"Saya mohon, Tuan..." suara Liana bergetar, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Matanya penuh air mata saat menatap pria di depannya. "Saya butuh uang untuk pengobatan anak dan ibu saya. Tolong bantu saya..." Rafael menyandarkan diri ke kursinya, bibirnya melengkung membentuk senyum samar. Matanya tajam menelusuri wajah Liana yang terlihat lelah, tetapi tetap begitu menawan. "Aku bisa membantumu," katanya tenang. "Tapi ada satu syarat." Liana menelan ludah, hatinya mencelos saat mendengar kelanjutannya. "Kamu harus menikah denganku. Sebagai istri keduaku." Jantung Liana seakan berhenti berdetak. "Istri kedua...?" bisiknya, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bisakah Liana menemukan kebahagiaannya, atau justru terjebak dalam pernikahan yang hanya membawa luka?
Liana duduk di ruang tamu mewah itu, tangannya menggenggam erat tas tangan yang hampir robek. Ia sudah berusaha menahan air mata sejak melangkah masuk, tapi di hadapan pria itu, segala kekuatannya terasa sia-sia. Rafael, lelaki yang baru saja ia kenal dalam keadaan yang begitu berbeda, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada yang tajam, namun juga penuh perhitungan.
"Jadi, Liana," suara Rafael memecah kesunyian, "apa yang membuatmu datang ke sini?"
Liana menarik napas dalam-dalam. Suara hatinya terus berteriak agar ia tetap tenang. Terkadang, berharap pada orang yang tak dikenal rasanya seperti mencari secercah harapan di tengah gelapnya malam. Namun, kini tak ada pilihan lain. Jika ia tidak berbicara, jika ia tidak meminta bantuan, maka anak dan ibunya akan menderita.
"Saya... saya sangat membutuhkan bantuan Anda, Tuan," katanya dengan suara bergetar, suara yang bahkan ia sendiri hampir tak mengenali. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa begitu berat, seperti beban dunia berada di atas pundaknya. "Anak saya... dan ibu saya... mereka sangat membutuhkan pengobatan. Saya tak tahu harus pergi kemana lagi, saya benar-benar tak punya pilihan."
Rafael mengamati setiap gerak-gerik Liana dengan cermat. Wanita ini, dengan wajah yang tak asing lagi dalam dunia sosialita, namun tampak sangat terpuruk sekarang. Matanya yang basah, bibir yang menggigil, dan aura kesedihan yang begitu nyata di sekitarnya. Tetapi, dia juga melihat sesuatu yang lebih-sebuah kekuatan dalam ketidaksempurnaan. Sesuatu yang menarik minatnya lebih dari sekadar belas kasihan.
"Tentu," jawab Rafael dengan suara rendah yang penuh dengan kebijaksanaan, seolah menimbang segala sesuatunya. "Aku bisa membantu. Tapi seperti yang sering terjadi dalam dunia ini, tidak ada yang gratis."
Liana menatapnya, bingung. Apa maksudnya? Ia berpikir, tidak ada yang bisa memberinya harapan tanpa imbalan, tapi seberapa besar harganya kali ini?
"Imbalannya..." Rafael melanjutkan, suaranya terdengar lebih berat sekarang, lebih serius, "adalah kamu."
Liana mengerjap, matanya terbelalak. "Saya?"
"Iya," jawab Rafael dengan senyuman yang menyiratkan keinginan yang tak terucap. "Kamu harus menjadi istri keduaku."
Liana merasa seperti ada yang terhenti dalam dirinya. Otaknya berputar cepat, mencoba mencerna kata-kata itu. Istri kedua? Apakah ini suatu bentuk lelucon? Tapi tatapan serius Rafael membuatnya sadar bahwa ini bukan sekadar candaan.
"Istri kedua?" Liana hampir tak bisa mengucapkan kata-kata itu. "Tuan, saya-saya tidak bisa. Itu... itu tidak mungkin."
"Kenapa tidak?" Rafael bertanya, nada suaranya kini terkesan dingin, mengesampingkan segala bentuk pengertian. "Kamu sudah janda, bukan? Tak ada lagi yang mengikatmu."
Liana merasakan darahnya berdesir, hatinya tersentak. Kata-kata itu seperti pisau yang menorehkan luka yang sudah lama terpendam. Memang benar, ia sudah bercerai, tetapi ia tidak pernah menganggap dirinya hanya sebuah 'status.' Ia memiliki martabat, keinginan, dan perasaan.
"Bukan soal status saya, Tuan," jawab Liana dengan suara bergetar, berusaha mempertahankan kewarasannya. "Ini... ini tentang harga diri saya. Saya tidak bisa hanya... hanya... menyerah seperti itu."
Rafael tertawa kecil, namun tawa itu terasa tajam. "Kamu ingin bantuan dariku, Liana. Dan dalam dunia ini, segalanya ada harganya. Jika kamu ingin anak dan ibumu mendapat bantuan, kamu harus membayar harganya."
Liana menunduk, mencoba menahan air matanya yang sudah siap jatuh. Ia merasa terpojok, dan rasa putus asa menyelimuti hatinya.
"Saya tidak punya pilihan, kan?" katanya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Rafael.
Rafael tidak menjawab, hanya memandangnya dengan tatapan yang penuh pengertian, namun tetap keras. "Tepat sekali."
Liana mengangkat kepalanya, matanya berkilat, bercampur antara marah dan frustrasi. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan sampai pada titik ini-terpojok dalam permainan kekuasaan dan uang, memilih antara harga diri dan keberlangsungan hidup orang-orang yang ia cintai.
"Dan jika saya menolak?" tanyanya, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Rafael tersenyum, namun senyumnya tak pernah menyentuh matanya. "Kamu bisa menolak. Tetapi, jangan salahkan aku jika itu berarti kamu harus mencari jalan lain yang lebih berat."
Liana merasakan dadanya sesak. Apakah ini jalan yang harus ia ambil? Menjadi istri kedua pria yang tak pernah ia pilih, demi menyelamatkan orang-orang yang ia cintai? Atau haruskah ia mempertahankan martabatnya, meskipun itu berarti kehilangan segalanya?
Ada sebuah suara yang terus bergaung dalam dirinya, bertanya-tanya apakah kebahagiaan masih bisa ditemukan di dunia yang penuh dengan manipulasi dan pengorbanan ini.
Buku lain oleh Wahyu Purnomo Aji
Selebihnya