icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Ketika Suami Mulai Bosan

Ketika Suami Mulai Bosan

Eria Yurika

4.8
Komentar
3.8K
Penayangan
64
Bab

Tak ada cinya yang sempurna. Kadarnya berubag setiap waktu, kadang menjulang tinggi sampai ke langit, tetapi tak jarang rasa bosan menyapa. Menurunkan kadarnya hingga ke dasar bumi. Tugas kita menjaganya tetap hangat agar rasa itu tetap tinggak, meski gairahnya mulai pudar perlahan. Memupuk kembali rasa yang hampir mati, menghujaninya dengan untaian doa, berharap Tuhan mau mencampuri urusan kami. Menumbuhkan kembami rasa cinta pada dua insan yang dilema, antara bertahan atau pergi mencari tempat baru.

Bab 1 Bosan

“Dik, memangnya enggak bisa kalau rumah sehari saja enggak berantakan?” Rasanya kepalaku ingin pecah setiap kali pulang ke rumah. Selalu saja disuguhkan pemandangan seisi rumah yang porak-poranda seperti diterjang angin puting beliung. Mainan gelas plastik semuanya tercecer di lantai. Darahku pun rasanya ikut naik ke kepala. Lagi-lagi harus menahan emosi mati-matian agar tidak sampai meledak. Mengingat anak-anakku yang pasti akan ikut menangis kalau sampai itu terjadi.

Bukannya menyelesaikan masalah malah kepalaku bertambah pening mendengar tangisan mereka yang tidak pernah usai hingga larut malam.

“Maaf nanti adik bereskan ya, mau makan Bang?” tawar Nisa, istriku.

“Maulah pakai tanya!” sungutku kesal. Hari ini rasanya kesabaranku telah habis melihat penampilannya yang acak-acakan di tambah bau pesing yang menyeruak masuk ke indra penciuman, membuatku tidak lagi bisa menahan emosi yang terlanjur naik.

“Astaghfirrullah Bang,” lirih Nisa pelan. Namun, masih sampai ke pendengaran. Dia menatap nanar, tetapi aku mengabaikannya begitu saja memilih meneruskan langkah menuju sofa empuk di ruang tamu kami. Kulemparkan tas kerjaku dengan kasar ke meja hingga menimbulkan bunyi cukup keras. Nisa tampak mengusap dadanya perlahan. Ketika pandangan kami bertemu dia paksakan bibirnya untuk tersenyum menyambutku sedang aku hanya tersenyum kecut ke arahnya. Sampai aku menyadari raut mukanya tiba-tiba berubah sendu, ada kesedihan di sana. Mungkin selama ini aku terlalu memanjakannya sehingga baru sedikit membentak, dia bisa terlihat begitu menyedihkan. Rasanya muak. Istriku yang dulu menarik hati kenapa sekarang begitu membuatku kesal hingga tidak betah lama-lama di rumah?

Kuhempaskan bobot tubuh di kursi, meraup wajahku dengan kasar, mencoba menstabilkan amarah yang mulai memuncak. Aku bosan. Rumah tangga yang kujalani selama 15 tahun terakhir ini kenapa rasanya hampa? Tidak ada lagi gairah. Tidak pernah kurasakan lagi sesuatu yang berdenyut di dalam hati. Apa lagi sejak Nisa melahirkan Khalid dia tidak pernah mau kusentuh selalu saja beralasan belum siap padahal masa nifasnya pun sudah selesai. Pernah kupaksakan meminta hakku, yang terjadi dia malah merintih di bibir ranjang, seolah aku ini orang asing yang berusaha menjamah tubuhnya, padahal aku belum menyentuhnya sama sekali. Tidak sampai hati aku melakukannya melihat Nisa yang ketakutan hingga wajahnya memucat membuat hasratku lenyap seketika.

“Mas ayo makan!” Suara Nisa kembali terdengar seolah menarikku kembali pada kenyataan.

“Ya sudah siapkanlah sana!” sungutku kasar. Tidak ada jawaban hanya rautnya yang berubah sendu.

“Itu makanannya sudah di meja.” Benarkah? Gegas kulirik meja di depanku. Benar, di situ ada piring lengkap dengan lauk pauknya. Nisa masih saja berdiri mematung di tempatnya, membuatku kesal saja.

“Ya sudah sana, beresin mainannya!” Nisa sedikit tersentak mungkin karena nada bicaraku yang mulai meninggi. Hingga anak-anak yang sedari tadi berteriak berebut mainan pun mendadak diam. Pandangan mereka kini beralih padaku. Melihat ekspresi mereka yang ketakutan. Kupaksakan tersenyum pada Reina dan Raina meskipun jengkel di hatiku terus menjalar.

“Mamah!” teriak anak-anak. Mereka menjerit sembari berlarian ke sana ke mari. Sayangnya karena mainan yang berserakan di lantai akhirnya membuat Kembar terjatuh. Nisa berlari membangunkan dua balita yang menangis kencang. Dua-duanya meminta untuk digendong. Bobot mereka yang lumayan berat tentu saja membuat Nisa kewalahan. Kutinggalkan piring makan yang tentu belum sempat tersentuh sama sekali. Kuangkat Reina ke dalam gendongan, tangisnya mulai mereda perlahan begitu pun dengan Raina. Mereka kembali melanjutkan aktivitasnya bermain. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tetapi mereka belum juga lelah padahal aku yakin Kembar telah bermain sejak pagi.

“Apa sih yang kamu lakukan seharian? Sudah ada asisten rumah tangga pun rumah masih saja berantakan."

“Khalid lagi rewel.”

“Ah Khalid terus yang kamu pikirkan. Ya sudah sana bereskan! Jangan sampai anak-anakmu yang lain enggak terurus cuma gara-gara Khalid.”

“Astaghfirrullah, dia juga anak kita. Wajar kalau perhatianku lebih banyak ke Khalid. Dia masih bayi.”

“Ya sudah terserah!” Aku bergegas pergi ke lantai atas ingin segera membaringkan tubuh yang dari tadi sudah berteriak minta diistirahatkan. Mengabaikan Nisa dan anak-anak yang masih sibuk dengan mainannya.

~

Keesokan harinya aku pergi ke kantor seperti biasa. kebetulan sepulang kerja ada acara makan-makan. Salah satu staf ada yang baru diangkat karyawan karenanya kami semua di traktir Cafe Lavanda. Jaraknya tidak jauh dari rumahku jadi sekalian saja aku ikut serta. Sebenarnya aku tidak terbiasa pergi ke acara seperti ini. Bagiku hanya buang-buang waktu tetapi tidak ada salahnya juga kalau kucoba kali ini. Dari pada pulang ke rumah yang hanya membuatku naik darah.

“Eh liat Si Santi anak magang yang baru, cantik ya?” Fredi memulai percakapan di antara kami.

“Lumayan, mau enggak ya jadi bini ke dua.” Haris ikut menimpali sembari terkekeh kecil.

Santi, memang cantik tetapi dia terlalu muda bukan seleraku juga. Aku hanya diam menyaksikan rekan kerjaku yang beradu argumen.

“Gila, mana mau sama aki-aki bau tanah." timpal Fredi.

“Walaupun begini gue masih bugar. Kalau dilihat-lihat Santi enggak alim-alim amat. Gue sering lihat kalau lagi digoda sama Haikal, langsung salah tingkah," ujar Haris.

“Jeli juga mata lu, Ris.”

“Lihat saja pakaiannya. Kucing dikasih ikan ya dimakan,” ucap Haris seraya tertawa cukup keras. Tawa kami pun pecah. Seakan-akan kami semua ikut terpapar virus tengil yang dibawa Haris. Saat itu pakaian Santi memang terbilang cukup berani. Setelan kemeja dengan rok ketat di atas lutut. Tentu saja mampu menghipnotis pria hidung belang macam dua temanku ini.

“Dia masih jomblo loh, Bos Wan,” tawar Haris padaku.

“Iya itu Bos, kasih ceramah dikit pasti boleh poligami,” tambah Fredi. Belum juga kujawab tawaran Haris dia sudah menyambar lebih dahulu.

“Gila lu Fred, jangan bawa-bawa agamalah enggak lucu.'' Haris langsung menunjukkan ekspresi tidak sukanya.

“Bukan selera gue.” jawabku asal. Meski aku atasan mereka tapi di luar kantor kami sudah terbiasa mengobrol seperti ini. Haris dan Fredi seangkatan denganku. Nasib baik lebih berpihak padaku. Tiga tahun lalu aku diangkat menjadi kepala cabang.

“Munafik lu, coba perhatikan baik-baik.” Bukannya kapok Fredi malah tambah nekat. Aku pun refleks memutar bola mata. Seketika pandangan mata kami bertemu. Santi tiba-tiba melempar senyum sedang aku hanya mengangguk canggung.

“Yakin enggak mau?” tawar Fredi lagi.

“Cantik sih,” lirihku. Entah masih terdengar oleh mereka atau tidak.

“Cewek kayak begitu biasanya agresif. Dijamin enggak bakal bosan. Percaya sama gue!”

“Beda sama Nisa yang enggak punya inisiatif.” Astaga aku malah kelepasan mengatakan itu.

“Bagaimana maksudnya, Nisa membosankan begitu?” Haris sepertinya cukup terkejut. Matanya membelalak.

“Ya begitulah. Gue mulai jenuh. Sudah enggak pandai merawat diri, rumah pun selalu berantakan bikin enggak betah.”

“Ya sudah jadikanlah itu Santi bini muda!” Si Fredi ini lagi-lagi menyuruhku mendekati Santi. Kembali pandanganku beralih pada Santi. Gadis ini, entah kenapa aku merasa dia terus memperhatikanku. Dia terus saja tersenyum membuat dadaku berdebar tidak karuan.

“Jangan begitu Bos, ingat Nisa baru saja melahirkan. Wajarlah menurut gue. Apalagi Si Kembar masih kecil-kecil.” Nada bicara Haris terdengar lebih serius.

“Di rumah sudah disediakan Asisten Rumah Tangga masa iya masih kewalahan?”

“Biarkan saja, pasti maulah dimadu secara Nisa kan salihah.” Fredi kali ini memainkan alisnya seolah meminta pembenaran atas pendapatnya. Nisa memang istri yang sempurna. Namun benarkah dia mau jika dipoligami?

“Enggak usah ikut-ikutan Fredi Bos, kasihan Nisa,” ucap Haris sembari menepuk pelan pundakku.

“Bukan itu saja masalahnya Ris, selera Nisa itu kuno banget anak-anak saja sampai ikutan ketinggalan jaman.”

“Lu itu cuma bosan Bos. Ajak istri jalan-jalan bukan malah cari yang baru,” ucap Haris yang malah menasihatiku.

“Ah enggak asyik lu, Ris.” Fredi pun langsung berlalu dari hadapan kami.

Hari semakin larut anak-anak masih belum juga mau pulang. Selesai makan-makan malah mau lanjut karaoke. Sungguh aku tidak terbiasa berada dalam keramaian seperti ini. Bagiku sepi dan senyap adalah tempat ternyaman untuk tinggal. Keramaian seperti ini hanya mendatangkan kesenangan sesaat. Berbeda dengan kesunyian hadirnya mampu menenangkan jiwa selamanya. Kuputuskan untuk pulang lebih dulu. Tidak enak juga dengan Nisa takut dia menungguku, karena terlalu asyik aku sampai lupa memberinya kabar.

Niat hati ingin sedikit berdamai dengan Nisa. Baru saja membuka pintu sudah disambut dengan kondisi rumah yang seperti kapal pecah. Apa Nisa juga tidak sempat menyalakan lampu. Sudah selarut ini dibiarkan gelap gulita. Kutekan saklar lampu hingga seketika membuat ruangan menjadi terang benderang. Mataku terbelalak menatap keadaan kamar yang sedikit berbeda. Ada tulisan “SELAMAT ULANG TAHUN PAPAH TERSAYANG” terpampang di tembok serta banyak balon berbentuk hati di mana-mana.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Eria Yurika

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku