Renata memperhatikan kedua netra Adrian yang tampak sendu. "Kamu ada masalah apa lagi sama Mika?" "Jangan bahas dia dulu, bisa?" Memaksakan diri berhubungan dengan Mika, perempuan pilihan orang tua membuat Adrian sedikit tertekan. "But ... why? I just wanna know." Alih-alih menjawab, Adrian justru membalas tatapan lekat Renata dan mendekatkan wajahnya. "I have nothing important to tell. I just need you tonight." "Adrian, mmhhh ...." Adrian membungkam Renata dengan kecupan lembut di bibir tipis sahabatnya, tapi tidak lama hingga Renata mendorong dada bidang Adrian. "Temenin aku malem ini." Adrian kembali mengecup bibir Renata dengan ganas. Renata yang telah bersusah payah memendam rasa pada Adrian, pada akhirnya tergoda saat lelaki itu mulai melancarkan aksinya. Apakah Renata akan membuka hati untuk Adrian atau membiarkan sahabatnya tetap bersama Mika, sementara Adrian telah mengambil keperawanannya? Image source : Couple Photo by : Canva Pro :edite By Dhanz
"Adriaaan ... kamu pulang aja, gih! Aku
capek banget hari ini. Pengen tidur
cepet" ulang Renata, entah sudah ke
berapa kalinya.
Sementara Adrian, sahabat kecil Renata
itu masih merebah di sofa dengan
santainya. Dia sengaja abai dengan apa
pun kalimat yang sudah dilontarkan
Renata, seolah perempuan itu tidak
mengatakan apa-apa.
Renata mendesah lelah, lalu dengan
cepat mengempaskan badannya di
sofa
yang kosong. Dia kesal dengan sikap
Adrian yang selalu seenaknya sendiri.
"Adrian, do you hear me? Aku ngomong
sama kamu loh, udah dari setengah jar
yang lalu, tapi kamu masih diem aja di
situ dengan santainya. Kamu tuh lagi di
apartemen aku loh, Adrian. Enggak lucu
banget kalau Jovan tiba-tiba dateng.
Kamu tahu sendiri 'kan, kalau dia engga
begitu respect sama kamu?" tutur Renata
panjang lebar.
Adrian bergerak cepat, berpindah tempat,
tepat di samping Renata dan
menyandarkan kepala pada bahu
sahabatnya.
"Kamu kenapa, sih?" tanya Renata yang
penasaran dengan diamnya Adrian. "Apa
kamu lagi ada masalah sama Mika?"
"Jangan bahas dia sekarang, oke?" pinta
Adrian setengah berbisik di telinga
Renata.
"Enggak ada salahnya aku tanya gitu
kalau kamu masih anggep aku sebagai
sahabat kamu' tegas Renata.
"Mana ada sahabat yang tega ngusir
sahabatnya sendiri?" tukas Adrian
dengan cepat sembari bergelayut manja
di bahu Renata.
Ya Tuhan, demi apa? Renata sudah mati-
matian membunuh rasa yang pernah ada
untuk lelaki di sampingnya itu dengan
alasan tidak ingin merusak persahabatan
yang terjalin di antara mereka. Bahkan,
Renata telah bersusah payah pula
membuka hati untuk Jovan-kekasihnya
-yang saat ini sedang ada tugas kerja di
luar negeri.
Namun, jika Adrian saja masih bersikap
seperti itu terhadap Renata meski dia
sudah memiliki perempuan yang
digadang-gadang keluarganya sebagai
calon istri, apa iya, Renata masih harus
menanggapi sikap manja Adrian padanya
yang belum juga bisa hilang sejak lama?
"Gini ya, Adrian. Masalahnya, hari ini aku
capek banget. Banyak pesenan masuk,
sementara dua pegawai aku tuh izin
karna ada acara penting barengan. Jadi
aku butuh istirahat sekarang" desis
Renata sambil mencubit pipi Adrian
karena merasa kesal.
"Aduh! Sakit, Baby. Kamu jangan kasar
gitu, kenapa?" protes Adrian yang sontak
mengangkat kepalanya dari bahu Renata.
Mau tidak mau, Renata terkikik melihat
raut lucu Adrian saat menunjukkan rasa
sakit sekaligus rasa kesalnya. "Sorry,
sorry. Emang sakit banget, ya? Sampai
merah gitu pipi kamu' ujar Renata sambil
mendekati Adrian dan memperhatikan
warna merah yang tercetak jelas di wajah
putih sahabatnya.
"Aku tahu kamu capek body. That sucks!
Tapi asal kamu tahu, Rena. Aku juga lagi
capek. Capek hati."
"Serius, kamu?" Renata memperhatikan
kedua netra Adrian yang tampak sendu.
"Kamu ada masalah apa lagi sih, sama
Mika?"
"Jangan bahas dia dulu, bisa?"
Memaksakan diri berhubungan dengan
Mika, perempuan pilihan orang tua
membuat Adrian sedikit tertekan.
"But ... why? I just wanna know."
Alih-alih menjawab, Adrian justru
membalas tatapan lekat Renata dan
mendekatkan wajahnya. "I have nothing
important to tell. I just need you tonight."
"Adrian, mmhhh ..."
Adrian membungkam Renata dengan
kecupan lembut di bibir tipis sahabatnya,
tetapi tidak lama hingga Renata
mendorong dada bidang Adrian.
"Temenin aku malem ini" Adrian kembali
mengecup bibir Renata dengan ganas.
Renata tidak bisa memungkiri bahwa
kecupan lembut Adrian adalah satu-
satunya kecupan yang bisa dia nikmati.
Yah, Renata tidak pernah bisa
membohongi diri bahwa dia selalu
merasa biasa saja saat menyatukan
bibirnya dengan Jovan. Namun, entah
kenapa rasanya begitu berbeda saat
bibirnya bertemu dengan bibir lembut
Adrian.
"Stop, Adrian! Don't be crazy!" Renata
kembali mendorong dada bidang Adrian.
"Kita enggak boleh lakuin ini."
"Kenapa enggak? Aku maunya sama
kamu." Adrian melingkarkan kedua
tangannya di pinggang ramping Renata
dengan setengah memaksa.
"Kamu jangan ngacau, Adrian! Kita
enggak boleh kayak gini. Aku enggak
mau kalau sampai Jovan sama Mika
tahu, mereka pasti bakal kecewa."
Renata masih bertahan dengan akal
sehatnya.
"Mereka enggak perlu tahu!" Adrian
menyahut dengan santai. "Cukup kita aja
yang tahu, Rena. Please" pintanya
dengan sangat.
Renata terdiam. Rasa tidak enak
mendadak berkecamuk dalam dada.
Perempuan itu tidak pernah bisa
membohongi diri bahwa selama ini, rasa
cintanya pada Adrian tidak pernah redup
sedikit pun meski telah ada sosok Jovan
yang menjadi kekasihnya.
Pun dengan Adrian. Dia yang bodoh,
menerima begitu saja perjodohan dari
orang tuanya dengan dorongan Renata
hanya karena tidak ingin persahabatan
mereka rusak karena adanya cinta di
antara mereka.
Renata terdiam, tidak menyangka Adrian
akan punya pemikiran seperti yang baru
saja dia katakan. Perempuan itu bingung
bagaimana harus mengambil sikap.
Ingin menolak, tapi pada kenyataannya,
hati yang dimiliki Renata telah lama
diambil Adrian. Sedangkan Jovan? Dia
adalah lelaki yang terpaksa diterimanya
sebagai kekasih atas usahanya untuk
menghapus nama Adrian dari dalam
lubuk hati yang paling dalam.
"Kita emang udah punya jalan masing-
masing, Rena. Tapi apa enggak bisa
kalau kita tetap bersama? Terutama
kalau aku lagi kalut kayak gini, aku
enggak tahu harus cari siapa kalau
bukan kamu," aku Adrian.
Renata mendesah lelah, lantas menoleh
ke arah Adrian yang masih terduduk di
sampingnya, menatapnya dengan
tatapan sendu.
"Ya udah, kalau emang kamu suntuk di
rumah dan enggak pengen pulang, kamu
boleh nginep di sini malem ini. But
without touching each other. Gimana?"
Renata mengambil keputusan sepihak.
Dia tidak tega jika harus terus memaksa
Adrian untuk pulang, karena memang
tidak ada tanda-tanda sedikit pun dari
Adrian untuk segera pergi dari
apartemennya.
Adrian terdiam cukup lama sambil terus
menatap lekat kedua netra sahabatnya.
Akan tetapi, isi di kepala menolak apa
yang diminta Renata.
"Aku enggak bisa, Rena. I want you." bisik
Adrian yang sontak mendekatkan dirinya
dengan Renata dan mengungkung
perempuan itu hingga punggungnya
menekan sandaran sofa. tidak bisa
berkutik sedikitpun.
"Adrian, kamu jangan macem-macem!
Kamu... mmmhhh...."
Adrian membungkam bibir Renata
dengan cepat dan panas, hasratnya
begitu menggebu dan tidak sedikit pun
membiarkan Renata lepas dari
kungkungannya.
"Adrian... stop it!" racau Renata yang
tidak bisa melawan karena tubuh Adrian
telah menindihnya, sedang bibir lelaki itu
terus menghujani leher dengan tanda
cinta yang dipastikan, tidak akan pernah
bisa dilupakan karena memang baru
pertama kalinya bagi mereka.
"Jangan, Adrian lirih Renata dengan
cairan hangat yang telah menggenang di
pelupuk mata. Bukan karena sentuhan
yang dilakukan Adrian, melainkan karena
luka baru yang kemungkinan akan
datang menambah deretan luka dalam
hatinya karena selalu berusaha
membohongi diri dengan perasaannya
terhadap Adrian.
Adrian melepas satu per satu kancing
kemeja yang melekat pada tubuh Renata,
hingga bisa terlihat jelas dua padatan
yang tidak cukup digenggam hanya
dengan satu tangan saja. Lelaki itu
kembali menghujani leher sahabatnya
dengan kecupan panas yang semakin
lama semakin turun pada kedua padatan
besar yang menantang di hadapan.
Sama sekali tidak dihiraukannya Renata
yang melenguh bersamaan dengan
luruhnya air mata yang menghiasi wajah
cantik perempuan itu.
"Kamu tenang aja, rahasia ini cuma kita
yang tahu." Adrian kembali bersuara
sambil melepas pengait kain yang
menutup dada Renata, lalu mulai
memainkan puncak yang telah
mengeras sempurna.