Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
"Aku mau putus!"
Hana terdiam sebentar berusaha mencerna kalimat yang terlontar dari bibir
Adam, lelaki yang sudah membersamainya selama empat tahun belakangan.
"Ini ngga lucu ya, Dam!"
Gadis itu tertawa kecil sesekali menggeleng pelan, ia menganggap jika
kalimat yang ia dengar barusan hanya guyonan Adam. Lagi pula apa alasan Adam
memutuskannya secara sepihak?
Ia bahkan tak tahu di mana letak kesalahannya, sejauh ini mereka baik-baik
saja, tak ada masalah berarti bahkan pihak keluarga pun tahu hubungan mereka
seserius apa.
"Aku serius, Han."
Hana menoleh, menatap lekat Adam dan mencari kebohongan di sana. Udara sejuk
di taman Bogor mendadak panas, tadinya mereka ke tempat ini untuk merayakan
anniversary mereka yang ke empat tahun, tempat di mana keduanya tak sengaja
bertemu, hingga membuat mereka terikat dalam satu hubungan asmara.
Adam meraih jemari lembut Hana, dan meremasnya perlahan. Wajahnya terlihat
sedih, dan Hana, mungkin sebentar lagi menangis.
"Aku dijodohkan."
Hana terdiam sebentar, lagi dan lagi ia tertawa miris.
"Dijodohkan? Kamu lelaki, Adam. Tak bisakah kau menentangnya? Dan apa
maksudnya mereka menjodohkan mu sementara selama ini sikap orang tuamu
terlampau manis dan baik padaku. Kita bahkan sudah merencanakan pernikahan ini
sebelumnya, tiga bulan lagi aku akan sah menjadi istrimu. Dan ini ..."
Hana menunjuk cincin yang ada di jari manisnya, benda kecil yang Adam
sematkan untuk mengikat Hana tahun lalu, meski tanpa perwakilan keluarga sekali
pun.
"Aku tunanganmu, Adam. Kau tak bisa seperti ini!"
Air mata menggenang, ia mulai kesal, marah, benci, sakit hati, semua berbaur
menjadi satu.
"Hana, dengarkan aku! Aku mencintaimu, tapi aku juga tak bisa menolak
permintaan papa, semua terjadi begitu saja dan kau akan memahami itu."
"Memahami? Ini konyol, Adam. Katakan saja sudah berapa lama kau
menjalin hubungan dengan wanita itu!"
Adam terlihat frustrasi, ia langsung berdiri mendekat dan hendak memeluk
Hana, di luar dugaan, gadis itu menghindar. Tanpa banyak kata ia melepaskan
cincinnya dan menyerahkan dengan kasar pada Adam.
"Baik. Kita putus! Aku janji tidak akan pernah menunjukkan diri padamu,
ini pertemuan terakhir kita."
Ada rasa tak terima di hati Adam, bukankah ini yang ia inginkan, sudut
hatinya menyuruh untuk mempertahankan Hana, tapi keadaan memaksanya untuk
mengambil keputusan yang akan membuatnya kehilangan Hana, wanita pertama yang
ia cintai.
Seolah turut bersedih, hujan turun mendadak membuat Hana terus berjalan
menjauh dengan pandangan kosong, tak peduli seberapa basah dirinya karena
guyuran hujan. Hana memanfaatkan keadaan, yakin jika alam turut mendukungnya
untuk menangis tanpa takut ada yang tahu, termasuk Adam.
Langkahnya berat seolah tak bertenaga, kenyataan pahit diterima dengan paksa
meski sejujurnya enggan. Empat tahun itu bukan waktu yang sebentar, bagaimana
ia membersihkan lembar demi lembar kenangan selama itu, luka yang bahkan lebih
perih dari sayatan pisau. Tak terasa langkahnya sudah tiba di depan rumah,
tepat di depan pintu ia berdiri dengan hati yang rapuh, rasa sesak menjalar
sedari tadi.
Tak lama pintu terbuka, wajah Mariam terlihat khawatir melihat Hana pulang
dalam keadaan basah, seketika Hana langsung memeluk erat Mariam, menumpahkan
tangisnya yang menggila di pelukan wanita yang telah melahirkannya.
“Sayang, ada apa? Di mana Adam?”