"Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang kan? Cukup sekali, enggak ada dua kali!" lirih Dewi, istriku. "Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan! Ini juga tiket bioskop?" Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan, namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
"Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang 'kan. Cukup sekali, enggak ada dua kali," lirih Dewi, istriku.
"Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan. Ini juga tiket bioskop." Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan. Namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
"Aku bisa jelaskan."
"CUKUP!!!" Dewi baru saja meninggikan suaranya dan itu membuat aku cukup terkejut, untuk pertama kali wanita yang biasanya bersikap lemah lembut hari ini mulai berani menunjukkan emosinya. Seketika dia menangkupkan wajah. Dia bersandar pada dinding ruang tamu. Bahunya berguncang hebat. Tangis yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah juga. Aku mencoba merangkulnya namun ia seolah memberi jarak, dengan mendorong dadaku dengan tangannya. Satu gelengan pelan darinya aku dibuat malu bukan main. Dewi tampak mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan, sejenak dia menengadahkan pandangannya, menatap langit-langit rumah.
"Wi, kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Katakan berapa kali?"
"Apanya yang berapa kali, Wi?" Aku segera meraih tangannya.
"Apa kurangnya aku, Mas? Kurang cantik, sexi atau kurang liar, hah? Jawab, jangan diam saja!"
"Wi, oke aku mengaku aku salah."
"Dua kali kamu lakukan itu ke aku Mas, jelas itu salah. Sekarang kamu mau mengelak lagi. Bilang kalau semua itu khilaf, iya 'kan?" Aku terdiam, jujur saja aku bingung.
"Tega kamu."
"Wi, kita bicara sambil duduk ya, biar kamu lebih tenang."
"Aku ini punya perasaan Mas, sakit aku diperlakukan seperti ini. Aku bisa terima kamu sakiti, tapi anak-anak ... bisa-bisanya kamu pergi senang-senang sama pelacur padahal anak kamu lagi di rawat di rumah sakit."
"Dia bukan pelacur, Wi."
"Ya terus apa namanya kalau bukan pelacur?"
"Ya ampun, istigfar Wi." Bukannya melafalkan istigfar, Dewi malah tersenyum, lalu dia justru menertawakan dirinya sendiri.
"Jangan begini, Wi." Itu benar-benar menakutkan. Aku tahu di kecewa, tapi keempat anak kita masih sangat membutuhkan Ibunya.
"Ingat kamu sama Tuhan, waktu selingkuh ingat, enggak? Yang perlu istighfar itu kamu Mas, bukan aku!" Lantas Dewi pergi begitu saja, meninggalkan aku yang kebingungan. Entah tindakan apa yang akan dia ambil ke depannya. Sekarang, melihatnya tertawa seraya menangis secara bersamaan. Aku merasa tak tenang, takut kalau Dewi bisa saja berbuat nekat. Bukankah orang bilang, orang yang pendiam justru sering kali lebih berbahaya dalam caranya meluapkan emosi. Tanpa pikir panjang aku gegas menyusul Dewi yang pergi ke dapur. Ya Tuhan, jangan-jangan dia mau bunuh diri.
"Dewi!" Aku berteriak sekencangnya. Membuat Dewi seketika membalikkan badan menatapku.
"Kenapa? Kamu pikir aku mau bun*h diri?"
"Aku cuma khawatir kamu berbuat nekat Wi, Apa lagi yang ada di tangan kamu sekarang. Pisau itu, bukannya akan lebih baik kalau di simpan saja?" Melihat Dewi memegang pisau seperti itu, bagiku hal itu cukup mengerikan.
"Kenapa aku yang harus mati Mas, kamu yang salah!" katanya.
"Wi, kamu enggak berpikir buat membunuh aku 'kan?" Bukannya menjawab Dewi hanya menatapku saja.
"Mah, Pah lagi apa sih malam-malam di dapur? Pakai teriak-teriak segala. Aku kira Mamah kenapa-kenapa," kata Rafa, putra sulungku. Umurnya menginjak 10 tahun.
"Mamah habis menangis, ya?" tanyanya. Entah kenapa dari tadi Dewi hanya diam menatap kami bergantian.
"Papah sama Mamah berantem?"
"Enggak Sayang, Mamah cuma kena sabun aja tadi,. Kamu mending balik saja ke kamar. Mamah sama Papah baik-baik saja kok."
"Bener, Mah?" Rafa kembali memastikan. Namun, respons Dewi masih sama. Hanya menatap Rafa tanpa peduli apa yang anak kecil itu katakan.
"Mamah kenapa sih?" Rafa yang penasaran malah mendekat.
"Rafa kamu masuk ke kamar ya, biar Mamah, Papah saja yang urus."
"Enggak ah, apa yang sudah Papah lakukan ke Mamah?" Rafa justru berbalik menatap tajam ke arahku.
"Papah kalau terus nyakitin Mamah. Enggak usah pulang deh, pergi aja yang jauh!" teriak Rafa. Dari mana dia belajar kata-kata seperti itu? Sungguh aku terlonjak dibuatnya. Perlahan sulungku menarik Dewi. Mereka berjalan beriringan menaiki tangga ,lalu begitu sampai ke atas, sekali lagi aku kembali dibuat heran dengan perlakuan Rafa yang melarangku masuk ke kamar.
"Papah enggak usah dekati Mamah lagi!" tegasnya.
Aku melirik Dewi sekilas berharap ia mau memberikan sedikit saja pembelaan padaku, namun nyatanya dia seakan tak peduli pada sekitar. Mata kami bertemu dalam sesaat namun tatapannya padaku begitu dingin dan datar. Layaknya orang yang tak punya gairah hidup. Ini mulai tak beres.
"Biarkan Papah bicara sama Mamah!"
"Enggak," tegasnya dengan sedikit kasar.
"Kamu masih anak-anak, enggak mengerti urusan orang tua." Aku melepaskan lengan mereka yang saling menggenggam. Seraya terus mencoba mengajak Dewi bicara, namun sayang usahaku tak membuahkan hasil.
"Ini semua gara-gara Papah."
"Kamu bisa diam enggak, mending kamu masuk kamar! Papah bilang kamu masuk!" Aku kalap waktu itu. Hingga sampai hati membentak Rafa yang jelas hanya mencoba membela Mamahnya. Namun, reaksi Dewi di luar dugaan. Dia menarik lengan Rafa, menyembunyikan di belakang tubuhnya, lalu beralih menatapku masih dengan tatapan dinginnya.
"Aku yang pergi atau kamu?"
"Enggak bisa begitu, nanti anak-anak mau ikut siapa? Cobalah berpikir jernih anak kita sudah empat, pisah itu bukan solusi."
"Harusnya kamu yang berpikir jernih, Mas! Oke kalau begitu biar aku dan anak-anak yang pergi kamu bisa tinggal di sini! Bawa sekalian perempuan itu ke sini, jadi ke depannya kamu enggak perlu keluar biaya untuk penginapan."
"Wi, bagaimana bisa kamu membicarakan hal itu di depan anak-anak?"
"Asal Papah tahu, di sekolah aku dibuli gara-gara Papah! Aku malu punya Papah tukang selingkuh! Aku enggak punya Mamah dua! Hmm Aaaaa." Rafa tiba-tiba saja mendorong tubuhku hingga hampir saja terjungkal. Dewi hanya menatap nanar ke arah anaknya yang berlari ke arah kamar.
Bab 1 Kamu Selingkuh, Mas
22/01/2022
Bab 2 Suprise
18/02/2022
Bab 3 Habislah Aku
18/02/2022
Bab 4 Ketahuan
18/02/2022
Bab 5 Sakit Apa
18/02/2022
Bab 6 Pukul Lagi, Pah!
18/02/2022
Bab 7 Pisang Goreng
18/02/2022
Bab 8 Rafa Berulah
18/02/2022
Bab 9 Satu Kamar
18/02/2022
Bab 10 Susu Basi
18/02/2022
Bab 11 Yuri yang Malang
18/02/2022
Bab 12 Kemarahan Dewi
18/02/2022
Bab 13 Kehilangan
18/02/2022
Bab 14 Pria Misterius
18/02/2022
Bab 15 Digrebek
18/02/2022
Bab 16 Jadi Aku ini Egois
23/02/2022
Bab 17 Kekecewaan Rafa
23/02/2022
Bab 18 Penyakit Apa
23/02/2022
Bab 19 Menertawakan Diri
23/02/2022
Bab 20 Tinggal Kenangan
23/02/2022
Bab 21 Kabar Baik
23/02/2022
Bab 22 Menjijikan
15/03/2022
Bab 23 Bagaimana Bisa Mereka Begitu Akrab
15/03/2022
Bab 24 Jangan Mimpi
16/03/2022
Bab 25 3 Milyar
16/03/2022
Bab 26 Makanan
16/03/2022
Bab 27 Dia Masih Istriku!
16/03/2022
Bab 28 Dewi yang Begitu Keras Kepala
16/03/2022
Bab 29 Tanggung Sendiri Akibatnya
16/03/2022
Bab 30 Bukankah Menyenangkan
16/03/2022
Bab 31 Untuk Apa Mempertaruhkan Hidup
16/03/2022
Bab 32 Aku Gagal Lagi
16/03/2022
Bab 33 Arum yang Malang
16/03/2022
Bab 34 Kenapa Banyak Sekali Orang Asing
16/03/2022
Bab 35 Untuk yang Terakhir Kali
16/03/2022
Buku lain oleh Eria Yurika
Selebihnya