Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terjerat Gairah Berbahaya

Terjerat Gairah Berbahaya

Lasmal

5.0
Komentar
1.2K
Penayangan
14
Bab

Demi menyelamatkan nama keluarganya, Melati terpaksa menggantikan kakaknya yang lari dari perjodohan yang dibuat oleh kedua orang tua. Melati sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan gila itu. Di malam pertemuan keluarga, wanita itu terkejut kalau ternyata pria yang dijodohkan dengannya adalah pria menyebalkan yang membuat hidupnya sial. Pria itu bernama Arya Dwicandra, seorang direktur tempat dia bekerja. Pria yang memiliki banyak rahasia dalam hidupnya itu selalu menganggap Melati sebuah kesialan yang sudah merusak semua mimpi-mimpinya. Begitu juga sebaliknya, melati menganggap Arya sebagai mimpi buruk. Mampukah keduanya mempertahankan rumah tangga tanpa adanya ikatan cinta satu sama lain? Akankah ada keajaiban yang menuntun mereka untuk saling menyayangi?

Bab 1 Direktur Sombong

Si pengacara cantik tengah meninjau lokasi tanah yang sedang dijadikan perkara, wanita itu bernama Melati Widya Hutama. Beberapa warga merasa keberatan untuk melepaskan tanahnya karena sudah menjadi tempat meraup rezeki untuk mereka. Sebagai pengacara yang memiliki hati nurani, membuat wanita itu memasang dada melawan orang-orang yang menindas kaum lemah.

Ditengah perbincanganya dengan para warga. Tiba-tiba mobil sedan berwarna hitam hati berhenti di kerumunan itu. Ada dua mobil lain yang mengikutinya dari belakang.

Seorang pria bertinggi 180 sentimeter keluar dari kendaraan roda empat itu. Lalu seketika melepas kacamata hitamnya. Dia adalah perwakilan dari Dwitama Group, perusahaan yang ingin membangun cabang di lokasi tersebut. Pria tampan itu bernama Arya Dwicandra, putra sulung dari keluarga Dwicandra.

"Jadi kamu pengacara yang akan membela orang-orang bego ini?" Arya melempar senyum angkuh.

Kalimat itu sontak membuat Melati tersenyum santai. Hampir tak terlihat sedikit pun ketakutan menghadapi pria sombong di depannya.

"Kenapa? Apa kamu merasa takut dengan repotasiku?" Melati memperlihatkan perlawanannya. Dengan tatapan yang tenang, membuatnya tak gentar menghadapi pria angkuh ini.

Pria itu terkekeh mendengar ancaman itu. Dan semua anak buahnya juga ikut menertawai Melati. Tampaknya mereka benar-benar meremehkan kemampuan si pengacara cantik ini.

"Aku memiliki pengacara yang sangat hebat yang akan mengalahkanmu di pengadilan," ungkap Arya dengan sorot mata yang menakutkan. "Ingat, aku nggak pernah gagal meraih apa yang aku mau," sambungnya.

Emosi Melati sudah meluap. Ia benar-benar ingin memberi pelajaran pada sosok pria sombong di depannya. Namun, ia menahan diri. Wanita itu ingin memberinya pelajaran di pengadilan nanti.

"Kamu boleh menertawaiku. Tapi aku punya kartu As untuk menghancurkanmu!" ancam Melati lagi.

Arya masih belum mengerti makna yang barusan Melati katakan. Kartu As apa yang dimaksud oleh wanita cantik di depannya. Ia semakin penasaran dan tertantang dalam permainan ini.

"Jangan sok mengancamku. Bukankah kamu pengacara yang gagal dan dipecat dari kantor pengacara terkenal itu karena nggak becus, kan?" kekeh Arya menghina si pengacara.

Emosi Melati lagi-lagi meluap mendengar penghinaan dari Arya. Akan tetapi, ia tidak ingin memperlihatkan sikap yang buruk di depan para warga. Meskipun hatinya ingin sekali mencabik-cabik wajah pria itu.

"Liat aja, kamu akan kalah dalam kasus ini," ungkap Melati.

"Mimpi kali kamu," ejek Arya tertawa renyah. Anak buahnya juga ikut menertawai Melati lagi.

Setelah itu, Arya memasang kembali kacamatanya. Dan melangkah pergi dari hadapan wanita itu. Sebelum kendaraan roda empat itu beranjak, pria itu membuka kaca mobil seraya tersenyum ke arah Melati.

"Menyerahlah. Pengacara lemah sepertimu nggak akan menang melawanku," hina Arya lagi, sambil tersenyum angkuh.

Melati benar-benar kesal dengan kelakuan pria itu. Ia pun berpamitan dengan para warga. Ia tidak ingin kemarahannya terlihat di sana.

***

"Aku nggak mau dijodohkan!" seru seorang wanita cantik bermata cokelat yang baru saja memasuki kamar Melati.

Sontak kalimat itu membuat wanita bertubuh sintal yang sedang duduk menghadap laptop menoleh. Konsentrasinya menyelidiki satu kasus dari klien terganggu.

"Apa? Dijodohkan? Apa ini ide Papa lagi?" Putri bungsu di keluarga Hutama itu memandang serius ke wajah kakaknya. Ini bukan kali pertama sang ayah menjodohkan kakaknya dengan pria tak dikenal.

Wanita yang memasang ekspresi kaku di depan Melati mengangguk. Sorot matanya melekat pada sosok sang kakak. Tatapan yang penuh kepasrahan terlihat di mata cokelat itu sangat tidak disukai oleh sang adik.

Pemilik mata Almon dengan iris cokelat indah itu adalah Mawar Adinda Hutama. Tahun ini dia tercatat sebagai mahasiswa doktor di sebuah universitas swasta di Ibukota.

"Aku harus gimana, Mel. Aku nggak mau dijodohkan. Nggak mau!" keluh Mawar.

Wanita cantik itu terlihat pasrah dengan keputusan papanya. Tidak ada yang bisa menolak titah dari sang kepala keluarga yang tegas. Bersamaan dengan itu, pandangan Melati tertuju pada sorotan lirih sang kakak, membuat hatinya terkoyak.

Wanita itu hanya termenung mendengar keluhan adiknya. Bergegas ia bangkit, lantas meraih kedua bahu adiknya. Melati sebenarnya tidak tega melihat perempuan periang itu selalu menjadi korban perjodohan yang dilakukan orang tua mereka.

"Maaf ya, Kak. Aku juga nggak ngerti ma jalan pikiran Papa. Percuma juga kita bantah atau ngelawan. Nggak akan ngaruh," ujar Melati. Dia berusaha bicara dalam intonasi tenang agar tidak membuat sang adik makin kalut.

"Gimana kalau aku kabur dari rumah?" Mawar mengutarakan satu ide konyol.

"Nggak!"

Melati spontan menggeleng, menolak keras usulan kakaknya. Kabur dari rumah adalah hal yang tidak termaafkan. Adiknya akan dianggap mencoreng nama baik keluarga Hutama. Keluarga terpandang dan terhormat di negeri ini.

"Itu fatal. Please, jangan pernah berpikir melakukan itu." Melati memperingati kakaknya.

Mawar menatap wajah sendu sang kakak. Mata perempuan itu berkaca-kaca. Air mata seolah berlomba membanjir keluar. Hati Melati serasa diremas melihat kakaknya yang rapuh.

"Kamu tenangin diri dulu. Aku akan coba yakinkan Papa dan Mama," tutur Melati.

Wanita itu menyunggingkan seulas senyum, mencoba menenangkan kakaknya. Dia menepuk bahu adiknya pelan sebelum berjalan keluar kamar. Langkahnya lebar-lebar menemui orang tuanya yang ada di ruang keluarga.

Tak butuh waktu lama bagi Melati tiba di ruang yang menjadi pusat aktivitas seluruh keluarga. Matanya menangkap sosok sang Ayah duduk di sofa kulit mewah, sedang asyik bermain gawai. Wajah damai pria itu membuat dada Melati terasa sesak.

Segera wanita pemilik tinggi 170 sentimeter itu menghampiri orang tuanya. Tanpa basa-basi dia langsung mendudukkan pantat di sofa tunggal.

"Pa, kenapa harus seegois itu?" Melati berkata dengan nada kesal.

Papanya bernama Rafael Hutama, pria yang keras kepala dan semua ucapannya sudah menjadi nilai mutlak dalam keluarga.

"Nggak usah protes, Melati. Kalau kamu emang peduli sama kakakmu. Kenapa kamu nggak mau menikah? Kenapa nggak kamu aja yang duluan nikah, lalu memberikan cucu pertama buat kami," cecar Rafael.

"NO!"

Gelengan Melati muncul sangat cepat sebagai bentuk penolakan dari permintaan ayahnya. Mana mungkin dirinya menerima perjodohan yang tidak masuk akal seperti itu.

"Apa kamu lupa kalau usiamu udah dua cukup layak untuk menikah. Mau kamu disebut perawan tua?" cecar sang Ibu-Kirana. Wanita berkacamata minus itu ingin sekali putri bungsunya menentukan masa depannya perihal jodoh. Sudah ada tiga orang yang datang melamarnya, tetapi semuanya ditolak mentah-mentah.

Melati tak berkutik ketika ibunya berbicara. Semua kalimat yang terlontar barusan, sangat mengganggu hatinya. Seketika dia menjadi galau, dan bimbang.

Beberapa detik Melati terdiam. Bibirnya terkunci. Mulutnya membisu. Tidak sepatah kata pun mampu dikeluarkannya untuk menyanggah pendapat sang Ibu.

"Sebaiknya kamu pikirkan lagi prinsipmu. Kalau bukan kamu yang menikah, maka kakakmu yang harus menikah, paham!" tegas Rafael.

"Papa egois!" kesal Melati.

Ia langsung kembali ke kamar dan menemui adiknya. Panggilan dari sang Ayah pun tak digubrius sama sekali. Ia merasa kecewa karena ayahnya benar-benar tak punya rasa peduli terhadap anak-anaknya.

Keesokan harinya, Melati baru saja tiba masuk ke mobilnya. Terlihat sepuluh panggilan tak terjawab dari sang Ayah. Wanita itu pun menelepon balik.

Tidak lama kemudian, sang Ayah menerima panggilan teleponnya.

"Melati, segera pulang. PENTING!"

Tut... Tut... Tut!

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku