Rasa Sakitku, Kesalahanmu

Rasa Sakitku, Kesalahanmu

Rio Faldi

5.0
Komentar
Penayangan
26
Bab

Disaat dunia runtuh di hadapannya, ketika napas terakhir putra kecilnya bergantung pada seutas harapan yang rapuh, Rafaela justru harus menelan kenyataan paling pahit. Suaminya, Naren, memilih pergi-bukan untuk mencari pertolongan, tapi untuk menjemput cinta lamanya, wanita yang dulu pernah ia sebut hanya masa lalu. Ketika monitor rumah sakit berhenti berdetak, menandakan akhir dari kehidupan kecil yang pernah membuat rumah mereka hangat, Naren sedang tersenyum-menyambut kepulangan wanita itu dengan pelukan dan tawa di pesta penyambutan. Rafaela menatap langit-langit kamar putih itu dengan mata kosong. Tak ada air mata tersisa. Yang tersisa hanya hampa. Tiga tahun pernikahan yang ia perjuangkan, sepuluh tahun cinta yang ia yakini tak akan goyah-semuanya musnah bersamaan dengan kepergian anaknya. Perlahan, ia menutup mata. Untuk pertama kalinya, Rafaela tak ingin lagi berjuang. Hatinya membeku, dan seluruh dirinya tenggelam dalam keheningan yang mematikan.

Bab 1 menangis untuk seorang ibu

Hujan turun deras malam itu.

Langit seolah ikut menangis untuk seorang ibu yang sedang memeluk tubuh kecil anaknya yang kian dingin.

Rafaela menatap wajah pucat putrinya, Naira, yang sudah tak lagi bergerak. Napas terakhirnya telah berlalu beberapa menit lalu, tapi Rafaela masih saja berbisik di telinganya, seolah suara ibunya bisa memanggil jiwa kecil itu kembali.

"Sayang... bangun, Nak... Mama di sini. Tolong, jangan tinggalin Mama sendirian..."

Suara Rafaela parau, pecah di antara tangis dan isak. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin dari pendingin ruangan rumah sakit, melainkan karena perih yang menembus sampai ke tulang.

Perawat yang berdiri di sudut ruangan menunduk dalam diam. Dokter yang tadi mencoba menyelamatkan Naira hanya bisa memandang penuh iba.

Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan.

Seutas tali harapan itu telah putus.

Rafaela menggenggam jemari mungil itu erat, menekan seolah bisa memaksa darah mengalir lagi di sana. Tapi jemari kecil itu tetap diam. Kaku.

Dunia Rafaela runtuh seketika.

"Bu, kita harus menutupinya..." ucap perawat lirih.

Rafaela tak menjawab. Ia masih menatap wajah Naira, mencoba menghafal setiap detailnya-alis tipis, bibir mungil, lesung pipi kecil yang dulu selalu muncul tiap kali ia tertawa. Kini semua itu hanya kenangan.

Dan di saat yang sama, di tempat berbeda, suaminya-Naren-sedang berdiri di bawah gemerlap lampu pesta.

Ia mengenakan jas abu-abu elegan, gelas sampanye di tangannya, senyum terukir di wajahnya saat seorang wanita bergaun merah mendekat dan memeluknya dari belakang.

"Kau bahkan masih sama seperti dulu," suara lembut wanita itu terdengar manja. "Sepuluh tahun tak bertemu, tapi rasanya seperti kemarin."

Naren tertawa kecil, menatap wajah Selena, cinta pertamanya.

"Kurasa memang begitulah cinta pertama bekerja," ujarnya, membalas pelukan itu dengan senyum yang nyaris tulus.

Sementara itu, di rumah sakit, Rafaela akhirnya melepaskan genggaman tangannya.

Tubuh Naira telah dibawa oleh perawat ke ruang jenazah, dan Rafaela hanya duduk terpaku di lantai dingin.

Pandangannya kosong.

Tangannya menggenggam kalung kecil milik Naira-bentuk hati dengan huruf "N".

"Mama janji, Nak..." bisiknya lemah. "Kita bakal bersama lagi suatu hari nanti."

Tapi dalam hati kecilnya, sesuatu berubah.

Ada retakan halus yang tak bisa diperbaiki.

Bukan hanya kehilangan anak, tapi kehilangan kepercayaan, kehilangan cinta, kehilangan arti hidup.

Pagi harinya, jenazah Naira dimakamkan di pemakaman kecil dekat rumah orang tua Rafaela. Langit mendung, udara lembab, tanah masih basah oleh sisa hujan semalam.

Hanya sedikit orang yang datang-beberapa kerabat, tetangga, dan dua orang sahabat Rafaela yang mencoba menemaninya diam-diam.

Naren tidak muncul.

"Dia bilang sedang dalam perjalanan," kata salah satu bibi dengan nada hati-hati.

"Mungkin terjebak hujan."

Rafaela tak menjawab. Ia tahu Naren tidak akan datang. Ia tahu karena sudah menelponnya semalam.

Dan Naren tidak menjawab panggilannya satu pun.

Yang muncul hanyalah pesan singkat dari asisten pribadinya:

Tuan Naren sedang menghadiri acara penting, akan segera menghubungi Anda kembali.

Rafaela berdiri di depan pusara kecil itu.

Nama Naira terukir di batu nisan dengan ukiran lembut:

Naira Adeline - malaikat kecil Mama.

Angin berhembus pelan.

Helai rambut Rafaela menempel di pipinya yang basah oleh air mata.

Hatinya sudah tak mampu lagi membedakan antara marah, sedih, atau hampa. Semuanya bercampur menjadi satu.

"Kau bahkan tak sempat melihat dia untuk terakhir kali, Naren..."

"Kau bahkan tak tahu warna matanya ketika memohon untuk tetap hidup."

Ia menatap tanah basah itu untuk waktu yang lama, sampai semua orang pergi meninggalkannya sendirian.

Ia berdiri diam, membiarkan hujan gerimis turun lagi. Dan untuk pertama kalinya, ia tak lagi berusaha meneduh. Ia membiarkan dingin meresap, menggantikan rasa yang sudah mati.

Malam harinya, Naren akhirnya pulang.

Rumah besar mereka gelap dan sepi. Rafaela duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian hitam, wajahnya tanpa riasan, mata bengkak karena menangis terlalu lama.

Pintu terbuka, langkah kaki terdengar, lalu suara itu muncul-suara yang dulu selalu membuat hatinya tenang, kini hanya menimbulkan getir.

"Rafa, maaf... aku-"

Rafaela berdiri perlahan, memotong kalimatnya. "Kau tahu apa yang terjadi hari ini?"

Nada suaranya tenang, terlalu tenang sampai membuat udara di ruangan itu terasa berat.

Naren menelan ludah, gugup. "Aku... dengar dari Mama. Aku di luar kota, aku-"

"Bukan. Kau tidak di luar kota," potong Rafaela. "Kau di pesta, bukan? Bersama Selena."

Naren menunduk, tak bisa menyangkal.

"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu," ujarnya akhirnya, "tapi aku hanya ingin menjelaskan-"

Rafaela menatapnya lurus.

"Menjelaskan? Anak kita meninggal, Naren. Dia menunggu kau di rumah sakit. Dia memanggil nama Ayahnya... dan kau tak ada. Bagaimana kau mau menjelaskan itu?"

Suara Rafaela pecah di akhir kalimat.

Tangannya bergetar, tapi bukan karena lemah. Ada amarah yang lama terpendam, muncul bersamaan dengan kesedihan yang tak tertahankan.

Naren menatapnya, wajahnya menunjukkan rasa bersalah-atau mungkin hanya rasa takut.

"Aku... aku tidak tahu kalau kondisinya separah itu. Aku kira masih ada waktu-"

"Masih ada waktu?" Rafaela tertawa hambar. "Waktu untuk apa? Untuk bersenang-senang dengan wanita lain sementara anakmu sekarat?"

Suara tamparan menggema di ruang tamu.

Rafaela menamparnya tanpa sadar, lalu memejamkan mata sejenak. Air matanya jatuh, tapi suaranya tegas.

"Kau kehilangan hak untuk disebut Ayah, Naren. Kau kehilangan semuanya."

Naren menatapnya kaget. "Apa maksudmu?"

"Aku akan pergi," ucap Rafaela datar. "Rumah ini, pernikahan ini-semuanya tak ada artinya lagi. Aku akan keluar dari hidupmu. Kau sudah cukup menghancurkan aku."

Naren mencoba mendekat, tapi Rafaela mundur satu langkah.

Ia menatap suaminya itu dengan mata yang kini tak lagi menyimpan cinta.

Yang tersisa hanyalah dingin.

"Selamat menikmati pesta dan cinta lamamu, Naren. Aku harap itu sepadan dengan nyawa anak kita."

Rafaela berjalan menaiki tangga tanpa menoleh lagi.

Naren tak mengejarnya. Ia hanya berdiri diam, menatap punggung wanita yang dulu ia cintai, dan mungkin kini tak akan pernah memaafkannya.

Tiga bulan berlalu.

Rafaela sudah tidak tinggal di rumah besar itu. Ia menyewa apartemen kecil di pusat kota, bekerja sebagai desainer lepas untuk menyibukkan diri.

Tapi malam selalu menjadi musuhnya.

Setiap kali ia menutup mata, suara Naira memanggilnya.

Setiap kali ia bermimpi, wajah anak itu muncul-senyum lembut, tangan mungil, dan panggilan, "Mama..."

Namun di balik semua luka, ada sesuatu yang tumbuh perlahan.

Rasa marah itu tidak padam.

Rasa kecewa itu tak menghilang.

Ia mulai menyadari satu hal-bahwa Naren tidak hanya menghancurkan keluarganya, tapi juga menghancurkan dirinya sebagai manusia.

Dan malam itu, saat ia duduk di depan laptop, mencoba menggambar sketsa gaun untuk klien, pesan masuk ke ponselnya.

Nomor tak dikenal.

Isi pesannya singkat.

"Jika kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam anakmu meninggal, datanglah ke tempat ini besok. Jangan percaya siapa pun."

Rafaela menatap layar ponsel itu lama. Jantungnya berdetak cepat.

Tangannya bergetar saat membaca ulang pesan itu.

Apa maksudnya? Apa ada sesuatu yang disembunyikan?

Matanya menyipit, bibirnya terkatup rapat.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematian Naira, api kecil menyala di hatinya.

Bukan lagi air mata, bukan lagi keputusasaan.

Tapi tekad.

"Baiklah," bisiknya pelan. "Kalau memang masih ada yang berani menyentuh hidupku... mereka akan menyesal."

Rafaela menatap bayangannya di kaca jendela.

Wajah pucat itu kini terlihat berbeda.

Ada sesuatu yang baru di matanya-ketegasan, kebencian, kekuatan yang lahir dari luka.

Malam itu, Rafaela tidak tidur.

Ia duduk menatap foto Naira di meja kecilnya, lalu berbisik lembut.

"Mama janji, Nak. Mereka semua akan membayar."

Dan di luar sana, hujan turun lagi-seolah langit tahu, seorang ibu yang kehilangan anaknya baru saja memulai babak baru dalam hidupnya.

Bukan sebagai korban. Tapi sebagai bayangan yang akan menuntut balas.

Malam itu, Rafaela duduk di kursi kecil dekat jendela apartemennya. Angin malam berhembus lembut membawa aroma hujan yang belum kering.

Lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, namun pikirannya jauh lebih gelap dari langit malam.

Pesan itu masih tertera di layar ponselnya:

Jika kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di malam anakmu meninggal, datanglah ke tempat ini besok. Jangan percaya siapa pun.

Alamat yang tertera adalah sebuah kafe tua di daerah Antasari - tempat yang dulu sering ia datangi bersama Naren, sebelum semua hancur.

Tempat itu sudah lama tutup, katanya. Tapi mengapa seseorang ingin menemuinya di sana?

Rafaela menarik napas panjang. Jantungnya berdegup pelan tapi berat. Ada perasaan takut, namun juga penasaran yang menekan di dada.

"Apa lagi yang bisa lebih buruk dari kehilangan anakku?" gumamnya lirih. "Tak ada."

Ia menatap foto Naira yang tergantung di dinding. Senyum mungil itu menatapnya seolah memberi kekuatan. Rafaela menggenggam kalung berbentuk hati yang dulunya milik Naira, dan berbisik,

"Mama janji, Nak. Kalau memang ada kebenaran yang disembunyikan, Mama akan menemukannya."

Keesokan paginya, Rafaela mengenakan mantel abu-abu dan topi sederhana. Ia berjalan sendirian menyusuri jalan yang masih basah sisa hujan semalam.

Langkahnya ragu saat tiba di depan kafe tua itu.

Bangunannya setengah rusak, cat dinding mengelupas, papan nama hampir roboh. Tapi pintunya terbuka sedikit, seperti sengaja dibiarkan begitu.

Ia melangkah masuk.

Bau debu dan kayu lapuk menyambutnya.

Suara langkah sepatunya menggema di antara kursi-kursi kosong.

"Ada orang?" serunya pelan.

Tak ada jawaban.

Tapi dari arah belakang, terdengar langkah pelan mendekat.

Rafaela menegakkan tubuhnya, bersiap kalau-kalau harus melindungi diri. Lalu sosok seorang wanita muncul dari balik pintu dapur. Rambutnya sebahu, wajahnya pucat, matanya tajam seolah menyimpan terlalu banyak rahasia.

"Kau datang," ucap wanita itu dingin. "Kupikir kau akan takut."

Rafaela menatapnya hati-hati. "Kau siapa?"

Wanita itu berjalan mendekat, meletakkan sebuah map cokelat di meja. "Namaku Aira. Aku dulu perawat di rumah sakit tempat anakmu dirawat."

Rafaela terkejut. "Perawat?"

Aira mengangguk. "Aku tahu siapa yang membayar dokter untuk menutupi hasil laporan medis anakmu."

Rafaela menegang. "Apa maksudmu?"

Wanita itu membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar fotokopi dokumen. Ada laporan medis, catatan perawatan, dan-sesuatu yang membuat napas Rafaela tercekat-lembar tanda tangan Naren di bagian bawah formulir "izin penghentian penanganan intensif".

"Ini..." suaranya gemetar. "Ini tanda tangannya..."

Aira menatapnya lurus. "Anakmu masih punya peluang hidup, Rafaela. Dokter meminta izin untuk tindakan lanjutan. Tapi suamimu-Naren-menolak. Ia bilang tidak perlu lagi berjuang, katanya anak itu tidak akan bertahan."

Rafaela membeku. Suara di kepalanya hilang. Dunia terasa berputar.

"Tidak mungkin..." suaranya nyaris tak terdengar. "Naren tidak akan..."

"Kau pikir aku berbohong?" potong Aira dingin. "Aku ada di sana, Rafaela. Aku mendengar semuanya."

Air mata Rafaela menetes begitu saja. Tangannya gemetar saat meraih dokumen itu. Ia membaca ulang setiap kalimat, tapi huruf-hurufnya seperti menari di matanya, menusuk jantungnya satu per satu.

Naren menandatangani surat itu-tanpa pernah memberitahunya. Tanpa pernah memberi tahu bahwa ia menyerah pada anak mereka sendiri.

"Dia..." Rafaela berbisik lemah. "Dia yang membiarkan Naira mati..."

Aira menunduk. "Aku tidak tahu motifnya. Tapi aku tahu satu hal: setelah anakmu meninggal, rumah sakit menerima transfer dana besar dari perusahaan milik Naren. Aku tidak bisa diam."

Rafaela menggigit bibirnya kuat-kuat. Air matanya berhenti. Matanya menatap kosong ke depan, lalu perlahan berubah dingin.

"Dia bahkan membeli keheningan mereka," ujarnya lirih. "Membayar dunia agar berpura-pura aku gila karena kehilangan anak."

Aira menatapnya tajam. "Kalau kau mau buktinya lebih lengkap, aku bisa bantu. Tapi kau harus hati-hati. Naren punya koneksi kuat di perusahaan farmasi dan rumah sakit. Mereka bisa menyingkirkan siapa pun yang tahu."

Rafaela menatap wanita itu dalam-dalam. "Kenapa kau membantuku?"

"Karena aku punya anak juga," jawab Aira pelan. "Dan aku tahu rasa kehilangan itu seperti apa."

Rafaela terdiam. Lalu mengangguk perlahan.

"Baik. Aku akan menemukan semuanya. Aku akan buktikan sendiri."

Aira menyerahkan flashdisk kecil. "Semua salinan file asli ada di sini. Jangan simpan di ponsel. Simpan baik-baik."

Rafaela menggenggam benda itu erat. "Terima kasih."

"Berhati-hatilah," ujar Aira. "Mereka tidak akan diam kalau tahu kau mulai mencari tahu."

Malam itu, Rafaela duduk di ruang kerjanya. Laptop menyala di depannya. File-file dari flashdisk itu terbuka satu per satu: laporan medis, rekaman CCTV, hingga catatan komunikasi antara Naren dan dokter.

Setiap data adalah pisau yang menorehkan luka baru di hatinya.

Ia membaca kalimat demi kalimat, melihat bukti transfer, hingga mendengar rekaman suara Naren.

"Hentikan saja, Dokter. Istri saya tidak perlu tahu detailnya. Saya tidak ingin memperpanjang penderitaan anak itu."

Suara itu jelas. Dingin. Tidak menunjukkan emosi.

Rafaela menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak yang meledak di tenggorokan.

Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar hebat.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seseorang yang pernah bersumpah akan melindungi keluarganya, bisa dengan mudah menandatangani kematian anaknya sendiri?

"Kau membunuhnya, Naren..." suaranya bergetar. "Dengan tanganmu sendiri..."

Dalam sekejap, air matanya berhenti.

Yang tersisa hanyalah hening-dan kemarahan yang menelan segalanya.

Ia berdiri perlahan, menatap pantulan wajahnya di kaca.

Wajah itu bukan lagi milik Rafaela yang dulu.

Tidak ada kelembutan. Tidak ada kesedihan.

Yang tersisa hanyalah dingin, dan niat yang mengeras menjadi tekad.

"Kau ingin menghapusku dari hidupmu, Naren? Sekarang lihat... aku akan menghancurkan seluruh duniamu."

Hari-hari berikutnya, Rafaela berubah.

Ia kembali bekerja, tapi diam-diam mulai menyelidiki.

Ia mencari tahu siapa saja yang terlibat-dokter, staf rumah sakit, bahkan direktur tempat Naren bekerja.

Malam demi malam ia habiskan di depan layar laptop, mempelajari alur uang dan dokumen. Ia menemukan sesuatu yang lebih besar:

Dana yang digunakan Naren untuk "menutup kasus" ternyata bukan hanya untuk membungkam rumah sakit, tapi juga mengalir ke proyek ilegal perusahaan yang dikaitkan dengan penggelapan dana medis.

Rafaela menghubungi Aira lagi.

"Aku menemukan sesuatu," katanya di telepon.

"Ada hubungan antara dana rumah sakit dan perusahaan farmasi tempat Naren bekerja. Mereka menutup jejaknya."

"Kau harus hati-hati," suara Aira terdengar panik. "Kalau benar itu proyek ilegal, kau bisa dalam bahaya."

"Aku tidak peduli," jawab Rafaela tenang. "Aku sudah kehilangan segalanya. Sekarang hanya satu tujuanku - membuat mereka merasakan apa yang kurasakan."

Ia menutup telepon, lalu menatap layar laptopnya lagi.

Di pojok kanan bawah, nama pengirim uang muncul jelas: Naren Athaya Corp.

Ia menyalin semua data ke flashdisk cadangan dan menyimpannya di tempat aman.

Beberapa hari kemudian, Rafaela menghadiri sebuah pameran busana. Ia diundang oleh temannya, tapi alasan sebenarnya bukan itu.

Ia tahu Naren akan hadir di sana - bersama Selena.

Dan benar saja.

Begitu ia memasuki ruangan, pandangannya langsung tertuju pada pasangan itu.

Naren tampak gagah seperti biasa, sedangkan Selena memegang lengannya dengan senyum penuh kemenangan.

Beberapa orang berbisik, membicarakan betapa cocok mereka.

Rafaela hanya tersenyum kecil. Ia melangkah tenang ke arah mereka.

"Rafaela?" Naren tampak terkejut. "Kau... di sini?"

"Kau lupa? Aku desainer, Naren. Dunia ini juga milikku."

Nada suaranya tenang, tapi tatapan matanya menusuk.

Selena menatapnya sinis, tersenyum miring.

"Wah, senang sekali akhirnya bisa bertemu langsung," katanya dengan nada pura-pura manis. "Naren banyak bercerita tentangmu."

Rafaela menatapnya lama. "Begitu, ya? Semoga ia juga bercerita bagaimana ia menandatangani surat kematian anaknya."

Senyum Selena langsung memudar. Wajah Naren menegang.

"Rafa, jangan bicara di sini," bisik Naren cepat. "Bukan tempatnya."

"Oh, aku setuju," jawab Rafaela dengan senyum dingin. "Tempat ini terlalu indah untuk seorang pembunuh berdiri tanpa rasa bersalah."

Beberapa tamu mulai memperhatikan. Naren menarik Rafaela ke sudut ruangan dengan ekspresi panik.

"Apa yang kau inginkan?" desisnya. "Kau mau mempermalukanku?"

Rafaela mendekat, suaranya nyaris seperti bisikan.

"Belum, Naren. Tapi aku akan. Dan bukan hanya mempermalukanmu-aku akan menghancurkanmu, satu bagian demi satu."

Ia melangkah pergi, meninggalkan Naren yang terdiam dengan wajah pucat.

Malam itu, Rafaela duduk sendirian di balkon apartemennya.

Angin berhembus, membawa aroma malam.

Ia menatap bintang, sambil menggenggam flashdisk di tangannya.

"Perlahan saja," gumamnya. "Aku akan buat kau menyesal pernah mengenalku."

Dan di layar ponselnya, pesan dari Aira muncul lagi:

Kau tidak sendirian. Aku menemukan lebih banyak bukti. Mereka tidak sekadar menutup kasus. Mereka menjual obat percobaan ke rumah sakit untuk anak-anak yang sakit parah.

Rafaela menatap layar itu, matanya membara.

"Baiklah," katanya pelan. "Kalau begini permainannya, aku akan buka semuanya."

Ia berdiri, langkahnya tegap.

Dari seorang ibu yang hancur, kini ia menjadi perempuan dengan tujuan baru - mengungkap kejahatan yang merenggut nyawa anaknya.

Bukan lagi Rafaela yang lemah.

Kini ia adalah badai yang akan mengguncang hidup Naren dan semua orang yang terlibat.

"Naira," bisiknya sebelum masuk ke dalam, "Mama akan menjemput keadilan untukmu."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rafaela tidak menangis lagi.

Yang tersisa hanya api-api yang siap membakar siapa pun yang pernah menyalakan nyalanya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rio Faldi

Selebihnya

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku