah kontak untuk dikirimi pesan singkat.
[Yank, aku gak enak badan. Aku boleh minta uang untuk bayar orang buat setrikain baju yang udah numpuk?]
[Emang kamu gak bisa ngerjain sendiri?]
[Kan, tadi aku bilang lagi gak enak badan, Yang]
[Ya, udah pake uang yang tadi pagi aku kasih aja.]
Melly lantas memutuskan telepon sepihak serta melempar ponsel ke ranjangnya karena percuma saja tak akan ada hasilnya berbicara dengan Alan, suaminya.
"Uang yang mana! Dia kasih aku cuma lima puluh ribu sehari, mana cukup!" ujarnya kesal. "Sekarang tinggal sepuluh ribu lagi, itu pun buat jajan Alea. Gimana mau bayar orang! Dasar Gak Peka!"
Melly memutuskan untuk istirahat beberapa waktu supaya meriangnya berkurang. Rencananya, ia akan menyetrika pakaian kerja Alan nanti malam.
Selama menikah, Melly bagai dikurung dalam sangkar, tetapi bukan sangkar emas. Ia tidak bisa bergaul sebagaimana mama muda di usianya yang hangout bersama teman-temannya.
Ia juga tidak memiliki uang lebih untuk membeli kebutuhan pribadinya. Jangankan untuk itu semua, untuk kebutuhan harian saja ia harus pandai-pandai mengatur menu makan setiap harinya.
Keseharian Melly hanya habis untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh putri kecilnya yang berusia tiga tahun. Keinginannya untuk bersenang-senang tak pernah terealisasi barang sekali pun: tidak dengan suaminya maupun teman-temannya.
Alan adalah suami yang sangat tidak peka. Melly hanya diberi uang belanja setiap harinya lima puluh ribu: untuk makan keluarganya dan juga keluarga kakak iparnya yang tinggal satu rumah. Kebutuhan pokok sudah tersedia karena semuanya Alan yang mengatur.
Lian dan keluarganya tinggal di rumah Melly karena belum mempunyai rumah tetap. Oleh karena itu, mertuanya Melly memberi saran untuk tinggal di rumah Melly saja untuk sementara waktu.
"Melly! Masih tiduran aja kamu! Itu liat Alea berantakin rumah!"
"Alea, kan, main sama Rachel, Mbak. Biar aja mereka yang beresin sama-sama.
"Enak aja, itu kan mainan Alea! Lagian juga Rachel mau aku mandikan!"
"Iya, Mbak. Sebentar aku bereskan." Melly mencoba mengalah dengan ucapan lirih.
"Cepat! Aku gak suka liat rumah berantakan!" bentaknya sembari menggendong Rachel ke kamar mandi.
'Aah, udah tinggal numpang, makan numpang, main mainan punya anakku, gak tau diri lagi! Dia pikir siapa tuan rumahnya? Seenak jidat nyuruh-nyuruh!' Melly membatin.
Ia bergegas ke ruangan di mana Alea mengeluarkan semua mainannya dengan langkah sempoyongan. Walaupun kepalanya merasa berkunang-kunang, mata perih, dan seakan mau pingsan, ia memaksakan untuk membereskan mainan yang berserakan di seluruh penjuru ruang tamu.
"Alea Sayang, bantu Bunda masukkin mainannya ke kotak, yuk?"
"Iya, Bunda. Alea, kan, anak baik," jawab putrinya yang menggemaskan itu.
Setelah itu Melly memasak untuk makan malam karena sebentar lagi Alan akan sampai di rumah.
Ia hanya sempat membuat nasi goreng dan telur dadar dikarenakan tidak banyak tenaga yang dimilikinya saat itu. Menu makan siangnya pun sudah tak bersisa. Padahal, ia ingat betul kalau belum makan sejak pagi karena tak ada selera sama sekali untuk makan. Seharusnya, lauk jatah Melly masih ada, tetapi kenyataanya hanya tinggal piring kosong yang tersisa di meja.
"Assalamu'alaikum." Alan dan Roby pulang bersamaan ketika Melly sedang mencuci piring ditemani Alea yang sedang bermain di sampingnya.
"Wa'alaikumussalam." Melly menjawab salam mereka.
"Pah, capek, ya? Makan dulu, yuk?" sahut Lian sambil membuka tudung saji. "Apa ini? Cuma nasi goreng sama telur?" Emang gak ada sayuran apa, Mel?"