Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kubalas Suamiku dan Maduku yang Benalu

Kubalas Suamiku dan Maduku yang Benalu

Devi HS

5.0
Komentar
242
Penayangan
6
Bab

Dinda adalah seorang istri dengan satu anak, yang selalu menuruti perkataan suaminya, kesekian kalinya harus menerima sikap Liar suaminya yang kembali memiliki selingkuhan. Keadaan ekonomi dan ancaman Iqbal yang akan mengambil putri mereka, membuat Dinda terpaksa diam melihat suaminya memiliki selingkuhan diluar sana. Namun Dinda tidak tinggal diam, saat mengetahui suaminya menikahi selingkuhannya dan dengan tega membawanya kerumah mereka. Bagaimana cara Dinda agar terlepas dari pernikahan dengan suaminya Iqbal, belum lagi sifat Benalu Madu dan mertuanya yang selalu datang ingin merebut semua barang milik Dinda. Tunggu kelanjutannya ya. ,

Bab 1 Sikap acuh

"Mas, aku minta uang belanja Mas, uang 50 ribu yang Mas beri minggu lalu sudah habis Dinda belanjakan, Mas!" pintaku kepada Mas Iqbal, yang sedang memakai sepatunya hendak berangkat bekerja sebagai pegawai lurah di kampung ini.

Suamiku Mas Iqbal sudah hampir setahun lalu diangkat menjadi pegawai Kelurahan, yang dulunya hanya bekerja sebagai petugas kebersihan di kelurahan, sekarang Mas Iqbal telah diangkat menjadi pegawai Kelurahan setelah majikan tempat ku sering mencuci pakaian, mengetahui jika Mas Iqbal adalah suamiku, yang mana majikanku yang membantu menjadikan Mas Iqbal pegawai kelurahan dengan bantuan kenalannya.

Namun beberapa bulan terakhir, sikap Mas Iqbal kepadaku mulai berubah, yang dulunya Mas Iqbal tida pernah membentakku sekarang Mas Iqbal sudah mulai memarahiku tanpa aku mengetahui letak kesalahanku.

"Dinda..! Apa kau tidak melihat, Mas baru akan berangkat bekerja, masih pagi kau sudah menjulurkan tangan seenaknya meminta uang kepada, Mas!"

Mas Iqbal kembali membentakku, yang mana suara Mas Iqbal cukup nyaring hingga membuatku terdiam dengan mata terkejut mendengarnya.

Walaupun bukan kali ini Mas Iqbal membentakku, namun aku tetap saja masih merasa sakit hati, saat melihat tatapan mata Mas Iqbal penuh kemarahan menatap ke arahku.

"Tapi, uang yang Mas beri minggu lalu sudah habis, Mas! Tidak mungkin aku ke warung untuk berhutang lagi, Mas. Mas sendiri tahu jika hutang kita di warung sudah menumpuk yang sama sekali Mas belum ada membayarnya,"

Aku kembali mengingatkan Mas Iqbal tentang beberapa hutang kami yang telah menumpuk di warung Mpok Inem, yang tidak jauh dari rumah Ibu mertuaku, satu pun belum kami lunasi.

Hanya di Mpok Inem, yang sering memberiku pinjaman saat aku tidak memiliki uang selain di pok Inem, tidak ada warung yang ingin memberiku pinjaman karena Mas Iqbal tidak pernah mau membayarnya, aku membuang nafas kasar saat kembali merasa sesak saat mengingat semuanya.

"Dinda, ingat! Itu adalah hutangmu dan bukan hutang, Mas. Jadi yang seharusnya membayarnya itu adalah kamu, bukan Mas. Jika kamu ingin melunasi hutangmu, sana kamu harus lebih giat bekerjanya, biar bisa menghasilkan uang yang banyak jangan hanya tahu meminta kepada, Mas!" Mas Iqbal yang marah kembali memberi tatapan tajam ke arahku, membuatku menutup rapat bibirku.

Aku hanya diam mendengar apa yang baru saja di katakan Mas Iqbal kepadaku, tanpa mencoba untuk membela diri.

Aku takut jika Mas Iqbal sudah merasakan amarah yang memuncak, bisa saja Mas Iqbal kembali melayangkan pukulan ke arahku, bukan sekali dua kali aku menerima pukulan dari tangan Mas Iqbal kepadaku, setiap kali aku membantah perkataannya, Mas Iqbal pasti akan memukulku tanpa merasa iba.

"Jadi aku dan Nela harus makan apa, Mas? Kasihan Nela, Mas. Sudah sering Nela memahan lapar Mas. Apa pagi ini kami juga harus kembali menahan lapar, Mas?" kutatap Mas Iqbal saat mengatakannya.

"Nela juga sudah lama menginginkan untuk memakan lauk ayam, Mas. Yang mana aku hanya bisa memberinya lauk ikan asin di piringnya!" air mataku menetes saat kembali mengingat permintaan putriku, sembari aku menatap Mas Iqbal, dan berharap Mas Iqbal akan luluh setelah mendengar jika putriku Nela, ikut merasakan kesusahan yang kami alami.

Mas Iqbal memiliki gaji yang besar, tetapi semua uang miliknya dia berikan kepada Ibu dan adik iparku, tidak jarang sisa uang Mas Iqbal habis untuk memanjakan selingkuhannya, yang aku tau dari beberapa tetangga yang melihat Mas Iqbal, jalan dengan wanita selingkuhannya.

"Alah...itu urusanmu, Dinda! Lagi pula itu anakmu, jangan membebani Mas dengan permintaan bodohmu itu kepada, Mas. Jika kamu ingin makan, lebih baik kau cari pekerjaan tambahan di luar sana jangan hanya mengandalkan dari upahmu sebagai buruh cuci yang tidak seberapa," balas Mas Iqbal dengan wajahnya yang memerah marah, yang membuatku membulat mendengarnya.

Aku tidak menyangka jika suamiku Mas Iqbal semakin tega kepadaku dan juga putrinya, entah apa yang terjadi dengan Mas Iqbal sehingga bisa berubah seperti sekarang ini, apa ini karena Mas Iqbal telah bekerja sebagai pegawai Kelurahan, sehingga membuat Mas Iqbal berubah sikap kepadaku.

"Minggir sana! Mas sudah terlambat berangkat bekerja, Ini semua gara-gara kamu Dinda, jika sampai Mas kena omel dengan atasan Mas, kamu yang akan Mas beri pelajaran," bentaknya.

Kemudian Mas Iqbal mendorong tubuhku menjauh, yang kemudian melangkah melewati ku tanpa merasa iba sedikit pun kepadaku.

Entah apa yang saat ini dipikirkan Mas Iqbal, sehingga Mas Iqbal sudah tidak memiliki rasa iba kepadaku dan juga putrinya Nela.

"Bu, Nela lapar!"

Aku menoleh melihat ke arah putriku, yang berdiri dengan beruraian air mata menatapku, mungkin karena Nela melihat sikap kasar Mas Iqbal kepadaku barusan, yang membuat putriku Nela bercucuran air mata seperti ini.

"Nela kenapa menangis, tidak apa-apa ada ibu disini. Nela lapar?" tanyaku mengusap pipi putriku yang berurain air mata, yang dibalas anggukan kepala putriku.

"Sebentar ya, Nak. Biar ibu keluar untuk mencari pinjaman, siapa tahu ada yang akan memberi kita uang untuk membeli makanan pagi ini." ucapku membujuk putriku Nela, agar mau bersabar menungguku yang akan keluar mencari pinjaman untuk mengganjal perut kami.

Nela mengangguk dan kemudian berbalik masuk ke dalam kamarnya, Melihat kepergian putriku, aku juga beranjak untuk keluar mencari pinjaman yang mungkin masih bisa aku dapatkan pagi ini.

"Mas, aku minta uang belanja Mas, uang 50 ribu yang Mas beri minggu lalu sudah habis Dinda belanjakan, Mas!" pintaku kepada Mas Iqbal, yang sedang memakai sepatunya hendak berangkat bekerja sebagai pegawai lurah di kampung ini.

Suamiku Mas Iqbal sudah hampir setahun lalu diangkat menjadi pegawai Kelurahan, yang dulunya hanya bekerja sebagai petugas kebersihan di kelurahan, sekarang Mas Iqbal telah diangkat menjadi pegawai Kelurahan setelah majikan tempat ku sering mencuci pakaian, mengetahui jika Mas Iqbal adalah suamiku, yang mana majikanku yang membantu menjadikan Mas Iqbal pegawai kelurahan dengan bantuan kenalannya.

Namun beberapa bulan terakhir, sikap Mas Iqbal kepadaku mulai berubah, yang dulunya Mas Iqbal tida pernah membentakku sekarang Mas Iqbal sudah mulai memarahiku tanpa aku mengetahui letak kesalahanku.

"Dinda..! Apa kau tidak melihat, Mas baru akan berangkat bekerja, masih pagi kau sudah menjulurkan tangan seenaknya meminta uang kepada, Mas!"

Mas Iqbal kembali membentakku, yang mana suara Mas Iqbal cukup nyaring hingga membuatku terdiam dengan mata terkejut mendengarnya.

Walaupun bukan kali ini Mas Iqbal membentakku, namun aku tetap saja masih merasa sakit hati, saat melihat tatapan mata Mas Iqbal penuh kemarahan menatap ke arahku.

"Tapi, uang yang Mas beri minggu lalu sudah habis, Mas! Tidak mungkin aku ke warung untuk berhutang lagi, Mas. Mas sendiri tahu jika hutang kita di warung sudah menumpuk yang sama sekali Mas belum ada membayarnya,"

Aku kembali mengingatkan Mas Iqbal tentang beberapa hutang kami yang telah menumpuk di warung Mpok Inem, yang tidak jauh dari rumah Ibu mertuaku, satu pun belum kami lunasi.

Hanya di Mpok Inem, yang sering memberiku pinjaman saat aku tidak memiliki uang selain di pok Inem, tidak ada warung yang ingin memberiku pinjaman karena Mas Iqbal tidak pernah mau membayarnya, aku membuang nafas kasar saat kembali merasa sesak saat mengingat semuanya.

"Dinda, ingat! Itu adalah hutangmu dan bukan hutang, Mas. Jadi yang seharusnya membayarnya itu adalah kamu, bukan Mas. Jika kamu ingin melunasi hutangmu, sana kamu harus lebih giat bekerjanya, biar bisa menghasilkan uang yang banyak jangan hanya tahu meminta kepada, Mas!" Mas Iqbal yang marah kembali memberi tatapan tajam ke arahku, membuatku menutup rapat bibirku.

Aku hanya diam mendengar apa yang baru saja di katakan Mas Iqbal kepadaku, tanpa mencoba untuk membela diri.

Aku takut jika Mas Iqbal sudah merasakan amarah yang memuncak, bisa saja Mas Iqbal kembali melayangkan pukulan ke arahku, bukan sekali dua kali aku menerima pukulan dari tangan Mas Iqbal kepadaku, setiap kali aku membantah perkataannya, Mas Iqbal pasti akan memukulku tanpa merasa iba.

"Jadi aku dan Nela harus makan apa, Mas? Kasihan Nela, Mas. Sudah sering Nela memahan lapar Mas. Apa pagi ini kami juga harus kembali menahan lapar, Mas?" kutatap Mas Iqbal saat mengatakannya.

"Nela juga sudah lama menginginkan untuk memakan lauk ayam, Mas. Yang mana aku hanya bisa memberinya lauk ikan asin di piringnya!" air mataku menetes saat kembali mengingat permintaan putriku, sembari aku menatap Mas Iqbal, dan berharap Mas Iqbal akan luluh setelah mendengar jika putriku Nela, ikut merasakan kesusahan yang kami alami.

Mas Iqbal memiliki gaji yang besar, tetapi semua uang miliknya dia berikan kepada Ibu dan adik iparku, tidak jarang sisa uang Mas Iqbal habis untuk memanjakan selingkuhannya, yang aku tau dari beberapa tetangga yang melihat Mas Iqbal, jalan dengan wanita selingkuhannya.

"Alah...itu urusanmu, Dinda! Lagi pula itu anakmu, jangan membebani Mas dengan permintaan bodohmu itu kepada, Mas. Jika kamu ingin makan, lebih baik kau cari pekerjaan tambahan di luar sana jangan hanya mengandalkan dari upahmu sebagai buruh cuci yang tidak seberapa," balas Mas Iqbal dengan wajahnya yang memerah marah, yang membuatku membulat mendengarnya.

Aku tidak menyangka jika suamiku Mas Iqbal semakin tega kepadaku dan juga putrinya, entah apa yang terjadi dengan Mas Iqbal sehingga bisa berubah seperti sekarang ini, apa ini karena Mas Iqbal telah bekerja sebagai pegawai Kelurahan, sehingga membuat Mas Iqbal berubah sikap kepadaku.

"Minggir sana! Mas sudah terlambat berangkat bekerja, Ini semua gara-gara kamu Dinda, jika sampai Mas kena omel dengan atasan Mas, kamu yang akan Mas beri pelajaran," bentaknya.

Kemudian Mas Iqbal mendorong tubuhku menjauh, yang kemudian melangkah melewati ku tanpa merasa iba sedikit pun kepadaku.

Entah apa yang saat ini dipikirkan Mas Iqbal, sehingga Mas Iqbal sudah tidak memiliki rasa iba kepadaku dan juga putrinya Nela.

"Bu, Nela lapar!"

Aku menoleh melihat ke arah putriku, yang berdiri dengan beruraian air mata menatapku, mungkin karena Nela melihat sikap kasar Mas Iqbal kepadaku barusan, yang membuat putriku Nela bercucuran air mata seperti ini.

"Nela kenapa menangis, tidak apa-apa ada ibu disini. Nela lapar?" tanyaku mengusap pipi putriku yang berurain air mata, yang dibalas anggukan kepala putriku.

"Sebentar ya, Nak. Biar ibu keluar untuk mencari pinjaman, siapa tahu ada yang akan memberi kita uang untuk membeli makanan pagi ini." ucapku membujuk putriku Nela, agar mau bersabar menungguku yang akan keluar mencari pinjaman untuk mengganjal perut kami.

Nela mengangguk dan kemudian berbalik masuk ke dalam kamarnya, Melihat kepergian putriku, aku juga beranjak untuk keluar mencari pinjaman yang mungkin masih bisa aku dapatkan pagi ini.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku