/0/13501/coverorgin.jpg?v=1a1199ebd16f44b6ec106fc74bf349fc&imageMogr2/format/webp)
"Maaf sebelumnya, Ning. Saya menerima pernikahan ini atas paksaan dari Abah dan Umik, bukan atas keinginan saya sendiri. Maaf kalau kita harus berjarak dulu, dan saya memperlakukan kamu dengan baik hanya saat di depan orang-orang."
Deg!
"Kita akan fokus pada urusan masing-masing, tanpa ikut campur satu sama lain. saya dengan kehidupan saya, dan kamu dengan kehidupanmu. Untuk pernikahan ini ... biar waktu yang menjawab, Ning."
Aku menggeleng. Bak mendengar sambaran petir yang langsung menghantam dada, kata-kata menyakitkan itu keluar dari mulut pria yang beberapa jam lalu melantunkan ijab qabul untukku.
Aaraf Ibrahim, pria yang saat ini menyandang status sebagai suamiku itu berkata tanpa adanya ekspresi berlebih. Wajah tampannya yang ditumbuhi jambang halus tampak dingin, bahkan mata hazel itu sama sekali tidak menatapku.
"Iya, Gus." Aku mengalihkan wajah agar dia tidak tahu tangisku sudah meledak. Ah, aku salah, bagaimana mungkin dia tahu? Dia saja tidak menatapku yang duduk di depannya.
"Saya tahu ini akan membuatmu sakit, tapi Abah memaksa saya. Tolong pahami kalau hati saya juga sakit, apa lagi saat hati saya masih untuk orang lain."
"Apa maksudnya?!" Aku mengangkat wajah dan menatap tajam bola mata itu, tidak peduli dia akan tahu lelehan air mata di wajahku.
"Saya mencintai wanita lain."
'Ya Allah ...,' batinku.
Aku menahan napas melihatnya yang begitu jujur mengakuinya perasaannya di hadapanku tanpa peduli perasanku. Apa dia pikir aku wanita tidak punya hati? Apa dia dikirim hanya untuk menghancurkanku?
"Seharusnya tidak usah menikahi saya, nikahi saja wanita itu. Jadi kita tidak sama-sama sakit."
Gus Aaraf menggeleng, "Abah sudah terlanjur memilihmu. Saat aku ingin melamar wanitaku, Abah sudah melamarmu lebih dulu."
Wanitaku? Dia terang-terangan mengakui wanita lain di hadapan istrinya. Aku tahu kami memang dijodohkan, bahkan sebelum pernikahan ini kami memang tidak pernah bertemu. Aku hanya melihat Gus Aaraf dari foto, tetapi entah dia pernah melihatku atau tidak.
"Lalu kamu mengorbankanku?" tanyaku dengan tawa sumbang, "beruntung kamu tidak punya saudara perempuan, Gus. Jadi kamu nggak akan melihat keluarga yang kamu sayangi terluka. Tapi ... keluargaku? Aku yakin Abah akan marah putrinya diperlakukan seperti ini."
Gus Aaraf terdiam dengan kepala menunduk, samar-samar aku mendengar bibirnya menggumamkan kata maaf. Namun, sangat lirih.
"Seharusnya kamu nggak perlu menjelaskannya, Gus. Katakan saja tidak mau menyentuhku, lalu aku akan maklum. Kalau begini ... aku akan sakit seumur hidup."
Hening! Pria itu masih diam. Dia adalah pria yang baik akhlaknya, dan ini salahku karena menjatuhkan hatiku padanya. Dia tidak bersalah, aku tahu itu! Abahnya yang melamarku hingga aku masuk ke kehidupannya.
Namun, tidak bisa kah dia menghormatiku sebagai perempuan?
Semua sepupuku menikah karena perjodohan, mereka bahagia dan damai bersama suaminya. Aku pikir, aku juga akan bahagia. Apa lagi Abah dan Umik mertua sangat ramah saat menyampaikan lamarannya bulan lalu. Ternyata, putranya malah menyakitiku.
"Maaf, Gus. Saya tidak bermaksud lancang, saya hanya ingin mengutarakan perasaan, seperti yang kamu lakukan malam ini. Saya ... saya menghormati kamu, saya ngerti," ucapku pasrah.
Cukup lama suamiku itu terdiam. Entah dia memikirkan perkataanku barusan, atau memikirkan kekasihnya?
"Maaf, Ning. Saya belum ada perasaan apa-apa sama kamu, jadi jangan berharap apa-apa kepada saya. Tapi, saya akan tetap memperlakukan kamu dengan baik, meskipun suatu saat nanti ada sikap saya yang akan menyakiti kamu."
"Tidak usah diperjelas, Gus. Saya nggak papa," jawabku dengan memaksakan senyum.
"Terima kasih, Ning. Kamu wanita baik."
Gus Aaraf berbicara dengan begitu tenang, lemah lembut, dan halus. Namun, tetap saja kata-katanya menusuk dalam ke jantung. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas-remas perasaanku.
"Malam ini dan seterusnya, saya belum bisa memberikan hak kamu sebagai istri. Sekali lagi maafkan saya, Ning." Gus Aaraf lantas bangkit dan menuju sofa.
/0/15923/coverorgin.jpg?v=8733d2099908bb77fe69856b61ccee43&imageMogr2/format/webp)
/0/20477/coverorgin.jpg?v=d3d102ccc325c6271f5cb994e6419429&imageMogr2/format/webp)
/0/8453/coverorgin.jpg?v=71ffe8c0b26e7425ad0689806dd70ff3&imageMogr2/format/webp)
/0/26436/coverorgin.jpg?v=662d31027b29deaa516232960da79bd2&imageMogr2/format/webp)
/0/29708/coverorgin.jpg?v=3827359843d935c521cf29575e8e68d4&imageMogr2/format/webp)
/0/17755/coverorgin.jpg?v=c03d6b2af81ce04d9d705988982426d3&imageMogr2/format/webp)
/0/14657/coverorgin.jpg?v=20250123120231&imageMogr2/format/webp)
/0/10794/coverorgin.jpg?v=6e423b4f4c2a0570dbf32f519b9e30fa&imageMogr2/format/webp)
/0/21638/coverorgin.jpg?v=93a4504fb4f119a1df890d35f8343a67&imageMogr2/format/webp)
/0/27691/coverorgin.jpg?v=cace5d0e391bec7ed65d8a9df2ed69c0&imageMogr2/format/webp)
/0/10919/coverorgin.jpg?v=b951d35476e971d09eb6f17859596274&imageMogr2/format/webp)
/0/29617/coverorgin.jpg?v=9b1d0a856e7e687ba3f6a96184efe968&imageMogr2/format/webp)
/0/27132/coverorgin.jpg?v=8a62a4074b9bfa878363e400e61cfb66&imageMogr2/format/webp)
/0/27200/coverorgin.jpg?v=b250a528e180dbffa54c6e5df87dedc1&imageMogr2/format/webp)
/0/16943/coverorgin.jpg?v=e961022ff4040c91094155cbd921ea3e&imageMogr2/format/webp)
/0/23532/coverorgin.jpg?v=4e60e3d262b3b2fb557ac9f345e1d24c&imageMogr2/format/webp)
/0/5274/coverorgin.jpg?v=6c0468ae171a01ff8164588e81f7dc7f&imageMogr2/format/webp)
/0/16515/coverorgin.jpg?v=cce79db0f75ce3167b39d18d99008fa6&imageMogr2/format/webp)