/0/24872/coverorgin.jpg?v=032e324468bb6285672c751841582adb&imageMogr2/format/webp)
Arlisa duduk di tepi ranjang besar berlapis sprei putih itu dengan tatapan kosong. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia masih terjaga. Tangannya meremas ujung selimut, sementara pikirannya melayang jauh, memutar ulang percakapan yang beberapa minggu lalu ia lontarkan pada suaminya.
"Bang... mungkin abang sebaiknya menikah lagi saja."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya waktu itu, dalam keadaan hati yang penuh keraguan dan putus asa. Ia masih bisa mengingat jelas wajah Radwan, suaminya, yang tampak terkejut, lalu terdiam lama sebelum akhirnya menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak.
Arlisa tidak sedang bergurau. Ia sungguh-sungguh merasa bahwa rumah tangga mereka mulai kehilangan kehangatan. Radwan jarang menyentuhnya, jarang berbicara panjang, bahkan sekadar duduk berdua sambil minum teh di teras pun semakin langka. Dingin. Semua terasa dingin.
Awalnya Arlisa berpikir itu hanya fase. Radwan mungkin lelah bekerja, mungkin stres dengan beban kantor. Tapi setelah berbulan-bulan, keadaan tak kunjung berubah. Sentuhan yang dulu membuatnya merasa hidup kini nyaris hilang. Pelukan sebelum tidur hanya tinggal kenangan.
Arlisa bukan tipe istri yang menuntut banyak. Ia bisa mengurus rumah, melayani dengan sabar, dan berusaha memahami keadaan suaminya. Tapi ia juga perempuan, dengan hati yang butuh kasih sayang, dan tubuh yang merindukan belaian. Dan ketika semua itu tidak ia dapatkan, Arlisa mencari cara lain-cara yang menurutnya bodoh, tapi saat itu ia merasa itu satu-satunya jalan.
Ia berharap, jika Radwan punya madu, ia akan tersulut rasa cemburu, lalu justru kembali mencari Arlisa. Bukankah sering kali manusia baru menghargai sesuatu ketika hampir kehilangan?
Namun, malam-malam seperti ini membuat Arlisa sadar bahwa dirinya mungkin telah mengambil keputusan paling gila dalam hidup.
"Lis, kamu yakin?" suara lembut tapi mantap itu menggema di telinganya. Radwan menanyakan ulang kala Arlisa menyarankan pernikahan kedua.
Arlisa menunduk, menahan getar di dadanya. "Aku... aku cuma ingin abang bahagia. Kalau memang aku tidak bisa memenuhi semuanya, mungkin ada perempuan lain yang bisa. Mungkin setelah itu abang bisa kembali... menoleh padaku."
Radwan memandangnya dengan tatapan sulit diartikan. Ada ketegasan, ada kebingungan, tapi juga seolah ada secercah lega. Dan saat Radwan akhirnya menyetujui gagasan gila itu, hati Arlisa justru hancur, meski bibirnya tersenyum samar.
Kini, beberapa minggu setelah akad itu berlangsung, kenyataan mulai benar-benar menamparnya. Radwan menikah lagi dengan seorang perempuan muda bernama Raline. Cantik, segar, penuh semangat-persis lawan dari dirinya yang mulai kusam oleh rutinitas.
Arlisa sering mendengar tawa mereka dari kamar sebelah. Tawa yang dulu sering menghiasi ruang keluarga, kini hanya menjadi tamu asing di telinganya. Kadang ia mendengar suara lembut Radwan memanggil nama istrinya yang baru, dengan nada manja yang sudah lama tidak pernah ia dengar lagi.
Dan malam ini, ketika tembok kamar tipis itu seolah tidak mampu menahan kenyataan, Arlisa menggigit bibirnya erat-erat. Ada suara langkah, ada bisikan, lalu ada tawa renyah Raline yang membuat hatinya seperti disayat.
Air mata Arlisa jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba meredam suara yang menembus dinding.
"Ya Allah... ini bukan yang aku harapkan," lirihnya. "Aku cuma ingin dia kembali padaku, bukan pergi semakin jauh..."
Hari-hari Arlisa berjalan dalam bayang-bayang luka. Saat pagi tiba, ia tetap menyajikan sarapan seperti biasa. Nasi goreng kesukaan Radwan, teh hangat, dan potongan buah. Tapi Radwan jarang menyentuhnya. Ia sudah terlalu terbiasa dengan sarapan buatan Raline yang katanya lebih variatif, lebih segar, lebih 'anak muda'.
/0/27202/coverorgin.jpg?v=f52e8846988ac37d758841a99a0961ed&imageMogr2/format/webp)
/0/12525/coverorgin.jpg?v=5f4089e3b9f9d453d452d90c94ebd1ee&imageMogr2/format/webp)
/0/19742/coverorgin.jpg?v=995a92768f4edcb88db83d08d3f5acd9&imageMogr2/format/webp)
/0/12406/coverorgin.jpg?v=6aec4cfef6fe700646935b90f70aead3&imageMogr2/format/webp)
/0/16993/coverorgin.jpg?v=8f6691abba9009e4c672ce3ff44120fb&imageMogr2/format/webp)
/0/2751/coverorgin.jpg?v=afedef2cb9c91e39201ce746d637e369&imageMogr2/format/webp)
/0/3367/coverorgin.jpg?v=213463bd4a7d15c886c3b7075a04c1d1&imageMogr2/format/webp)
/0/10919/coverorgin.jpg?v=b951d35476e971d09eb6f17859596274&imageMogr2/format/webp)
/0/29617/coverorgin.jpg?v=20251119143752&imageMogr2/format/webp)
/0/2991/coverorgin.jpg?v=88e7d734d4c2c5be297240cf77d99571&imageMogr2/format/webp)
/0/6492/coverorgin.jpg?v=4cc7c7dc9bd4738c9b4f30b0849b2100&imageMogr2/format/webp)
/0/16064/coverorgin.jpg?v=4e9d8eb5b180ddd8b9edfd662ecef4f9&imageMogr2/format/webp)
/0/17304/coverorgin.jpg?v=7660d8588af6703681a2d7a699d8cab4&imageMogr2/format/webp)
/0/17052/coverorgin.jpg?v=20240328170543&imageMogr2/format/webp)
/0/19052/coverorgin.jpg?v=20d20ac0c20bddc983ba0a595dacb305&imageMogr2/format/webp)
/0/16748/coverorgin.jpg?v=dbdb06e80c4accb8a35c8be811cc63cd&imageMogr2/format/webp)
/0/5769/coverorgin.jpg?v=c24d6abac899f24c556b691ebac6fa3b&imageMogr2/format/webp)
/0/3275/coverorgin.jpg?v=84fc76bdd84181da74d2f2b3aabad44d&imageMogr2/format/webp)
/0/15108/coverorgin.jpg?v=fa08f31ad4cfd5743a6f2b10fcef2b17&imageMogr2/format/webp)