Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Baby Boss: Istri Kecil Tuan Asher

Baby Boss: Istri Kecil Tuan Asher

Carol Ran

5.0
Komentar
25
Penayangan
7
Bab

Karena tantangan dari teman-temannya, Brigitha terpaksa mencium Asher-CEO kaya yang dianggap penyuka pria karena tak pernah menjalin kasih. Tanpa bertanggung jawab Brigitha melarikan diri, meninggalkan Asher sendiri dengan bekas lipstik di bibirnya. Semuanya menjadi rumit setelahnya. Asher jadi sering muncul. Pria licik itu dengan mudah memanipulasi Brigitha si gadis polos. "Aku akan menyelamatkan perusahaan tempat papamu bekerja, jadi menikahlah denganku." Mereka berdua berakhir di pelaminan. Brigitha, si gadis polos terpaksa menjadi bukti konkret bahwa Asher adalah pria normal perkasa, tak seperti yang dirumorkan. ...... "Lo cuma manfaatin kepolosan Brigitha. Lepasin dia, bajingan!" -Levan "Brigitha memang polos, apalagi saat berbaring di sisiku," -Asher

Bab 1 Mencium pria asing

Terik matahari mengguyur puluhan manusia siang itu. Sekumpulan remaja berlari memasuki cafe, lalu duduk bersama melingkari sebuah meja. Total ada lima orang di sana, menghapus peluh di kening sambil mengeluh panasnya cuaca siang itu.

Perempuan berambut curly mengangkat tangan memanggil waiters. "Kak, di sini!"

"Suara lo kayak bocah banget, Tha," komentar perempuan berponi, Sherly.

Brigitha, si rambut curly hanya mengerucutkan bibir singkat. "Suara gue emang gini, tau. Udah dua tahun masak nggak hapal."

Sherly menggedikkan bahu, memutar bola mata. "Iya deh iya." Dia menerima buku menu dari waiters. Butuh sepuluh menit hingga Sherly menyebutkan pesanannya.

Brigitha tak perlu membuka buku menu, dia sudah tahu apa yang dia inginkan. "Chicken karaage teriyaki satu, jus jeruk satu. Terima kasih, Kak."

Brigitha tersenyum, mengantar kepergian waiters. Bibir tebalnya berwarna merah muda, terlihat lembab walau di cuaca panas seperti ini. Dia melepas tas kanvas yang tersampir di bahu, menggantungkannya di punggung kursi.

"Kayaknya bakal lama, nih."

Perempuan dengan rambut terikat, Gea, bersuara. Dia yang sedari duduk memainkan ponsel dan bahkan menyerahkan pesanan makananya pada Sherly itu akhirnya menimbrung setelah ponselnya dia letakkan di atas meja.

Brigitha menganggukkan kepala, membuat rambut curlynya ikut terayun lucu. "Soalnya rame, Ge. Orang kantoran lagi pada cari makan."

Gea terkekeh. "Cari makan? Kambing kali ah."

"Maksud gue bukan itu-"

"Iya, ngerti," sahut Gea, membuat Brigitha cemberut.

Di cuaca yang panas seperti ini, si anak manja yang tak bisa jauh-jauh dari pendingin ruangan pasti merasa tak nyaman. Makanya hanya sedikit keusilan atau godaan mampu membuatnya kesal.

"Main, yuk. Sambil nunggu makanannya jadi," usul Sherly.

Brigitha mengedar pandang, memperhatikan seisi cafe yang benar-benar padat. Memang cafe yang mereka datangi begitu terkenal akan kualitas dan harganya, makanya banyak yang memilih mengisi perut di sana. Namun, Brigitha tetap berharap bahwa makanan mereka bisa datang tepat waktu, karena perutnya sudah melolong kelaparan.

Pagi tadi dia tidak sempat sarapan karena ada kelas yang dimajukan. Dia bahkan memakai make up sederhananya di dalam mobil sang papa. Saat sampai, kaki kecilnya dia pacu cepat ke ruang kelas. Beruntung Brigitha tidak terlambat, dan bisa duduk tenang mendengarkan dosen berbicara di depan.

"Truth or dare? Nggak butuh alat lain. Kayaknya seru."

Sherly berdecak, melirik Gea dengan ekor mata. "Ge, Ge. Tiap hari lo selalu minta main truth or dare terus. Ganti apa kek gitu. Bosen banget gue. Emang ada lagi rahasia kita yang mau lo denger?"

Gea berdecih. Dia hanya mengusulkan sesuatu setelah mendengar permintaan pendapat dari Sherly. Dia juga tidak memaksa kok. Tapi Sherly merespon seakan Gea ingin mendengar rahasia-rahasia mereka lewat permainan truth or dare.

Di antara dua perempuan itu, Brigitha bergumam panjang. Dia memberi saran, "Gimana kalau dare or dare? Kita nggak perlu ngungkap rahasia atau apapun. Yang penting bisa lakuin dare yang dikasih," usulnya.

Gea menjentikkan jari setuju. "Ide bagus. Tunggu apa lagi? Ayo mulai main."

Sherly terlihat enggan. Namun, dia tak bisa menolak saat dua suara lain menyetujui begitu saja. Akhirnya dia menganggukkan kepala berat, terpaksa mengikuti permainan membosankan yang hampir puluhan kali mereka lakukan.

"Oke. Kita pake ini, bulpoin." Gea menunjukkan bulpoin yang tersembunyi di sakunya. "Tenang. Gue yang bakal puter. Satu, dua, tiga!"

Bulpoin hitam itu berputar selama beberapa saat, sampai perlahan berhenti denagn ujung menunjuk Brigitha. Bahu perempuan itu langsung luruh, bibirnya melengkung ke bawah muram. Kenapa dia harus berada di giliran pertama sih.

Sherly tersenyum miring. "Gue yang bakal kasih tantangan," putusnya.

Gea menggedikkan bahu. Lagipula dia juga tidak punya ide yang harus diberikan, jadi biarkan Sherly yang memberi Brigitha tantangan. Dia yakin Sherly akan memberi tantangan luar biasa untuk Brigitha, mengingat perempuan itu selalu saja berusaha mengusik si gadis polos.

"Jangan aneh-aneh ya, Sher," ingat Brigitha.

Sherly mengedar pandang, mencari tantangan apa yang bisa dia berikan. Saat lonceng di pintu berbunyi, dia mengalihkan pandangan ke sana. Seorang pria membuka pintu bersama satu pria lain di belakangnya. Dua pria tampan itu masuk ke dalam cafe lalu duduk di kursi dekat jendela yang berada di barisan sejajar dengan kursi mereka. Pria yang mengenakan kacamata dan jas hitam itu membuat ujung bibir Sherly naik. Ide jail melintas di kepalanya.

"Gue tahu."

Brigitha dan Gea menatap Sherly penasaran.

"Tantangan yang harus lo lakuin, Bri. Lo nggak punya pacar, kan?"

Pertanyaan tiba-tiba Sherly itu membuat Brigitha mengernyitkan kening. Dia menggeleng perlahan sebagai jawaban. Brigitha memang tak punya pacar. Walau banyak laki-laki yang mengungkapkan perasaan padanya, Brigitha tak pernah merasakan hal yang sama.

Dia selalu mengucapkan terima kasih setiap mendengar pengungkapan cinta, lalu menolak mereka dengan sehalus mungkin. Brigitha merasa belum pas waktunya untuk menjalin hubungan percintaan. Melihat teman-temannya yang menangis karena laki-laki yang sebelumnya mereka puji-puji membuatnya takut untuk mencoba.

Sherly mengulum bibir senang. "Berarti lo nggak pernah ciuman, kan?"

"Sherly!" Brigitha mendelik, melihat sekitar takut ada yang mendengar kata-kata vulgar Sherly.

"Iya, kan?" ulang Sherly. "Sekarang kesempatan lo buat coba."

Gea mendelik. "Maksud lo apa?"

Sherly menggedikkan mata ke arah depan. Brigitha membalik badannya, menatap arah yang Sherly maksud. Dua orang pria tertangkap matanya. Brigitha mengernyitkan alis, tak mengerti yang Sherly maksud.

Gea memukul lengan Sherly. "Lo gila?"

Dia sudah besar. Tepatnya berumur dua puluh satu tahun. Mana mungkin dia tidak mengerti maksud Sherly yang teramat jelas. Berbeda dengannya, Brigitha terlihat masih tak paham, bergantian menatap Sherly dan pria itu.

"Ganti. Jangan gila lo, Sher," ujar Gea.

Sherly berdecak. "Lo setuju kan Bri? Tantangan tetep tantangan. Kalian udah setuju gue yang ngasih tantangan kali ini, masak tiba-tiba nolak. Nggak asik."

"Emang tantangannya apa?"

Gea gemas, ingin menggaruk wajah polos Brigitha. Temannya itu sangat kurang peka dan gampang ditipu, makanya sampai sekarang masih berteman dengan Sherly walau Sherly selalu berusaha menjatuhkannya dalam masalah.

Satu ujung bibir Sherly terangkat. "Cium cowok itu, langsung di bibirnya," tukasnya.

Brigitha mengerjap selama beberapa detik. "Maksud-ih nggak mau!"

Menepuk kening, Gea tak habis pikir dengan siistem kerja otak Brigitha. Bahkan setelah diberi tahu pun gadis itu masih sempat-sempatnya 'loading' dulu. Sepertinya dunia ini terlalu berbahaya untuk orang seperti Brigitha.

"Harus mau! Gue udah susah-susah mikir tantangannya!" Sherly mengerucutkan bibirnya dengan mata menyipit.

Gea berganti menatap Brigitha untuk melihat reaksi perempuan itu. Brigitha menelan ludah, terlihat mulai bimbang. Gea menghitung dalam hati, dan tepat di hitungan ketiga Brigitha mengangguk pelan.

"Y-yaudah. Tapi beneran nggak papa, kan? Dia nggak bakal marah?"

Sial. Rasanya Gea ingin membuang Brigitha ke kali Ciliwung, atau ke laut sekalian. Bagaimana bisa perempuan di umur dua puluh satu tahun sepolos itu.

"Nggak akan ada apa-apa. Percaya sama gue. Sekarang lo ke sana, cium dia."

Brigitha mengulum bibir ragu, tetapi dia tetap bangkit berdiri. Sekali lagi dia menatap Sherly, sebelum melanjutkan langkah hati-hati ke dekat pria berkacamata hitam. Dia menautkan kedua tangannya di depan, lalu berhenti tepat di sisi si pria.

"Permisi," ucapnya, pelan.

Pria berkacamata hitam itu menoleh, mengernyitkan kening melihat keberadaan Brigitha. Namun, matanya langsung melotot saat tiba-tiba kepala Brigitha maju. Bibir keduanya menempel untuk beberapa detik sebelum terlepas.

Brigitha menunduk sejenak sebagai permohonan maaf, lalu langsung berbalik dan melarikan diri dari dalam cafe. Sedangkan pria itu masih terdiam. Tangannya yang sedikit bergetar menyentuh bibir, bekas kecupan bibir tebal Brigitha.

Pria di depannya bangkit berdiri, mengerjapkan mata panik. "P-pak."

"Ha ha ha ...."

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Carol Ran

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku