Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta masa kecil

Cinta masa kecil

ceritaku

5.0
Komentar
51
Penayangan
21
Bab

Dina dan Arga telah saling mengenal sejak mereka masih belajar mengeja nama mereka sendiri. Tumbuh besar di lingkungan yang sama, bermain di jalanan yang sama, dan berbagi mimpi-mimpi kecil yang perlahan menjadi kenangan berharga. Namun, seiring berjalannya waktu, kehidupan memisahkan mereka dalam jarak dan impian yang berbeda. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, mereka dipertemukan kembali oleh takdir di sebuah kota yang penuh hiruk-pikuk. Dina, yang telah merangkai hidupnya dengan penuh perjuangan sebagai seorang desainer, dan Arga, yang kembali dengan keberhasilan sebagai pengusaha sukses, mendapati bahwa perasaan yang dulu tersembunyi di dalam hati mereka mungkin tak pernah benar-benar hilang. Ketika cinta lama mulai bersemi kembali di tengah keraguan dan masa lalu yang belum terselesaikan, Dina dan Arga dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidup mereka: Apakah sahabat masa kecil mereka benar-benar adalah jodoh yang telah ditakdirkan? Dalam perjalanan yang penuh haru dan tawa, mereka akan belajar bahwa cinta sejati terkadang adalah tentang menemukan jalan kembali ke tempat di mana segalanya dimulai.

Bab 1 pertemuan tak terduga

Dina menatap keluar jendela, memperhatikan tetesan hujan yang menderas dari langit kelabu.

Suara gemuruh dari kejauhan seolah membenarkan suasana hatinya yang sedikit galau sore itu.

Bekerja sebagai desainer di kota besar memang menjadi impiannya sejak dulu, tapi ada sesuatu yang terasa kurang.

Ada lubang kecil di hatinya yang tak pernah terisi, seolah-olah ia meninggalkan sesuatu yang penting di masa lalu.

Sambil mengaduk kopi yang sudah mulai dingin, Dina mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan yang menumpuk di mejanya. Namun, pikirannya terus melayang ke masa lalu, ke sebuah kampung kecil di pinggiran kota, tempat ia tumbuh besar.

Di sanalah ia menghabiskan masa kecilnya bersama seorang sahabat yang selalu membuatnya tertawa-Arga. Sosok laki-laki yang dulu lebih sering membuat masalah daripada menyelesaikannya.

"Dinaaa, kamu kenapa ngelamun lagi?" Suara lantang dari telepon di meja kerjanya memecahkan lamunannya. Dina tersentak, buru-buru mengangkat telepon itu.

"Ya, Ma?" jawab Dina dengan nada lelah.

"Kamu tuh, kalau di rumah nggak usah kebanyakan mikir! Kerja boleh, tapi jangan lupa istirahat. Kamu kelihatan capek terus," ujar ibunya dari ujung telepon. Dina tersenyum tipis, merasa hangat mendengar perhatian ibunya.

"Iya, Ma. Dina cuma lagi banyak proyek aja," jawabnya sambil menghela napas pelan. Ibu selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik, bahkan dari kejauhan.

Setelah menutup telepon, Dina memutuskan untuk keluar sebentar, mencari udara segar yang mungkin bisa menghilangkan kepenatannya. Ia mengenakan jaket dan mengambil payung yang tergantung di dekat pintu.

Saat membuka pintu, hujan sudah mulai mereda, meninggalkan aroma tanah basah yang selalu membuatnya bernostalgia.

Tanpa tujuan yang jelas, Dina berjalan menyusuri trotoar yang basah, pikirannya terus melayang ke masa-masa bersama Arga. Mereka adalah duo yang tak terpisahkan, seperti gula dan kopi. Arga selalu berhasil membuatnya tersenyum, bahkan di hari-hari tersulitnya. Tapi, waktu memang tak berpihak pada mereka.

Setelah lulus SMA, mereka memilih jalan hidup yang berbeda-Dina ke kota besar untuk mengejar karir, sementara Arga tetap di kampung, meneruskan bisnis keluarganya.

Langkah Dina terhenti di depan sebuah kafe kecil yang baru dibuka. Di depannya, sebuah papan tulis menampilkan tulisan yang membuatnya tersenyum lebar: "Kopi Gratis untuk Mereka yang Patah Hati."

"Lucu juga," gumamnya sambil membuka pintu kafe itu.

Suara lonceng kecil menyambutnya ketika ia melangkah masuk. Kafe itu kecil tapi nyaman, dengan aroma kopi segar yang langsung memenuhi hidungnya

Sambil melihat-lihat, matanya tertuju pada seorang pria yang duduk di sudut, sibuk dengan laptopnya. Ada sesuatu yang familiar pada sosok itu, meskipun dari belakang. Rambutnya sedikit acak-acakan, dengan jaket kulit yang tampak terlalu besar untuk tubuhnya.

"Hmm... siapa ya?" pikir Dina sambil memperhatikan pria itu. Tapi ketika ia melangkah lebih dekat, matanya membelalak kaget.

"Arga?!" serunya tanpa sadar. Pria itu langsung menoleh, dan seketika senyum lebarnya muncul.

"Dina! Ya ampun, lama nggak ketemu!" Arga berdiri, memeluk Dina dengan hangat. Dina tertawa, merasa nostalgia tiba-tiba menyeruak begitu kuat di dalam hatinya.

"Apa kabar? Ngapain kamu di sini?" tanya Dina sambil melepaskan pelukan mereka.

"Bisnis keluarga, perlu ekspansi ke kota. Jadi, aku mutusin buat pindah ke sini sementara," jawab Arga sambil tersenyum. "Kamu gimana? Udah jadi desainer terkenal ya sekarang?"

"Ah, nggak juga. Masih berjuang aja," jawab Dina sambil tersenyum malu.

Mereka pun duduk, memesan kopi, dan mulai mengobrol panjang lebar tentang kehidupan masing-masing. Dina merasa seperti kembali ke masa lalu, saat segala sesuatunya begitu sederhana dan penuh tawa. Arga, dengan gayanya yang santai dan sedikit konyol, masih sama seperti dulu.

Bahkan, beberapa kali Dina tertawa hingga lupa betapa stresnya hari-hari terakhir ini.

Namun, di tengah tawa dan cerita, ada sedikit rasa canggung yang tak terelakkan. Dina menyadari bahwa ada sesuatu yang telah berubah.

Mereka bukan lagi remaja yang bisa bebas dari tanggung jawab. Ada beban dan masa lalu yang kini membentang di antara mereka.

Setelah beberapa waktu, Arga menatap Dina dengan serius. "Din, aku ada sesuatu yang pengen aku omongin dari dulu."

Dina mengerutkan kening, merasa sedikit gugup.

"Apa?"

Arga terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Kamu ingat nggak, pas kita SMP dulu, aku pernah bilang sesuatu ke kamu?"

Dina tertawa kecil, berusaha mengurangi ketegangan. "Yang mana? Kamu banyak ngomong waktu SMP, Ga."

"Yang waktu itu... di lapangan basket, waktu kita habis main hujan-hujanan," kata Arga, menunduk sedikit malu.

Dina berusaha mengingat. Perlahan, bayangan masa lalu muncul di benaknya. Ia ingat mereka basah kuyup karena main di tengah hujan, tertawa tanpa peduli dunia. Lalu, di bawah naungan pohon besar, Arga mengatakan sesuatu yang tak pernah ia lupakan.

"Aku suka kamu, Dina."

Dina tersentak dari lamunan. "Arga, kamu masih ingat itu?"

Arga mengangguk sambil tersenyum kikuk.

"Ya, aku masih ingat. Dan... aku masih suka kamu."

Tawa Dina tiba-tiba terhenti. Ia terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. Di satu sisi, ada perasaan senang yang tak bisa ia pungkiri. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ga, itu udah lama sekali. Kita udah banyak berubah. Aku... nggak tahu harus bilang apa," ucap Dina dengan hati-hati.

Arga menatapnya dengan lembut, namun ada tekad dalam matanya.

"Aku tahu. Tapi aku nggak mau kita berpisah lagi tanpa aku mencoba. Aku hanya ingin tahu, apakah ada sedikit perasaan di hatimu, yang mungkin sama seperti perasaanku?"

Dina terdiam. Ia menatap wajah Arga, mencoba menemukan jawaban di dalam hatinya.

Ada perasaan hangat yang mulai tumbuh, tapi juga rasa takut yang mengikutinya. Apa yang akan terjadi jika mereka mencoba? Dan apa yang akan mereka lakukan jika gagal?

Namun sebelum ia bisa menjawab, pelayan datang membawa kopi mereka, memecah suasana yang tiba-tiba menjadi tegang. Dina mengambil kopinya, menghirup aroma kuat yang sedikit menenangkannya.

"Arga, kita baru ketemu lagi. Mungkin kita bisa mulai dari awal lagi, sebagai teman. Kita lihat saja ke mana ini membawa kita, oke?" kata Dina akhirnya, tersenyum kecil.

Arga mengangguk pelan, meskipun terlihat sedikit kecewa. "Oke, Din. Aku bisa terima itu. Asal aku bisa tetap ada di dekatmu."

Percakapan mereka beralih ke topik-topik yang lebih ringan setelah itu, namun di balik setiap kata, ada ketegangan yang tak bisa sepenuhnya hilang. Dina mencoba menikmati momen itu, meskipun pikirannya terus kembali ke apa yang baru saja Arga katakan.

Saat mereka berpisah di depan kafe, Dina merasa ada sesuatu yang baru tumbuh di dalam hatinya. Sebuah benih perasaan yang mungkin sudah ada sejak lama, tapi baru sekarang mulai menyadarinya.

Ia tahu, pertemuannya dengan Arga kali ini bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di antara mereka, sesuatu yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.

Namun untuk saat ini, Dina hanya ingin menikmati perjalanan ini, langkah demi langkah, tanpa terburu-buru. Lagi pula, siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok hari? Terkadang, hal terbaik dalam hidup adalah membiarkan takdir bermain sesuai kehendaknya, sambil tetap menjaga hati agar tidak terluka.

Dan dengan senyum di wajahnya, Dina melangkah pulang, siap menghadapi hari esok yang penuh dengan kemungkinan baru.

Di dalam hatinya, ada keyakinan bahwa apapun yang terjadi, ia akan baik-baik saja. Karena sekarang, ia tahu bahwa ia tidak sendiri.

Di suatu tempat di kota yang besar ini, ada seseorang yang selalu siap mendukungnya, meskipun mungkin butuh waktu untuk benar-benar memahami perasaan mereka.

Tapi bukankah cinta memang begitu? Penuh teka-teki, tak terduga, dan sering kali dimulai dari persahabatan yang paling tulus.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh ceritaku

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku