Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Istri Kesayangan Tuan Presdir Tampan

Istri Kesayangan Tuan Presdir Tampan

Mirah Official

5.0
Komentar
4
Penayangan
22
Bab

Niana Fradella, hidupnya berubah 180° ketika bertemu dengan jodohnya. Jodoh yang tak pernah ia sangka, karena pertemuannya pun tanpa sengaja. Ia yang pada saat itu melarikan diri dari perjodohan, akhirnya bertemu dengan jodoh betulan. Bahkan, lebih sempurna dari seseorang yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun, apakah selamanya ia dalam kebahagiaan? Terlebih, penyakit yang kian hari menggerogoti tubuhnya, membuat ia tak yakin bisa bertahan lebih lama.

Bab 1 Presdir Pujaan

Seorang gadis cantik nan seksi yang bersiap di kamar mandi sebelum memasuki ruangan sakral di mana pria pujaannya berada. Gadis itu benar-benar memastikan penampilannya secantik dan se-seksi mungkin agar pria impiannya luluh.

"Lihatlah, bagaimana mungkin setelah bertahun-tahun dia tidak tergoda dengan semua ini. Bahkan jika di luar aku sering digoda," ucapnya seorang diri dengan menepuk pelan dada serta bokong montoknya.

Tak ingin lebih lama, ia segera keluar dari kamar mandi dan memasuki ruangan Presdir berada. Terlihat pemilik ruangan ini tengah berkutat dengan segala pekerjaan. Di saat serius seperti ini, kadar ketampanan pria pujaannya bertambah berkali-kali lipat. Ia bahkan tanpa sadar menggigit bibir bawahnya melihat menampakkan yang sangat sulit dilewatkan.

"Tuan, ini laporan keuangan yang Tuan minta 30 menit yang lalu," ucap gadis seksi itu dengan suara dibuat lembut dan mendayu.

Sayang sekali, pria pujaannya itu tidak menoleh atau membuka suara sedikit pun. Hanya mengangguk singkat dan mengibaskan satu tangannya seolah menyuruh gadis itu keluar.

Sakit hati? Tentu saja. Sudah berdandan sejak 2 dekade yang lalu, dilirik saya tidak.

'Sial! Seharusnya aku langsung saja perkosa dia,' kesalnya dalam hati. Bisa mati di tempat jika diucapkan secara langsung.

***

Sedangkan di belahan dunia lain, seorang gadis tengah dihadapkan suatu keputusan yang sangat sulit.

Nina—perempuan paruh baya Ibunda dari sosok Niana menatap nyalang anaknya. Begitupun dengan Jendra—ayah Niana. Namun, Niana tetap acuh atas pendiriannya. Ia tidak peduli pada kedua manusia itu yang sedari tadi mengomel dan membentak Niana.

"Tanpa persetujuan darimu, saya akan tetap menikahkan kau dengan Jacob!" pungkas Jendra yang akhirnya pergi meninggalkan istri dan anaknya.

Jacob yang terus mengintai perdebatan itu melalui alat penyadap suara pada ponsel milik Jendra, ia senang bukan kepalang ketika membayangkan gadis mungil nan cantik itu menjadi miliknya. Beberapa hari ke depan, burung perkututnya akan masuk sarang yang lebih fresh dan tersegel. Membayangkannya saja membuat ia tak tahan untuk tidak tersenyum cabul.

Kembali pada Niana, gadis itu termenung seorang diri di kamarnya. Ternyata, usahanya untuk menolak sangat tidak berarti apa-apa. Pria itu tetap menjadikannya tumbal agar semua harta gelap ini kekal abadi.

"Tidak ada pilihan lain selain mengatakan iya, Niana." Begitu pula dengan Nina, ia tidak peduli terhadap perasaan Niana.

Selepas kepergian ayah dan ibunya, Niana mejambak rambut panjang miliknya sambil berteriak hebat. Kaki mungil nan putih itu berjalan cepat ke segala arah untuk menghancurkan semuanya.

Tubuhnya berhenti di depan cermin besar, menatap kasihan pada dirinya yang cantik.

"Kau memang cantik, Niana. Sayang sekali jika nanti anak turunmu ikut pada si ayah, mereka terlihat jelek dan berhati busuk," lirih Niana.

Tangannya terulur untuk mengusap wajahnya di pantulan cermin, namun setelahnya, ia menghancurkan cermin itu menggunakan tangan kosong. Sama sekali tidak peduli pada tangannya yang sudah compang camping penuh darah.

Bibi Yur—salah satu asisten di rumah Niana yang sangat dekat dengannya, ia segera masuk ke dalam kamar Niana ketika mendengar keributan yang sangat kacau di sana.

Perempuan bertubuh gempal nan tua itu segera menghampiri Niana sambil menangis tersedu-sedu. Tanpa peduli Niana yang sudah berlumuran darah, ia segera memeluknya penuh hangat.

"Anak manis, tenang sedikit ya, sayang? Hati bibi sakit melihatnya, nak," ucap Bibi Yur tanpa melepaskan pelukan hangat itu.

"Nak, tidak mungkin Tuhan memberikan cobaan di atas kemampuan hambanya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini nak. Semua orang bisa meninggalkanmu, tapi tidak dengan Tuhan." Suara Bibi Yur terdengar sangat lembut di telinga Niana, suara yang selalu ia dengar seumur hidupnya.

"Bibi, aku tidak mau," lirih Niana setelah lama terdiam di pelukan Bibi Yur.

Keduanya sedikit mengendurkan pelukan itu, diusapnya air mata Niana menggunakan kedua tangan Bibi Yur yan tak lagi kencang.

"Bibi akan selalu bersama Niana, ke manapun Niana pergi, Bibi akan selalu ada. Tidak usah takut ya, nak? Kita hadapi semuanya bersama-sama," balas Bibi Yur dengan senyum manisnya. Senyuman paksa agar Niana menjadi lebih tenang.

Niana tak membalas, kembali menumpahkan tangisnya di sana.

Detik, menit, jam, semuanya telah terlewati. Niana menangis tiada henti di pelukan Bibi Yur. Sampai akhirnya, gadis itu terpejam dengan sendirinya.

Bibi yur tersenyum kecil melihat wajah damai Niana yang sudah dibanjiri air mata.

Salah satu tangan Bibi Yur menggapai bantal yang ada di atas ranjang Naina. Perlahan ia merebahkan tubuhnya dengan tubuh gadis cantik yang masih terlelap di dekapannya.

"Tidurlah yang nyenyak, sayang, Bibi tidak akan meninggalkanmu," lirih Bibi yur sambil mengusap pelan rambut Niana.

Kini, posisi keduanya tidur di lantai berdua, Niana menggunakan salah satu tangan Bibi Yur sebagai bantalnya.

Meskipun dingin, Bibi Yur tidak peduli. Ia tidak bisa mengangkat tubuh Niana ke atas ranjang, ia juga tidak mau membangunkan Niana. Biarkan saja lantai kamar yang dingin ini menjadi saksi kesedihan keduanya.

***

Sudah satu minggu lamanya Niana tidak keluar dari kamar, Bibi Yur-lah yang selalu setia bolak-balik ke kamar Niana untuk memberinya makan.

Setelah memberi Niana sarapan, Bibi Yur kembali keluar dan menutup pintu kamar Niana.

Namun setelahnya, pintu itu kembali terbuka menampakkan wajah seorang wanita yang sangat dibenci oleh Niana.

"Jam 10 nanti, kau akan bertemu dengan calon suamimu. Berdandanlah secantik mungkin, kali ini kau harus menjadi anak yang berguna." Setelah mengucapkan tujuannya, wanita itu kembali pergi meninggalkan Niana yang kembali terdiam.

Sarapan yang sudah ada di tangan, Niana simpan di atas nakas kecil samping tempat tidurnya.

"Tuhan, kau adalah zat yang paling adil, kan? Aku memohon keadilanmu, aku mohon ...," rintihnya sambil menatap kosong ke depan.

Niana bangkit, masuk ke dalam kamar mandi lantas berendam di sana. Cukup lama, bahkan sangat lama.

Lagi-lagi, Bibi Yur kembali menyelamatkan Niana. Perempuan itu teriak sekencang-kencangnya ketika melihat Niana yang tak sadarkan diri sedang berendam di bathtub, entah sejak kapan gadis itu ada di sana.

Pelayan yang lain berlarian menghampiri Bibi Yur, berusaha sebisa mereka mengangkat tubuh Niana dan memakaikan beberapa pakaian agar Niana tidak terlalu telanjang.

Nina, wanita itu berdecak kesal ketika melihat anaknya kembali tak sadarkan diri. Bukan hanya sekali, Niana sangat sering seperti ini.

"Nyonya, saya meminta izin untuk membawa Niana ke rumah sakit—"

"Bawa pergi sekarang, anak itu memang sangat tidak berguna. Penyakitan dan menyusahkan," ujar Nina memotong perkataan Bibi Yur yang belum selesai.

Hati Bibi Yur berteriak ingin menangis, bagaimana bisa seorang ibu bersikap seperti itu pada anak kandungnya sendiri?

Tanpa mengatakan apapun lagi, Bibi Yur segera keluar menyusul pelayan yang lain untuk membawa Niana ke rumah sakit.

Di dalam perjalanan, Bibi Yur tidak melepaskan Niana sedetik pun dari pelukannya. Diciumnya kening Niana yang dingin dengan penuh kasih sayang.

Sesampainya di rumah sakit yang sudah tak asing bagi Bibi Yur maupun Niana, dokter segera menangani gadis rapuh itu.

Pria berjas putih itu dengan cekatan menangani Niana, ia sudah hafal tentang kondisi Niana. 5 tahun ia menangani gadis malang ini.

Setelah memastikan semuanya selesai, dokter dan suster yang semula berada di dalam ruangan Niana, keluar secara bersamaan membuat Bibi Yur serta sopir yang mengantar mereka berdiri dari duduknya.

"Dokter, bagaimana keadaan Niana?" tanya Bibi Yur, wajahnya dihiasi kepanikan yang luar biasa.

"Seperti biasa, Niana telat datang kemari. Harusnya sejak 3 hari yang lalu Niana datang ke sini untuk Check up. Dan satu lagi, Niana pasti mengabaikan obatnya," jawab dokter itu panjang lebar membuat Bibi Yur menghela napas panjang.

Setelah mengucapkan terima kasih pada dokter dan suster, Bibi Yur segera masuk ke dalam ruangan Niana. Netranya menangkap sosok gadis cantik tengah tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit.

"Yur, kapan gadis ini memiliki kehidupan yang baik? Kapan Tuhan memberikannya kebahagiaan?" pertanyaan Pak Andes—sopir pribadi Niana, memecah keheningan di dalam ruangan dingin itu.

Bibi Yur masih belum menjawab, telapak tangannya menangkup hangat pipi Niana.

"Aku yakin, suatu saat nanti Niana bisa tersenyum dan tertawa bebas seperti manusia pada umumnya. Entah di kehidupan sekarang, atau pun kehidupan kedua yang entah ada atau tidak."

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Mirah Official

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku