Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dosa Rasa Surga

Dosa Rasa Surga

Freddy San

5.0
Komentar
297
Penayangan
10
Bab

Apa jadinya kalau mantan yang masih kita cinta tiba-tiba datang dengan segenap pesona? Kendra terbuai kembali dengan rasa lama yang pernah ada untuk Alissa. Dia memilih untuk menduakan Maura dan berpoligami secara sembunyi-sembunyi. Menjadi nahkoda di dua kapal sekaligus, ternyata tidak mudah. Kendra melukai hati Maura ketika dia bersama Alissa. Pun sebaliknya, dia menyiksa Alissa ketika dirinya bersama Maura. Di satu sisi, Kendra menikmati surga karena berhasil mendapatkan dua wanita. Satu wanita tercinta dan satu lagi adalah wanita terbaik yang telah dipilihkan oleh Tuhan untuknya. Di sisi lain, dia terus menuai dosa karena menyakiti keduanya. Dosa rasa surga. Jangan sampai membuat terlena.

Bab 1 Hasil Tes

Aku dan Maura melangkah di koridor rumah sakit untuk menemui dokter spesialis yang disarankan oleh salah satu teman di Surabaya. Dia tampak cemas dan beberapa kali meremas jemariku. Mungkin dia butuh tambahan kekuatan, menyiapkan mental untuk mendengar hasil pemeriksaan nanti.

"Gimana kalau ternyata aku ini mandul, Mas?" tanya Maura sembari menghentikan langkah.

"Hush! Ucapan adalah doa. Jangan mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak mau itu terjadi, Maura." Aku masih tetap menggenggam tangannya, berusaha untuk menenangkan.

"Tapi, aku sangat takut, Mas." Paras ayu itu makin menunduk.

"Apa pun yang terjadi nanti, kita hadapi sama-sama, ya." Genggamanku makin erat di tangannya.

Perempuan itu makhluk halus, tetapi bukan jin. Maksudnya, perasaan mereka itu halus alias sensitif. Mereka sering kali over thinking, menciptakan rasa sakit serta luka untuk diri sendiri dengan pikiran serta perbuatan mereka sendiri. Sebagai suami, aku harus mampu membuat dia tenang saat resah dan gelisah melanda.

Sampailah kami di depan ruangan yang sudah tidak asing lagi karena tiga hari lalu kami memang sudah kemari. Kami diminta datang kembali hari ini untuk mengambil hasil tes, sekaligus mendengarkan penjelasan dokter terkait hasil tes kami tersebut.

Aku melirik sekilas ke arah jam dengan tali kulit berwarna cokelat tua yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Masih kurang lima menit dari jadwal yang telah ditentukan oleh dokter. Ah, sepertinya tidak masalah. Bukankah lebih baik datang lebih cepat daripada terlambat?

"Masuk!" Suara khas Dokter Elkan yang mendayu terdengar dari balik pintu setelah aku mengetuk tiga kali.

"Selamat siang, Dok." Aku menyapa sambil menarik lembut tangan Maura. Wanita itu tampak sedikit enggan untuk segera masuk.

"Wah, datangnya tepat waktu banget, ya. Mari, silakan duduk, Pak, Bu." Pria berambut ikal dengan kacamata besar itu memberi tanda dengan tangan ke arah kursi di depannya.

Tanpa membuang waktu, dia mengambil amplop cokelat besar berisi hasil tes kami. Sejurus kemudian, dia langsung menjelaskan tentang hasil pemeriksaan. Ternyata, memang tidak ada masalah sama sekali dengan kesehatan kami. Kami berdua dinyatakan sama-sama sehat. Dokter Elkan lantas mengulurkan dua lembar kertas hasil tes kemarin kepada kami.

"Jadi, semua ini murni soal ridho Illahi karena pada dasarnya memang nggak ada masalah sama sekali dengan kesehatan kalian," ucap Dokter Elkhan, menegaskan kembali.

"Yang penting kalian rajin berusaha. Jaga kesehatan dan kebahagiaan. Semoga cepat punya momongan, ya," imbuhnya lagi seraya melemparkan senyuman.

Kabar itu membuat kami merasa lega. Maura yang sempat tegang saat berangkat pun, kini kembali tersenyum. Senyumnya adalah canduku. Sedikit saja perubahan sikap, selalu mengganggu konsentrasiku saat bekerja. Maka dari itu, aku ingin selalu membuat dia tersenyum.

"Sayang, bagaimana menurutmu tentang saran dokter tadi?" Aku mengemudi sambil melirik Maura yang masih memegangi kertas hasil tes kami.

"Hasil pemeriksaan sudah menyatakan kalau kita berdua ini sehat, Mas. Jadi, menurutku nggak perlu deh untuk program bayi tabung segala. Aku akan sabar menunggu hingga Allah memberikan amanah itu kepada kita, Mas,"jawab Maura pelan.

"Tapi, tidak ada salahnya juga kalau kita berikhtiar, kan, Maura? Secara agama, bayi tabung itu juga diperbolehkan, kok. Asal sel spermanya memang dari suami yang sah dan rahimnya juga milik istri sendiri." Aku masih mencoba untuk membujuk Maura.

Ini tahun kedua pernikahan kami. Setahun pertama, aku masih bisa bersabar dengan belum adanya tanda-tanda kehamilan di dirinya. Namun, menginjak tahun kedua, beban moral terasa makin berat. Tidak hanya kewalahan menghadapi pertanyaan kapan punya anak, tetapi juga tuduhan kalau salah satu dari kami ini pastilah mandul.

"Aku tetap ingin cara yang alami, Mas. Allah selalu memberi karunia di waktu yang paling tepat. Dan kriteria tepat itu sering kali berbeda dengan kriteria kita, lho." Maura tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

"Terus, waktu yang paling tepat itu kapan?" Aku mendengkus kesal.

"Ketika kita sudah benar-benar siap, itulah waktu yang paling tepat menurut Tuhan, Mas. Kalau sampai sekarang kita belum juga diberi karunia, sedangkan kita berdua dinyatakan sama-sama sehat, mungkin ada hal-hal yang kita perlu introspeksi diri deh, Mas. Mungkin ada sesuatu yang salah atau perlu diperbaiki." Maura menyimpan kertas tadi ke dalam tas.

"Contohnya?" Aku ingin tahu, ke mana sebenarnya arah pembicaraan Maura.

"Maura juga nggak tahu, Mas. Kita perlu merenung sambil terus memohon ampun. Semoga Allah kasih lihat sama kita, mana-mana yang perlu diperbaiki." Dia masih saja bersikukuh.

"Jangan terlalu idealis begitulah, Maura. Kita ini sudah satu tahun lebih menunggu. Ayolah!" Aku tetap memohon, meski tatapan tetap tertuju pada jalanan di depan sana.

"Gimana kalau kita nunggu dulu? Jika satu tahun dari sekarang aku belum hamil juga, baru kita lakukan program bayi tabung itu, Mas. Nah, setahun ini kita maksimalkan doa dan ikhtiar secara alami."

"Satu tahun itu lama, Maura." Mana mungkin aku menunggu lagi. Usia terus bertambah. Aku juga merasa sepi di rumah. Kalau pulang kerja ada yang menyambut dengan ceria, kan menyenangkan.

"Please, Mas." Maura mengatupkan kedua tangan dengan tatapan memelas.

Kalau sudah seperti ini, aku mana bisa melawan. Hati pasti luluh seketika. Sepasang mata teduh yang mampu meredam segala ricuh, jelas tidak bisa aku lawan.

"Oke. Satu tahun, ya." Aku akhirnya mengalah. Aku mengembuskan napas berat. Sedikit tidak rela sebenarnya, tetapi mau bagaimana lagi?

"Oke. Makasih banyak ya, Mas. Kita kencengin doanya. Semoga dalam waktu dekat ini aku bisa segera hamil." Maura tampak bahagia. Wajahnya jadi lebih ceria.

"Amin. Selalu, Maura. Mas tidak pernah berhenti berdoa. Berarti ... kita lembur ya tiap malam? Kan, kita harus ikhtiar." Aku sengaja menggoda.

Maura hanya tertunduk malu. Wanita dengan hijab lebar ini memang sangat menggemaskan. Meski sudah setahun lebih menikah, dia masih saja malu kalau aku membahas soal surga dunia. Padahal, itu kan hal yang biasa untuk pasangan suami istri. Yang belum menikah saja, kadang tanpa risih membicarakan tentang hal itu.

Sifat kami memang jauh berbeda. Aku cenderung blak-blakan mengutarakan segala sesuatu, sementara dia jauh lebih tertutup, sama seperti caranya berpakaian. Mungkin karena dia seorang wanita, salihah pula.

Dia tidak punya banyak teman. Hanya segelintir saja. Kalau aku, jangan ditanya. Wajar. Karyawan menghabiskan waktunya untuk bekerja dan kami para pengusaha menghabiskan waktu untuk menjaring relasi. Apalagi, bisnis yang aku jalankan itu di bidang hospitality. Makin banyak teman, tentu akan makin banyak pelanggan.

Aku dan Maura berkenalan di masa akhir perkuliahan. Tanpa sengaja, aku yang sedang memanjakan mata ke sebuah mal, bertemu dengan salah satu teman sejurusan. Dia sedang bersama Maura saat itu. Mereka satu indekos.

Aura kedamaian yang Maura bawa, langsung membuatku terpesona. Cinta pada pandangan pertama? Tidak juga. Sampai saat ini, aku bahkan belum bisa mencintai dia sedikit pun. Yang ada hanya rasa nyaman, tenang, dan damai. Itu saja, sih. Tidak lebih.

Apa mungkin hal ini yang menjadi alasan bagi Tuhan untuk belum memberi kami anak? Aku menikah memang bukan berdasarkan cinta. Bisa dikata ... butuh menikah saja. Celakanya, Maura mau-mau saja ketika kuajak menikah.

Setelah sampai di depan rumah dan memastikan Maura masuk, aku putar balik dan kembali ke hotel yang sudah kurintis sejak lulus kuliah. Di sanalah aku menghabiskan banyak waktu. Terkadang, Maura menyusul ke sana, sekadar untuk makan siang bersama.

"Bu Amala di mana?" tanyaku pada resepsionis ketika tiba di hotel.

"Lagi di hall, Pak."

"Oke. Saya ke sana saja."

Ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Bu Amala, GM hotel. Setidaknya, kami bisa berdiskusi sambil memantau persiapan resepsi nanti malam. Ada anak pejabat yang mengadakan pesta pernikahan di aula kami. Jadi, dia pasti sangat sibuk.

Baru beberapa langkah menjejakkan kaki di aula, mataku terpaku pada satu sosok yang kini juga tengah menatap ke arahku. Langkah langsung terhenti. Aku mematung bagai arca Dwarapala. Oh, my God!

"Alissa?"

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Freddy San

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku