Jangan Pernah Menyentuh Anakku

Jangan Pernah Menyentuh Anakku

Rio Faldi

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Aurora Elenna tak pernah menduga pria yang dulu menghancurkan hidupnya-Kaelan Dirgantara, CEO muda yang ambisius dan dingin-akan kembali menemuinya dengan satu tawaran yang tak bisa ia tolak: pernikahan kontrak untuk menyelamatkan reputasi perusahaannya dari skandal. Demi masa depan putranya yang berusia lima tahun, Ravi, Aurora menerima tawaran itu. Tapi Kaelan tidak tahu, bocah kecil yang sering membuatnya penasaran itu adalah darah dagingnya sendiri. Di balik jas dan senyum profesional, Aurora bukan lagi gadis naif enam tahun lalu. Ia kini lulusan universitas ternama di London, bekerja di bawah identitas samaran sebagai sekretaris biasa-menyembunyikan kecerdasan dan koneksi yang bisa mengguncang kerajaan bisnis Kaelan. Ketika Selina Pramudya, mantan istri Kaelan, muncul dengan niat merebut warisan dan menggulingkan kekuasaan, Aurora sadar permainan baru telah dimulai. Antara balas dendam, rahasia besar, dan cinta yang tak pernah padam, Aurora harus memilih: mengungkap kebenaran tentang Ravi, atau tetap melindungi rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Namun Kaelan bukan pria yang mudah ditipu. Dalam dinginnya tatapan dan sentuhan yang masih membuat jantung Aurora bergetar, ia mulai mencurigai satu hal- bahwa wanita yang berdiri di sisinya bukan sekadar istri kontrak, tapi musuh terkuat sekaligus cinta sejatinya yang tak pernah hilang.

Bab 1 gedung 62 lantai

Langit Jakarta pagi itu berwarna kelabu, seolah tahu bahwa hari ini bukan hari biasa bagi Aurora Elenna.

Langkah kakinya terdengar mantap di lantai marmer lobi Dirgantara Group, gedung 62 lantai yang menjulang gagah di tengah hiruk pikuk ibu kota.

Enam tahun.

Enam tahun sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini-bukan sebagai karyawan, tapi sebagai kekasih yang ditinggalkan tanpa penjelasan.

Kini, ia kembali.

Bukan untuk meminta penjelasan.

Bukan pula untuk menuntut balas.

Tapi untuk menuntaskan permainan yang dulu dimulai tanpa izin darinya.

"Selamat pagi, Bu..." sapa resepsionis dengan senyum profesional. "Nama dan divisi tujuan?"

Aurora membalas dengan senyum sopan. Rambutnya kini hitam gelap, bukan cokelat karamel seperti dulu. Wajahnya yang dulu manis kini memancarkan ketenangan dingin.

"Elenna Arista," jawabnya pelan, menyebut nama samarannya. "Divisi Eksekutif, Sekretaris CEO."

Senyum si resepsionis menegang sedikit, jelas kaget. "Sekretaris CEO? Wah... selamat datang, Bu Elenna. Silakan langsung ke lantai 58, ruang tunggu eksekutif. Asisten pribadi Pak Kaelan sudah menunggu."

Aurora mengangguk dan melangkah ke lift.

Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Nama itu-Kaelan Dirgantara-masih punya daya aneh untuk mengguncang hatinya, meski ia sudah bersumpah tak akan goyah lagi.

Saat pintu lift tertutup, pantulan wajahnya di dinding logam terlihat sempurna: tegas, terlatih, tak menunjukkan rasa takut sedikit pun.

Ia menatap bayangan itu lama.

"Tenang," bisiknya pada diri sendiri. "Kau bukan Aurora yang dulu. Sekarang kau yang memegang kendali."

Lantai 58 menyambutnya dengan aroma kopi mahal dan parfum maskulin.

Langit-langit tinggi, kaca besar membingkai pemandangan Jakarta, dan suasana hening khas ruang eksekutif-semuanya membuatnya sedikit mual. Tempat ini tak banyak berubah.

Yang berubah hanyalah dirinya.

"Selamat pagi, Bu Elenna." Seorang pria muda dengan jas hitam menghampiri, senyumnya ramah tapi kaku. "Saya Daryl, asisten pribadi Pak Kaelan. Beliau sedang rapat dengan dewan direksi. Tapi beliau meminta saya memastikan Ibu merasa nyaman sebelum wawancara singkat nanti."

Aurora mengangguk. "Terima kasih, Daryl. Saya tidak keberatan menunggu."

Daryl menawarkan secangkir kopi, lalu pamit sejenak.

Begitu ia pergi, Aurora menarik napas panjang dan memejamkan mata.

Ia tahu betul, Kaelan bukan pria yang mudah percaya pada siapa pun-terutama wanita. Apalagi setelah pengkhianatan masa lalu yang, di matanya, dilakukan oleh Aurora sendiri.

Senyum tipis terlukis di bibirnya.

Ia masih ingat bagaimana enam tahun lalu, tuduhan itu menghancurkannya-dan bagaimana ia pergi membawa rahasia yang bahkan Kaelan tak sempat mengetahuinya: ia mengandung anaknya.

Ravi.

Putra kecil yang kini menjadi satu-satunya alasan ia masih berdiri.

Pintu ruang rapat terbuka.

Langkah-langkah berat terdengar keluar. Suara sepatu pantofel, percakapan singkat, lalu keheningan lagi.

Aurora menegakkan punggung. Ia tahu siapa yang akan keluar terakhir.

Dan benar-beberapa detik kemudian, Kaelan Dirgantara muncul di ambang pintu.

Waktu tampaknya memperlakukannya dengan istimewa. Tubuh tegap itu kini semakin berisi, wajahnya lebih tajam, rahang tegasnya tampak lebih kokoh dari dulu. Jas hitamnya pas di tubuh, kemeja putihnya licin tanpa cela. Tapi yang paling membuat Aurora tersentak adalah tatapan itu-tatapan dingin penuh kuasa yang dulu pernah ia kenal dari jarak yang terlalu dekat.

Kaelan meliriknya sekilas, lalu berhenti.

Tatapan mereka bertemu.

Dalam sepersekian detik, waktu seperti berhenti.

Aurora menahan napas, tapi wajahnya tetap datar. Ia memastikan tak ada satu pun ekspresi yang bocor.

Kaelan menatap lebih lama. Alisnya sedikit berkerut.

"Mengapa wajahmu terasa familiar..." gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Aurora segera berdiri dan menunduk sopan. "Selamat pagi, Pak Dirgantara. Saya Elenna Arista, sekretaris baru Anda."

Nama samaran itu menembus udara di antara mereka seperti tameng.

Kaelan mengangguk tipis, ekspresinya datar lagi. "Elenna Arista. Baik. Ikuti saya."

Tanpa menunggu jawaban, ia berjalan masuk ke ruangannya.

Aurora menahan diri agar tak menatap punggung pria itu terlalu lama.

Dunia memang punya selera humor aneh-menempatkannya kembali di bawah kendali pria yang dulu menghancurkan hatinya.

Ruang kerja Kaelan besar, minimalis, dan dingin.

Dinding kaca menampakkan seluruh cakrawala Jakarta. Di sisi lain, meja kerja besar dari kayu hitam menguasai ruangan, dengan tumpukan dokumen rapi dan monitor besar.

"Duduk," ucap Kaelan tanpa menatapnya.

Aurora duduk dengan tenang. Tangannya diletakkan di pangkuan, sementara tatapannya diam-diam mempelajari pria di depannya.

"Daryl mengatakan Anda direkomendasikan langsung oleh HR pusat di London?" Kaelan membuka map, membaca data. "Rekam jejak Anda bagus. Efisien, terorganisir, multibahasa, dan... tidak banyak bicara. Saya suka itu."

Aurora menahan diri untuk tidak tersenyum.

Ia tahu data yang ia susun sempurna-identitas palsu dengan latar pendidikan fiktif di Inggris, semua tersamarkan rapi di bawah nama Elenna Arista.

"Saya hanya ingin bekerja sebaik mungkin, Pak," ucapnya datar.

Kaelan menatapnya sekilas, tatapan matanya menelisik seperti hendak menembus dinding samaran itu. "Bagus. Karena bekerja untuk saya bukan hal mudah. Saya tidak suka kesalahan, apalagi alasan."

"Saya mengerti."

"Dan satu hal lagi," lanjut Kaelan, suaranya turun satu oktaf. "Saya tidak mencampur urusan pribadi dengan profesional. Jadi, jangan mencoba menarik perhatian dengan cara apa pun. Saya sudah terlalu sering menghadapi sekretaris yang-berambisi lebih."

Nada itu tajam, bahkan sedikit sinis.

Aurora menatapnya tenang, meski dalam hati ada getaran aneh.

"Tidak perlu khawatir, Pak. Saya tidak tertarik pada apa pun selain pekerjaan."

Untuk sesaat, Kaelan menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya-ragu, penasaran, tapi juga terpesona samar.

Namun detik berikutnya, ia sudah kembali ke mode dingin khasnya.

"Baik. Anda bisa mulai hari ini. Daryl akan memberi daftar tugas. Dan tolong, jangan sampai saya menyesal merekrut Anda."

"Baik, Pak Dirgantara."

Kaelan menatapnya sekali lagi sebelum berjalan ke arah jendela. "Anda boleh pergi."

Aurora berdiri, lalu berjalan pelan ke pintu.

Tepat sebelum keluar, Kaelan berkata tanpa menoleh, "Elenna."

Aurora berhenti. "Ya, Pak?"

"Saya tidak tahu kenapa," Kaelan menatap pantulan dirinya di kaca, "tapi suara Anda... mengingatkan saya pada seseorang."

Aurora menahan napas, tapi suaranya tetap tenang. "Mungkin hanya kebetulan, Pak."

Kaelan menoleh perlahan, menatapnya lurus.

"Kebetulan jarang terjadi di dunia saya, Nona Arista."

Aurora menunduk sedikit, lalu keluar dengan langkah teratur. Begitu pintu tertutup, napasnya yang tertahan akhirnya keluar dengan berat.

Dunia seolah berputar cepat.

Ia baru saja menatap wajah yang menghancurkan hidupnya-dan ia tidak runtuh.

Ia tersenyum tipis.

Itu kemajuan besar.

Beberapa jam berikutnya ia sibuk dengan dokumen dan jadwal rapat. Daryl membantunya menyesuaikan sistem, dan staf lain terlihat heran karena "sekretaris baru" itu begitu cepat beradaptasi.

Tak ada yang tahu bahwa Aurora sebenarnya dulu pernah berada di lingkaran yang lebih tinggi dari ini-ia mengenal cara berpikir Kaelan, bahkan tahu kebiasaan kecilnya: minum kopi dua sendok gula tepat pukul 9.30, mengetuk meja tiga kali sebelum memutuskan sesuatu, dan tidak tahan dengan suara pena berisik.

Menjelang siang, pintu ruang kerja Kaelan terbuka.

"Elenna," panggilnya singkat. "Ikuti saya ke rapat investor."

Aurora segera berdiri, membawa laptop dan map. "Baik, Pak."

Lift eksekutif membawa mereka ke lantai 60, ruang rapat besar berisi jajaran pemegang saham dan investor luar negeri. Aurora duduk di sisi kanan Kaelan, menyiapkan presentasi, sementara semua mata tertuju pada pria itu.

Suara Kaelan stabil, penuh wibawa, tapi Aurora tahu setiap kata yang ia ucapkan mengandung strategi. Ia masih seperti dulu-dingin, cerdas, tak kenal ampun.

Namun saat sesekali Kaelan menoleh padanya untuk memberi isyarat, pandangan mata itu membuat Aurora sulit bernapas.

Tatapan yang dulu pernah begitu ia cintai, kini terasa seperti ujian.

Usai rapat, Kaelan berjalan di sampingnya.

"Kerja bagus," katanya singkat. "Kau cepat tanggap."

"Terima kasih, Pak."

"Sepertinya aku tidak salah pilih."

Kalimat itu diucapkan datar, tapi entah kenapa membuat dada Aurora hangat-dan sakit bersamaan.

Begitu mereka kembali ke ruang kerja, Kaelan menerima panggilan dari seseorang. Suaranya berubah dingin lagi.

"Selina, aku sudah bilang jangan hubungi aku di jam kerja."

Nama itu membuat jari Aurora berhenti mengetik.

Selina Pramudya-mantan istri Kaelan, wanita yang dulu menjadi alasan utama kehancuran hubungan mereka.

Aurora menunduk dalam-dalam, memastikan ekspresinya tak terlihat.

"Tidak, aku tidak akan menghadiri acara keluarga itu. Dan berhenti gunakan nama perusahaan untuk urusan pribadimu," kata Kaelan keras sebelum menutup telepon.

Ia menghela napas berat, lalu menatap Aurora. "Maaf, gangguan pribadi."

Aurora hanya mengangguk sopan. "Tidak masalah, Pak."

Namun Kaelan tidak segera kembali bekerja. Ia menatap Aurora lama, seolah menimbang sesuatu.

"Kau sudah menikah, Elenna?" tanyanya tiba-tiba.

Aurora tertegun sesaat. "Tidak, Pak. Saya single."

Kaelan menatapnya lama sebelum berkata pelan, "Kalau begitu, berhati-hatilah. Dunia ini tidak ramah pada perempuan yang cerdas tapi sendirian."

Aurora menatap balik, menahan banyak hal yang ingin ia ucapkan.

"Saya sudah terbiasa dengan dunia yang seperti itu, Pak."

Kaelan menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kebenaran dalam kalimat itu. Tapi kemudian ia hanya mengangguk pelan dan kembali ke mejanya.

Sementara Aurora kembali bekerja, satu hal terlintas di benaknya:

Kaelan masih sama.

Namun kali ini, ia bukan lagi wanita yang perlu diselamatkan.

Ia adalah ancaman yang datang dalam senyap.

Malam itu, setelah semua karyawan pulang, Aurora duduk sendirian di meja kerjanya. Lampu ruangan temaram, hanya suara hujan di luar yang menemani.

Ia membuka laptop pribadinya dan menulis pesan terenkripsi ke seseorang bernama "Rafiq."

Target sudah berhasil didekati. Dirgantara Group tampaknya menyembunyikan lebih banyak hal dari sekadar skandal keuangan. Aku butuh akses ke arsip proyek AuroraTech-segera.

Pesan terkirim.

Aurora menatap layar itu lama.

Ia bukan hanya datang ke sini untuk bekerja atau untuk menguji Kaelan.

Ada misi besar di balik semuanya-dan hanya ia yang tahu tujuannya.

Namun sebelum ia sempat menutup laptop, suara langkah berat terdengar mendekat.

Aurora buru-buru menutup layar dan berdiri.

Pintu terbuka. Kaelan berdiri di sana dengan jas terlepas dan dasi longgar. Rambutnya sedikit berantakan, ekspresinya lelah tapi tajam.

"Kau belum pulang?" tanyanya pelan.

"Saya sedang menyelesaikan laporan, Pak."

Kaelan menatap meja, lalu kembali ke wajahnya. "Kau tidak perlu memaksakan diri. Aku tidak ingin sekretarisku tumbang di minggu pertama."

Aurora menahan senyum kecil. "Saya baik-baik saja."

Keheningan menggantung.

Suara hujan makin deras, aroma kopi mengisi ruangan.

Kaelan bersandar di ambang pintu, memperhatikan wanita di depannya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

"Entah kenapa," katanya pelan, "ada sesuatu tentangmu yang... mengganggu pikiranku."

Aurora menatapnya tenang. "Apakah itu masalah, Pak?"

Kaelan menatapnya lama, kemudian menggeleng. "Mungkin hanya imajinasiku."

Ia berbalik, tapi sebelum benar-benar pergi, ia menambahkan dengan suara rendah, "Besok pagi jam delapan. Aku ingin kau menemaniku ke pertemuan dengan dewan. Dan Elenna..."

Aurora menatapnya.

"Jangan pernah membuatku menyesal memercayaimu."

Setelah Kaelan pergi, Aurora menatap pintu tertutup itu lama.

Hatinya bergetar dengan campuran getir dan nostalgia.

Ia tahu, dari detik itu, permainan baru telah dimulai-dan setiap langkahnya harus hati-hati.

Karena jika Kaelan sampai tahu siapa dirinya yang sebenarnya...

segala rencana bisa runtuh.

Aurora menatap pantulan wajahnya di jendela.

Tatapan itu bukan milik wanita yang rapuh.

Itu tatapan pejuang-dan mungkin, juga pencinta yang belum bisa benar-benar lupa.

"Enam tahun lalu kau menghapusku, Kaelan," bisiknya pelan.

"Kali ini, aku yang akan menentukan bagaimana kisah ini berakhir."

Di luar, kilat menyambar langit, menyinari gedung tinggi Dirgantara Group.

Pertanda badai baru akan segera dimulai.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Rio Faldi

Selebihnya

Buku serupa

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Gairah Liar Perselingkuhan

Gairah Liar Perselingkuhan

kodav
5.0

Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku