/0/24661/coverorgin.jpg?v=629f8f88baba399a125ab8ef389ce989&imageMogr2/format/webp)
Di sebuah ruangan kamar berukuran sangat luas dengan segala furniture lengkap berkualitas tinggi yang menghiasi kamar berukuran sepuluh meter yang merupakan ruangan pribadi dari seorang gadis berusia 12 tahun, tak lain adalah Aisyahzaara Bellova yang sedang duduk bersimpuh di lantai dengan posisi menekuk lutut dan membenamkan wajahnya di antara kedua paha..
Zaara tidak berhenti menangis di dalam kamar saat sang papa memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang wanita muda nan cantik yang lebih pantas menjadi tantenya setelah mamanya meninggal satu bulan yang lalu. Suara dari papanya yang baru saja mengucapkan Ijab Qabul bisa didengarnya dari ruangan kamar.
Tentu saja ia bisa menilai sosok wanita yang akan menjadi ibu tirinya adalah wanita yang terlihat jelas tidak menyukainya dan berpura-pura bersikap manis di depannya. Wajahnya yang sudah dirias oleh para MUA sudah berantakan karena bulir air matanya sudah memenuhi wajah.
Dengan tubuh bergetar dan masih sesenggukan, Zaara mengungkapkan kesedihannya, "Papa sangat jahat. Baru satu bulan mama meninggal, tapi papa sudah menikah lagi dengan wanita ular yang pasti akan membuat hidupku bagaikan di neraka seperti cerita di Tv."
"Mama, bawa aku bersamamu," isak Zaara dengan menangis tersedu-sedu. "Zaara takut pada wanita jahat itu. Kenapa mama meninggal tidak mengajak aku. Kenapa mama meninggalkan aku selamanya. Bagaimana nasib Zaara tanpa mama?"
Zaara tidak berhenti menangis terisak dengan air mata yang mulai menganak sungai di gaun indahnya yang berwarna putih. Suara tangisannya mulai memenuhi ruangan kamar. Belum puas ia menangis, suara ketukan pintu terdengar di telinga.
Ia menoleh ke arah pintu yang terbuka. Tak lama kemudian, bisa dilihatnya sang papa berjalan masuk ke dalam kamar bersama dengan wanita yang memakai kebaya pengantin tengah menatapnya dengan tatapan sinis.
"Putriku, kenapa menangis di sini, Sayang? Jangan membuat papa sedih dengan kamu mengurung diri dan menangis di dalam kamar. Ayo, sapa mamamu! Dia yang akan menjadi mama baru dan menyayangimu seperti mamamu yang telah meninggal," ucap Cakra Baihaqi seraya mengusap lembut rambut panjang putrinya.
Cakra beralih menatap ke arah wanita yang baru saja dinikahinya, "Sayang, ajak bicara putriku dan anggap dia seperti putri kandungmu sendiri. Aku akan membiarkan kalian berdua berbicara berdua dari hati ke hati sebagai ibu dan anak."
"Iya, Mas. Aku akan berbicara pada Zaara. Mas tenang saja, aku sudah menganggap putri Mas seperti putriku sendiri," ujar Rini Andriani dengan menampilkan senyuman manisnya. "
'Astaga, aku sangat mual dengan kata-kataku sendiri,' batin Rini.
Tatapan penuh kebencian diarahkan Zaara saat melihat tatapan sinis dari wanita yang dinikahi oleh papanya. Karena merasa sangat kesal, ia mendorong tubuh wanita yang berstatus sebagai mama tirinya. "Aku membencimu, jangan mendekatiku!" teriak Zaara dengan tatapan tajam.
Sontak saja dorongan kuat dari gadis berusia 12 tahun itu membuat Rini jatuh menghempas lantai.
"Aarrrgghhh ...."
Cakra Baihaqi yang baru saja hampir keluar dari ruangan kamar putrinya itu langsung menoleh ke arah sumber suara kesakitan dan melihat wanita cantik yang baru saja dinikahinya itu jatuh terduduk di lantai.
Sontak ia langsung berlari ke arah sang istri dan bisa melihat kilat amarah dari putrinya yang berdiri menjulang di depan wanita yang meringis kesakitan itu. "Zaara! Jaga sikapmu pada mamamu!" teriak Cakra dengan suara baritonnya dan langsung menolong istrinya. "Kamu tidak apa-apa, Sayang?"
Rini menggelengkan kepalanya dan mulai menjawab pertanyaan dari pria yang baru saja menikahinya, "Aku tidak apa-apa, Mas. Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Biarkan aku bicara berdua dengan Zaara. Mas tolong keluar sebentar!"
Melihat akting dari wanita yang sangat dibencinya, membuat Zaara langsung berteriak dengan keras. "Wanita jahat ini bukan mama Zaara. Zaara tidak mau punya mama tiri, dia sangat jahat, Pa."
Merasa sangat kesal atas ulah putrinya yang menurutnya sangat nakal, membuat Cakra langsung mengarahkan tangan hendak menampar putrinya yang menurutnya tidak mempunyai sopan santun pada orang yang lebih tua. Namun, tangannya dipegang oleh sang istri.
"Jangan, Mas! Zaara masih kecil, jadi belum mengerti apa-apa. Mas keluar saja karena sedang dikuasai oleh emosi. Biar aku yang mencoba berbicara pada Zaara," ujar Rini mencoba meyakinkan suaminya yang masih dikuasai oleh amarah.
"Baiklah, kamu ajari putriku yang nakal ini! Karena dulu mamanya sangat memanjakannya, jadi dia menjadi anak yang nakal. Aku serahkan putriku padamu," ucap Cakra seraya menepuk pundak wanita berparas cantik itu.
Rini menganggukkan kepalanya dan mulai menjawab perkataan dari suaminya. "Iya, Mas. Serahkan saja padaku."
"Jangan tinggalkan aku bersama wanita jahat ini, Pa! Dia akan menyakitiku!" teriak Zaara mengharap papanya tidak meninggalkannya.
Namun, teriakannya sama sekali tidak diperdulikan oleh papanya yang terlihat sudah menutup pintu. "Papa jahat," teriak Zaara yang beralih menatap tajam ke arah wanita yang sudah berdiri menjulang didepannya dan menatapnya dengan tatapan tajam.
Rini langsung tertawa sinis saat menatap gadis kecil yang tengah mengarahkan tatapan penuh kebencian padanya. "Papamu tidak akan menolongmu, gadis kecil karena dia sangat mencintaiku. Dia tidak akan memperdulikanmu lagi. Jadi, kamu harus sadar diri."
"Aaarrrgghhh ...." Zaara meringis kesakitan saat rambut panjangnya ditarik ke belakang oleh mama tirinya yang mengarahkan tatapan menakutkan.
"Jaga sikapmu padaku, Anak kecil! Jika tidak, aku akan membuat papamu membuangmu di panti asuhan!" hardik Rini yang semakin menjambak rambut dari gadis kecil yang sudah berkaca-kaca di depannya.
"Kau memang wanita jahat. Lepaskan tanganmu dari rambutku! Aarrggghhh ...." Zaara merasakan rambutnya yang semakin ditarik oleh mama tirinya, membuat ia meringis kesakitan. Hingga bulir bening membasahi wajahnya saat merasakan sakit yang sangat luar biasa pada kepalanya.
/0/5526/coverorgin.jpg?v=20250121171520&imageMogr2/format/webp)
/0/13755/coverorgin.jpg?v=5cf8e2c20bae6fde0913aa20d065e731&imageMogr2/format/webp)
/0/5243/coverorgin.jpg?v=2fb2e20e62d5ea065f773049861dd861&imageMogr2/format/webp)
/0/2667/coverorgin.jpg?v=4b4be19258c78133b27e536eca4f09be&imageMogr2/format/webp)
/0/15350/coverorgin.jpg?v=20250123120751&imageMogr2/format/webp)
/0/19448/coverorgin.jpg?v=20240830165606&imageMogr2/format/webp)
/0/9901/coverorgin.jpg?v=c5a688892d8fd2c944a49f164166604f&imageMogr2/format/webp)
/0/9513/coverorgin.jpg?v=840fcd2bcc005de710496e808b45f4a5&imageMogr2/format/webp)
/0/5585/coverorgin.jpg?v=cd2bceb62c4a8f9e152855606ed55ab0&imageMogr2/format/webp)
/0/4037/coverorgin.jpg?v=8bfe3620bd9e16b9b38c6f948bc9a606&imageMogr2/format/webp)
/0/6397/coverorgin.jpg?v=769b06958a414109ceac1d6882d8c676&imageMogr2/format/webp)
/0/20472/coverorgin.jpg?v=4fb0d865e04144e38b7702a58751c292&imageMogr2/format/webp)
/0/17375/coverorgin.jpg?v=f5494a05a3dc42a3314fa0f160ba5c1f&imageMogr2/format/webp)
/0/18532/coverorgin.jpg?v=20240701114441&imageMogr2/format/webp)
/0/17851/coverorgin.jpg?v=20240603152039&imageMogr2/format/webp)
/0/17759/coverorgin.jpg?v=20240927113502&imageMogr2/format/webp)
/0/3921/coverorgin.jpg?v=20250122110443&imageMogr2/format/webp)
/0/2822/coverorgin.jpg?v=a394d49e6d206dbc836e8567a0e4cf86&imageMogr2/format/webp)
/0/20455/coverorgin.jpg?v=20241129055929&imageMogr2/format/webp)