Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Yang Sintia tahu hanya kehidupan malam menyenangkan. Kelam dengan segala pikiran terbenam. Makna dari lenggak-lenggok tubuhnya saat mengikuti irama musik bising di kelab itu bukan suatu kebahagiaan, melainkan lampiasan demi meredam ego dalam diri.
Bulir-bulir bening berlomba keluar dari pori kulit. Kendati demikian, Sintia tak berniat menyudahi aktivitas melelahkan itu. Dia akan terus bergerak hingga pagi dan kelab tutup. Jika hanya untuk beristirahat, paling-paling saat satu musik habis diputar. Setelah itu dia akan meraih botol minuman, lalu menenggaknya dengan semangat bergejolak.
Seperti biasa, saat dia sekadar menyiapkan diri demi musik berikutnya, para lelaki berkerumun mengelilingi. Ada enam pria yang siap membawa Sintia bersenang-senang di dunia yang sungguh nikmat bagi mereka.
"Sintia, mari tidur bersamaku. Aku baru saja gajian, uangku banyak. Berapa yang kamu inginkan, Sayang?"
Sintia tersenyum getir mendengar tawaran lelaki hidung belang yang berdiri di depan meja tempatnya bertopang dagu. Kebanyakan lelaki di tempat itu seperti yang dia tahu adalah hewan buas. Mereka domba bernafsu. Sintia tak bermaksud memberikan kemolekan tubuhnya, meskipun dengan iming-iming uang yang banyak. Untuk apa? Uang bisa dia cari dengan bekerja. Toh, dia itu model. Satu kali pemotretan, bisa dapat uang. Sayangnya, sudah sebulan lebih dia tidak dipanggil si fotografer. Jadi, keuangan Sintia benar-benar menipis. Kendati demikian, dia tak berniat menghemat atau mencari pekerjaan lain. Itu adalah dua hal merepotkan baginya.
"Delapan puluh juta. Mampu, nggak, kalian?" kata Sintia sambil menyeringai.
Sintia tentu saja tidak serius. Dia hanya berusaha menggertak agar para lelaki itu segera enyah dari hadapannya.
"Delapan puluh juta?! Kamu gila?! Sudah seperti artis papan atas saja harga segitu."
"Terserah. Aku nggak peduli kalian mau atau nggak. Minggir kalian semua!"
Para lelaki yang mengaku pencinta wanita itu segera menyingkir sambil mendengkus. Sejak lama mereka mengincar Sintia, ingin menikmati tubuh yang kata orang mirip gitar spanyol itu. Kenyataannya, bibir tipis kemerahan Sintia saja tidak bisa didapatkan, apalagi setiap bagian dari tubuh sintalnya.
Awalnya mereka berpikir uang bisa meluluh lantakkan wanita itu. Namun, ternyata tak semudah itu, dan rencana mereka tak semulus yang diharapkan. Para lelaki itu memilih mundur dan merencanakan sesuatu yang lain, terutama si lelaki berambut keriting yang sekian tahun hanya bisa menelan saliva saat memandangi tubuh Sintia yang dibalut pakaian terbuka: gaun tanpa lengan di atas lutut, menampilkan putih bersih kulit tanpa noda ataupun bercak sedikit pun. Apalagi bagian menonjol di dada terlihat menyeruak. Bagaimana mungkin lelaki akan tahan setelah menyaksikan itu? Ada, tetapi hanya mereka yang punya iman kuat.
Kali ini, Sintia tidak tahan untuk terus bergerak sedangkan kepala merasa ditimpuk batu raksasa. Karena itu, dia memilih pulang saat jarum jam di tangan kanannya menunjukkan angka tiga.
Mungkin itu efek berbotol-botol minuman alkohol yang dia tenggak sejak awal datang di kelab. Atau mungkin juga efek memikirkan keuangan yang semakin menipis. Sebab sudah dua bulan dia menunggak biaya SPP kuliah sang adik.
Pikiran yang merajai kepalanya saat ini adalah cara untuk mendapatkan uang dengan cepat dan mudah. Bekerja tidak mungkin, akan memakan waktu lama. Maling pun tidak mungkin karena dia tidak ahli melakukannya. Dirinya yang lain memberikan satu pilihan, yaitu menjual diri. Sayangnya, dirinya yang lain juga melarang. Dia sangat tidak suka disentuh laki-laki, apalagi laki-laki yang tidak dia cintai.
Sintia melewati sebuah pohon beringin raksasa di makam yang terkenal berusia paling tua saat melewati perkampungan. Dia berhenti tatkala mengingat mitos yang selalu dibicarakan teman-temannya mengenai pohon tersebut. Temannya pernah bercerita bahwa pohon beringin yang tingginya mencapai 25 meter itu dapat mengabulkan permintaan siapa saja dengan cara memberikan kemenyan dan beberapa persembahan lainnya.
Ide melintasi jalur pikiran. Dia berniat meminta bantuan pada pohon beringin raksasa. Namun, dia tidak membawa kemenyan dan persembahan lain untuk digunakan memanggil penunggu pohon tersebut. Meski begitu, dia tetap bersikeras dan mencoba-coba; siapa tahu saja berhasil, bukan?
Dengan langkah yang sangat hati-hati, Sintia berusaha meredam derap sepatu hak tinggi yang dia kenakan. Dia menarik napas dalam saat tiba di pohon, lalu menatap bagian atas pohon yang gelap. Pohon yang benar-benar tua. Banyak sekali tumbuhan parasit di cabang dan rantingnya.
Tidak ada rasa takut, yang ada hanya rasa tidak sabar jika Sintia benar-benar berhasil mendapatkan uang setelah meminta bantuan pada pohon. Dia nyaris berpikir telah menjadi dungu karena uang. Bahkan dia sadar, di kondisi pikiran seperti saat ini, segala hal jadi masuk logika meskipun sebenarnya sangat sulit diterima akal sehat.
Setelah berhasil menarik napas yang cukup dalam sambil menahan getaran rasa takut yang mulai datang, Sintia memulai komunikasi dengan pohon, atau lebih tepat penunggu pohon: makhluk tak kasat mata.