Pengkhianatan yang Tak Pernah Kusangka

Pengkhianatan yang Tak Pernah Kusangka

Rio Faldi

5.0
Komentar
Penayangan
26
Bab

Lira tak pernah menyangka bahwa aksinya membela seorang pelayan laki-laki akan membawa dirinya ke nasib yang jauh lebih berbahaya. Dalam sekejap, ia disergap oleh sekawanan orang misterius, dan akhirnya jatuh ke tangan seorang pria yang haus akan kehangatan seorang wanita. Pria itu, Arion, memiliki cara yang membuat setiap detik bersamanya terasa menakutkan sekaligus memikat. Lira kini harus menghadapi dilema: apakah ia sanggup menahan semua keinginan Arion yang begitu besar, ataukah ia akan menemukan kekuatan untuk melepaskan diri dari cengkeramannya?

Bab 1 membantu pelayan yang terjerat masalah

Malam itu, hujan turun dengan deras, membasahi jalanan kota yang sepi. Lampu jalan berkelap-kelip, memantulkan warna kuning pucat di genangan air. Lira menarik mantel tipisnya lebih rapat, berlari di antara tetes hujan yang seolah ingin menelan setiap langkahnya. Ia tak peduli basah, tak peduli dingin. Yang terpenting saat itu hanyalah satu: membantu pelayan yang terjerat masalah.

"Hei! Hati-hati!" teriak Lira, saat seorang pemuda hampir tersandung karena membawa nampan penuh gelas. Beberapa pria dengan wajah keras tampak mengelilinginya, tawa mereka dingin dan menyeringai.

"Lepaskan dia!" suara Lira tegas, meski gemetar di ujungnya. Tanpa pikir panjang, ia mendorong salah satu pria yang tampak paling besar, membuat gelas di nampan pemuda itu jatuh pecah.

"Kamu-!" salah satu dari mereka melotot, tapi Lira tak menunggu mereka. Ia menarik pelayan itu pergi dari kerumunan, menepi di bawah atap toko yang sedikit menjorok.

"Terima kasih... aku-aku tidak tahu harus bagaimana kalau kau tidak muncul," gumam pemuda itu, wajahnya pucat dan basah kuyup.

Lira tersenyum tipis, "Jangan khawatir. Orang macam mereka biasanya... hmm, mudah diperingatkan."

Namun, senyum itu belum sempat berkembang, karena langkah berat terdengar dari belakang. Dalam sekejap, tubuh Lira terseret ke kegelapan, tangan-tangan kasar menahan geraknya. Ia berjuang, menendang, berteriak, tapi semuanya sia-sia.

Seketika, semua menjadi gelap.

Ketika Lira membuka matanya, ia sudah berada di ruangan asing. Lampu-lampu temaram menggantung, menyorot dinding yang penuh lukisan klasik dan perabot mewah. Aroma parfum berat dan alkohol menusuk hidungnya.

Seorang pria duduk di kursi besar, tubuh tegap, wajahnya tegas dengan garis rahang yang tajam. Matanya yang gelap menatap Lira seolah menelannya hidup-hidup.

"Selamat datang," suaranya dalam dan dingin. "Aku Arion. Dan kau... akan tinggal di sini untuk sementara."

"Me... melepaskan aku!" Lira berteriak, suaranya parau. "Aku tidak tahu siapa kalian, tapi ini gila! Lepaskan aku sekarang!"

Arion hanya tersenyum tipis, menyingkirkan sehelai rambut yang menutupi matanya. "Tenang, aku tidak akan menyakitimu... setidaknya, belum."

Lira menggigil, antara takut dan marah. Hatinya berdegup kencang, kepala penuh pertanyaan: mengapa ia, seorang gadis biasa, bisa terjebak dalam situasi seperti ini?

"Kenapa... kenapa aku?" gumamnya sendiri, suaranya nyaris hilang.

"Karena keberanianmu," jawab Arion, seakan membaca pikirannya. "Kau menolong orang lain... itu membuatmu berbeda dari kebanyakan. Tapi, sayangnya, dunia ini tidak ramah pada yang berbeda."

Hari-hari berikutnya menjadi mimpi buruk bagi Lira. Ia diperlakukan seperti tamu yang terkurung. Arion selalu ada di dekatnya, mengawasi setiap gerakannya, menanyai setiap langkahnya. Namun, ada hal aneh yang membuatnya semakin bingung: di tengah ketakutannya, ada saat-saat ketika kehadiran Arion membuatnya merasa hangat, seperti ada perlindungan aneh yang sulit ia jelaskan.

"Jika kau berperilaku baik, aku tidak akan membuatmu menderita," kata Arion suatu malam, duduk di tepi ranjang Lira. "Tapi jangan salah, aku tidak mudah memaafkan pembangkangan."

Lira menunduk, menahan air mata. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak ingin... membuatmu marah."

Arion mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahnya. "Membuatku marah? Itu sudah terlalu terlambat. Tapi kau harus belajar, Lira. Belajar untuk... tunduk, untuk menerima keadaan."

Setiap kata yang keluar dari mulut Arion seperti duri yang menusuk hati Lira. Namun, ada sesuatu di matanya yang sulit diabaikan-sebuah ambisi yang gelap, namun sekaligus memikat.

Hari demi hari berlalu, Lira mencoba mencari celah untuk melarikan diri. Ia mengamati setiap sudut rumah megah itu, menghafal pola pengawasan, mempelajari kebiasaan Arion. Tapi setiap kali ia berpikir untuk mencoba, langkahnya selalu tertahan. Pria itu selalu berada di tempat yang tak terduga, seakan mengetahui semua niatnya.

Suatu malam, saat Lira mencoba keluar melalui jendela kecil di lantai atas, ia mendengar suara langkah mendekat. Sebelum ia sempat bergerak, Arion sudah berada di belakangnya.

"Kau pikir ini mudah?" tanyanya, matanya menyorot tajam. "Tidak ada yang mudah dalam permainan ini."

Lira menelan ludah, tubuhnya gemetar. Ia merasa terpojok, tapi sebuah tekad muncul dari dalam dirinya. "Aku... aku harus keluar. Aku tidak bisa terus di sini. Tidak peduli apapun yang terjadi."

Arion tersenyum tipis, menyukai keberanian itu. "Aku suka semangatmu, Lira. Tapi semangat itu juga bisa menjadi kelemahanmu."

Malam itu, Lira terbaring di tempat tidur, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tahu, semakin ia melawan, semakin ia terjebak dalam permainan berbahaya Arion. Namun, ada satu hal yang ia yakini: ia tidak akan menyerah. Tidak akan membiarkan dirinya menjadi korban selamanya.

Tapi pertanyaan itu terus menghantui: bisakah ia menahan diri dari tarikan kuat Arion, ataukah ia akan terseret oleh arus yang tak bisa ia kendalikan?

Sementara itu, Arion menatap dari jendela kamarnya, pikirannya bermain dengan rencana-rencana yang gelap dan kompleks. Ia menyukai Lira, tapi bukan dalam cara yang biasa. Keinginannya lebih dari sekadar ketertarikan-ada hasrat untuk memiliki, untuk menguasai.

"Lira..." gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar di antara hujan yang terus menimpa atap. "Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan. Dan seberapa jauh aku harus mendorongmu."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rio Faldi

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku