Cinta yang Tersulut Kembali
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Sang Pemuas
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Terpesona oleh Istri Seribu Wajahku
Gairah Citra dan Kenikmatan
Hamil dengan Mantan Bosku
Hati Tak Terucap: Istri yang Bisu dan Terabaikan
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Suamiku Nakal dan Liar
Pecahan gelas membentur lantai marmer, serpihannya menyebar, berbunyi begitu nyaring. Gadis bersurai hitam tersentak kaget. Anak berumur sepuluh tahun itu, hanya diam mematung menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tua.
"Jangan kau pikir aku tidak tahu, kau berselingkuh dengan pria itu!" Suara bariton memecah kebisuan malam.
"Astaghfirullah, Mas. Kau jangan membalikan fakta. Jelas-jelas aku melihat kau bersama dengan tetangga kita!" sahutnya dengan mata yang menyala.
"Berhenti menuduhku, Sharena!" bentaknya.
Tamparan keras melayang menyentuh pipi mulus istrinya. Wanita berambut hitam panjang tersungkur ke lantai dengan memegangi bibirnya yang berdarah.
"Mamah!" pekik anak kecil berumur sepuluh tahun. Ia berlari menuruni tangga, hendak menghampiri ibunya. Namun, urung dilakukan.
"Kau dekati ibumu, aku pastikan kau akan bermalam di gudang bawah tanah!" ancam pria paruh baya itu.
"Kau tidak pernah berubah, Mas. Kau akan menyesal jika terus seperti ini!"
"Ya, aku menyesal karena telah menikahimu, Sharena! Aku semakin yakin, bahwa anak itu bukan anakku!" Pria itu mengacungkan jari telunjuk, mengarahkan pada gadis yang sedang menangis tergugu, di anak tangga ke tiga.
"Cukup, Mas. Cukup!" jerit Sherena. Bulir suci membasahi pipi, tetesannya menunjukan rasa perih yang mendalam.
"Pergilah, kau bebas sekarang! Silahkan, kau bersenang-senang bersama selingkuhan berkedok sahabat itu!"
"Demi Tuhan, aku tidak pernah selingkuh. Percayalah, dia anakmu!"
"Cukup, Sherena! Pergi!" Brahma menendang tubuh istrinya, hingga meringkuk di lantai.
Sherena kembali bangkit dan menatap suaminya dengan mata yang menyala dan basah oleh air mata.
"Jika benar dia bukan anakmu kau boleh buang kami, tapi aku mohon jangan menuduh tanpa bukti. Aku ingin kau tes DNA!" tekan Sherena menggoyang kaki Brahma.
"Tidak!" Brahma menepis tangan Sherena.
"Kenapa kau begitu egois, Mas!?"
"Kau yang egois, sekarang enyahlah dari hadapanku, Sherena. Aku sudah jijik melihat wajahmu!" usir Brahma tanpa ampun.
Brahma pergi meninggalkan Sherena yang masih bercucuran air mata. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu, menangis dan menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Dia menutup wajah dengan kedua tangan. Sherena batuk hingga mengeluarkan darah. Dia menatap tangannya yang penuh darah dengan nanar.
Sherena merahasiakan penyakit kanker yang diderita dari suami dan anak. Dia tidak ingin mereka tahu, selama ini Brahma menuduh dia berselingkuh. Padahal pria yang dituduh adalah sahabat yang setia, menemani dan membiayai pengobatan penyakit Sherena. Brahma terlalu pelit mengeluarkan uang untuk pengobatan.
Anak kecil yang sedari berdiri memaku itu berjalan menghampiri, Sherena segera mengusapkan tangannya yang dipenuhi darah pada celana Kulot yang dikenakan.
"Mamah," panggilnya. Dia ikut duduk di samping ibunya. "Apa benar aku bukan anak papah?" Wajahnya terlihat sendu.
Sherena memeluknya dengan erat. Mencium beberapa kali pucuk kepala putrinya. Sherena melepas pelukan, memegang kedua bahu putrinya dan berkata.
"Anakku, Rubby," ucapnya. Ya, anak kecil berumur sepuluh tahun itu, bernama Pelangi Mekka Rubby.
"Dengarkan Ibu, Nak. Kau itu anak papahmu. Percayalah, Mamah tidak pernah selingkuh." Mata Sherena Kembali berkabut, hujan turun dari kelompok mata.
"Mamah, jangan nangis." Bibir Ruby bergetar menahan sesak, ibu jarinya yang lentik mengusap wajah ibunya. "Rubby percaya pada Mamah," ucap Rubby.
Sherena kembali memeluk anaknya dengan erat. Menumpahkan rasa sesak, yang menguasai hati selama dua belas tahun. Sherena kembali melepas pelukan, menatap lekat darah dagingnya yang terlihat cantik dan manis.
"Nak, dengarkan ibu baik-baik," serunya. Rubby pun mengangguk.
"Jika ibu tidak ada, tolong jaga papahmu. Jangan tinggalkan dia apapun yang terjadi. Kau mengerti, Nak?"
"Memang, Mamah mau kemana?" Rubby bertanya dengan wajah yang polos.
"Mamah harus pergi, jadi berjanjilah padaku, agar Mamah bisa tenang." Sherena mengacungkan jari kelingking ke udara. "Janji!" Wanita ini tersenyum dipaksakan.
"Aku, janji, Mah." Rubby melingkarkan jarinya.
"Anak pintar." Sherena mengacak rambut hitam putrinya.
"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Mamah pergi dulu ya." Sherena beranjak dari duduk. Dia berdiri. Rubby menahan tangan wanita ini. Namun, dengan kasar Sherena menepisnya.