Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
Sore itu, langit memancarkan warna jingga lembut saat Budi duduk di sudut lapangan sekolah, mengamati teman-temannya bermain bola. Dia mengenakan kemeja biru muda yang sedikit kebesaran, rambutnya rapi meski tampak sedikit berantakan. Di tangannya, selembar kertas putih dan pensilnya siap untuk menuliskan sesuatu yang sangat berarti baginya.
"Budi!" suara Rudi, sahabatnya yang ceria, memecah keheningan. "Kenapa kamu di sini sendirian? Ayo ikut main!"
Budi menggelengkan kepala. "Aku lagi ada ide untuk puisi baru."
"Puisi lagi? Kamu selalu saja terjebak dengan kata-kata. Kenapa tidak coba main bola saja?" Rudi bertanya, sambil mengalihkan pandangannya ke lapangan.
Budi tersenyum tipis. "Kamu tahu, aku lebih suka bermain dengan kata-kata. Lagipula, aku punya seseorang yang ingin kutuliskan."
Rudi menyipitkan mata, penasaran. "Seseorang? Siapa?"
Budi menundukkan kepalanya, wajahnya memerah. "Sari," gumamnya pelan.
"Ah, Sari! Yang cantik itu?" Rudi menatapnya dengan mata lebar. "Kamu suka dia?"
"Ya, mungkin..." Budi menghela napas. "Tapi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku hanya seorang pujangga kecil."
Rudi tertawa. "Pujangga kecil? Kamu harus berani! Ayo, bacakan puisimu untukku."
Budi menggelengkan kepala lagi, bingung. "Tidak, aku masih belum siap. Apa pendapatmu jika Sari tidak suka puisiku?"
"Coba saja! Siapa tahu dia terpesona dan jatuh cinta padamu!" Rudi tersenyum lebar, mencoba memotivasi Budi.
Budi mengangkat bahu, mencoba menepis rasa gugupnya. "Mungkin... tapi aku takut dia hanya akan tertawa."
"Aku yakin Sari bukan orang yang akan menertawakan puisi! Dia baik hati. Cobalah," Rudi mendorongnya lagi.
Dengan hati berdebar, Budi menatap kertas putih di depannya. Tangan kanannya mulai menulis, "Sari, cahaya pagi yang menyinari hariku..." Ia berusaha merangkai kata-kata indah untuk menggambarkan perasaannya.
Tak lama, suara langkah kaki mendekat. Budi menoleh dan melihat Sari sedang berjalan menuju lapangan dengan senyuman ceria, rambutnya tergerai indah oleh angin. Jantung Budi berdegup lebih kencang.
"Budi! Apa kamu sedang menulis puisi lagi?" Sari bertanya, berhenti di sampingnya.
Budi merasakan wajahnya memerah. "Iya... hanya sedikit," jawabnya ragu.
"Oh, aku suka puisi! Boleh tahu tentang apa?" Sari mengajak dengan penuh minat.
Budi merasa terjebak dalam mata Sari yang bersinar. "Eh, ini tentang... tentang keindahan... dan, uh, tentang kamu," katanya, tanpa sadar.
Sari tersenyum lebar. "Wah, aku tidak sabar untuk mendengarnya! Kapan kamu akan membacakannya?"
Budi merasa beban di bahunya seolah semakin berat. "Mungkin... mungkin besok, saat tugas kelas," ujarnya, berusaha terdengar percaya diri.
"Baiklah, aku akan menunggu!" Sari berbalik, melanjutkan langkahnya, meninggalkan Budi yang masih terperangah.
Rudi berbisik, "Itu dia, kesempatanmu! Kamu harus melakukannya, Budi!"
Budi menatap kertas yang penuh dengan tulisan. Rasa percaya diri dan ketakutan bersatu dalam jiwanya. Dia tahu, besok akan menjadi hari yang menentukan. Dengan semangat baru, ia melanjutkan menulis puisi, mengekspresikan semua perasaannya untuk Sari.
Dan di saat itu, di sudut lapangan yang sunyi, benih rindu mulai tumbuh dalam hati Budi, menunggu saatnya untuk mekar.
Hari berikutnya, Budi bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya, ia tidak bisa tidur memikirkan puisi yang telah ditulisnya. Kata-kata dalam puisi itu terasa hidup, tetapi bayangan teman-teman sekelasnya yang mungkin tertawa kembali menghantuinya. Ia menyemangati dirinya sendiri di cermin.
"Ini hanya puisi," katanya pelan. "Hanya untuk Sari."
Sesampainya di sekolah, suasana terasa berbeda. Budi melangkah ke kelas dengan perasaan berdebar, melihat teman-temannya berkumpul. Rudi sudah menunggu di bangkunya, melambaikan tangan.
"Budi! Apa kamu siap?" Rudi bertanya, semangat.
"Uh, hampir. Aku... aku hanya perlu beberapa menit lagi," jawab Budi, berusaha tenang. Ia membuka bukunya, melihat kembali puisi yang ditulisnya. Setiap kata menggambarkan perasaannya yang mendalam terhadap Sari, dan semakin ia membacanya, semakin ia merasa terikat dengan kata-kata itu.