Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gendutnya Istriku

Gendutnya Istriku

Indri AP

4.0
Komentar
2.4K
Penayangan
26
Bab

Apa yang dirasakan Izzah ketika orang-orang membicarakan kegendutan tubuhnya setelah menikah dengan Arman? Tentu saja dia malu, marah, dan ingin melakukan diet supaya kurus. Sayangnya, Arman justru menghalangi rencana dietnya dengan berbagai cara. Apalagi, Izzah diketahui mengandung anaknya Arman pada saat yang bersamaan. Izzah yang merupakan mantan tenaga kesehatan tahu persis bagaimana melakukan diet, menjaga kehamilan, ataupun menggugurkan kandungan. Lagipula, Izzah yang sudah memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki, tidak perlu sangat untuk hamil lagi. Berbeda dengan Arman, yang merupakan duda tanpa anak dan selalu dituduh mandul oleh orang-orang sekitarnya, kehamilan ini begitu berharga sekaligus menjadi ajang pembuktian dirinya. Jadi, siapa yang akan berhasil mencapai tujuannya? Izzah yang ingin menguruskan badan, atau Arman yang ingin memiliki anak?

Bab 1 Omongan

Aku baru saja terlelap tidur ketika tiba-tiba terdengar suara teriakan histeris dari istriku.

"Tidak...!"

Suaranya yang melengking dari ruang tengah itu langsung membuatku terlonjak. Aku segera melompat dari ranjang mencari keberadaan Izzah. Dia berdiri di atas timbangan dengan muka tegang.

"Ada apa, Zah? Kenapa teriak?"

"I-ini Mas... Timbangannya...."

"Kenapa timbangannya?"

"Jarumnya.... Geser ke kanan...."

Seketika aku tepuk jidat. Aku merasa kesal. Dia benar-benar lebay. Tega-teganya dia berteriak lantang hingga aku terbangun dengan nyeri kepala. Padahal aku bisa tidur siang seperti ini hanya di akhir pekan.

Kulihat dia menunduk dalam. Kakinya perlahan turun dari timbangan. Dia sepertinya merasa bersalah.

"Kamu berteriak tadi cuma karena ini?" tanyaku penuh emosi.

"Apa kamu bilang, Mas?" Tiba-tiba dia mendongakkan kepala. "Cuma karena ini?"

Aku mengernyitkan dahi.

"Ini perkara penting, Mas. Kamu jangan meremehkan, ya. Kalau berat badanku terus bertambah, Body Mass Index bisa bergeser dari normal-ideal menjadi gemuk bahkan obesitas. Kalau sudah obesitas, maka risiko terkena penyakit degenerative akan semakin meningkat, Mas. Apakah kamu mau jika aku terkena penyakit jantung, diabetes mellitus type 2, hipertensi, sesak napas, gangguan reproduksi, kanker, bahkan stroke?"

"Astagfirullah. Aku tak maulah, Zah." Aku mengelus dada.

"Makanya, jangan bilang 'cuma' gitu dong Mas!" Matanya berkaca-kaca.

Dia berlalu dari hadapanku dan berlari ke belakang rumah. Aku bingung sejenak. Perasaan tadi Izzah yang bersalah duluan, mengapa sekarang malah aku yang tersudutkan?

Aku pun menyusulnya. Ternyata, dia sedang menangis di pojokan. Pelan-pelan aku mendekatinya. Suara isak tangisnya terdengar semakin jelas.

"Zah," panggilku pelan. "Maafkan aku, ya."

Kata-kata itu meluncur lancar. Aku sudah terbiasa melakukannya. Meskipun tidak bersalah, aku seringkali meminta maaf lebih dulu. Bagiku, meminta maaf tidak akan menjadikan harga diri rendah. Justru orang yang mau meminta maaf lebih dulu itu berjiwa besar. Kusentuh bahunya penuh kelembutan dan berharap dia baik-baik saja.

"Maaf, ya, Zah. Aku tidak tahu kalau masalah berat badan itu penting sekali buatmu."

Izzah masih tetap menangis sesenggukan. Aku pun meraihnya ke dalam pelukan. Aku berdoa semoga saja tangisnya bisa reda.

"Maafkan aku, Zah." Aku mengucapkan maaf dengan tulus ikhlas. Aku paham bahwa setiap rumah tangga itu penuh drama. Namun, aku tak mau drama itu menggagalkan pernikahanku yang kedua kalinya. Pernikahanku yang pertama kandas karena aku tak punya anak. Sharma, istriku yang pertama, memiliki rasa cemburu yang sangat besar meski kami sudah mengangkat anak. Dia bahkan memfitnahku beberapa kali. Akhirnya, rumah tangga kami berakhir.

"Aku minta maaf, ya, Zah. Aku tidak tahu kalau masalah berat badan itu sangat penting buatmu." Aku meminta maaf sekali lagi. Dia mengangguk-angguk sambil tetap menangis. Kedua tangannya melingkari tubuhku saat ini.

"Besok aku mau diet, ya, Mas," katanya di sela-sela isak tangis.

"Iya, iya."

"Memangnya aku gendut banget, ya, Mas?"

"Tidak. Kamu tidak gendut."

"Halah. Bohong."

"I swear."

"Suar-suer. Bohong itu dosa lho, Mas. Nabi Muhammad saja tidak pernah bohong. Beliau punya sifat shidiq yang artinya jujur dan ibumu memberi nama Arman Muhammad itu pasti supaya kamu meniru sifat Nabi Muhammad yang salah satunya jujur. Ayahmu memberi nama tambahan Geraldson itu pasti supaya kamu menjadi anak kebanggaannya. Tidak ada orang tua yang bangga punya anak pembohong, Mas. Mereka pasti merana di alam barzah sana."

Aku tersentak ketika dia membawa-bawa nama kedua orang tuaku yang sudah meninggal. Aku tersadar, rupanya kata-kataku tadi salah. "Baiklah, aku jujur. Kamu gendut."

Dia tiba-tiba melepaskan pelukannya. "Apa katamu, Mas?"

"Kamu gendut, Zah."

"Kamu bilang apa, Mas?"

"Emm... Kurang jujur, ya?"

"Coba bilang yang benar!"

"Kamu gendut, Zah. Galak lagi."

"Huwwa...!"

Tangisnya langsung pecah. Dia berlari ke dalam rumah. Aku bingung juga, kali ini salahku di mana?

Tanpa pikir panjang, aku segera mengejarnya. Dia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Cepat-cepat aku mengetuknya.

"Zah, Izzah!"

"Apa?" Suara Izzah terdengar serak.

"Buka pintunya!"

"Tidak mau, sebelum kamu menyadari kesalahanmu!"

"Kesalahanku apa? Katanya berbohong itu dosa. Begitu jujur, kamu tetap marah juga."

"Kamu tidak tahu kesalahanmu, Mas?"

"Tidak."

"Dasar lelaki tidak peka!"

"Bukannya tidak peka, tapi ...."

"Ada tiga kebohongan yang dibolehkan berdasarkan hadist riwayat Imam Muslim. Pertama, kebohongan dalam kondisi perang untuk menyelamatkan nyawa. Kedua, kebohongan untuk mendamaikan pihak-pihak yang berseteru. Ketiga, kebohongan suami-istri untuk saling menyenangkan hati."

"Jadi, aku tadi...."

"Ya, kamu bersalah, Mas. Seharusnya tadi kamu tetap berbohong saja."

Aku kembali menepuk jidat. Aku bingung dan merasa serba salah. Ingin rasanya aku marah. Namun, aku sadar, marah itu tidak bisa menyelesaikan masalah. Salah-salah malah masalahnya semakin bertambah.

Aku memilih menghela napas dalam-dalam. Aku pernah membaca bahwa menarik napas seperti ini dapat meredakan emosi. Kemarahan pun dapat terkendali.

Kurasa, aku tak bisa membiarkan istriku ini merajuk terlalu lama. Aku hanya ingin kedamaian dalam rumah tangga. Meminta maaf pun tak apa-apa.

"Ya, sudah. Aku salah lagi. Aku minta maaf lagi. Jangan marah lagi, ya. Aku janji tidak akan mengulanginya. Kamu mau memaafkanku 'kan, Zah?"

Hening.

Tidak ada jawaban dari Izzah.

"Zah, jangan beginilah. Kamu satu-satunya keluarga yang kupunya. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Saudara-saudaraku jauh semua. Anak angkatku dibawa Sharma. Apa kamu tega membiarkanku sendirian?"

Tiba-tiba pintu terbuka. Izzah menubruk badanku dan memeluk erat. Betapa manja istriku sekarang. Padahal, dulu sebelum menikah denganku, Izzah ini sosok perempuan yang mandiri, tangguh, kokoh dan berdaya.

"Aku juga minta maaf, ya, Mas. Aku tidak bermaksud begini, tapi entah mengapa aku menjadi sangat sensitif. Apa lagi jika menyangkut pembicaraan tubuhku yang gendut. Aku jadi insecure."

Aku tersenyum, merasa sangat lega di rongga dada. "Tak apa-apa, Zah. Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Kamu tak perlu merasa insecure seperti itu."

Kedua tanganku pun melingkari tubuhnya.

"Tapi, Mas ...."

"Sssttt! Jangan bicara lagi jika hanya membuatmu makin sedih sendiri. Kamu tahu? Aku ikut berduka kalau kamu tidak bahagia."

Izzah mengangguk-angukkan kepala. Kami kemudian saling diam cukup lama. Kata-kata memang tidak selalu dibutuhkan untuk mengungkapkan cinta. Salah-salah malah bisa memicu perang dunia ketiga dalam rumah tangga.

"Ehm!" Terdengar suara dari jendela ruang tengah.

Spontan kami melepaskan pelukan dan menoleh ke sumber suara. Di sana terlihat seonggok kepala dengan rambut acak-acakan dan terlihat menyeramkan.

"Huwwa...!" Izzah yang penakut itu langsung melompat ke dalam kamar dan meringkuk di pojokan.

Aku geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Sejurus kemudian aku kembali memusatkan perhatian pada jendela. Aku mengamati dengan saksama. Pelan-pelan aku mendekatinya. Ternyata, seonggok kepala yang membuat Izzah ketakutan adalah ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku