Perpisahan adalah mimpi buruk bagi seorang anak berusia tujuh tahun, Zain bocah lelaki ini terus teringat ibunya ketika ia telah pergi dari rumah mewah itu, bersama Rio-ayah tiri Zain mereka berdua sama-sama saling menguatkan tanpa kehadiran Elena hari-hari yang hanya dilalui berdua membuat hidup Rio sedikit berubah, Zain benar-benar telah merubah hidupnya menjadi seorang ayah seutuhnya entah ia saja yang merasa demikian. Setelah Zain muncul berbagai kehidupan baru bermunculan, bocah yang ia sebut peramal ini ternyata punya rahasia besar siapa sangka ia pun telah tau ternyata ibunya seorang pelacur berbagi hal coba diungkap namun jika Zain tak bicara sendiri, maka ia tak akan menemukan jawabanya. "paman, besok ibu akan datang bersama tante Sarah dua orang itu ingin menyerangmu nanti malam." "menyerang?"anggukan yang membuat Rio semakin penasaran ada rasa merinding diseluruh tubuhnya terutama bagaian miliknya. "mereka sama-sama mengenakan baju tipis berwarna merah menuju kamarmu, dan menaruh pil diminumanmu, setelahnya emm aku tidak tau". "yatuhan aku harus bersiap-siap menghadapi dua wanita iblis hari ini"Rio tersenyum kecut mengusap kasar wajahnya sampai kapan ia terus dihantui dua wanita menakutkan itu?. "tapi aku senang paman ibu akan kembali".
Seorang lelaki tinggi tegap menghampiriku bersama ibu ia tersenyum ramah semakin dekat padaku mereka seperti pasangan mengenakan baju yang sama dan jika kulihat-lihat wajah mereka sedikit mirip membuatku teringat sosok ayah yang bahkan tak pernah kuketahui siapa dirinya, ibu sangat cantik dengan gaun hitam itu ia tersenyum lembut padaku memamerkan senyum terbaiknya membuatku seketika senang melihatnya.lelaki tinggi tegap itu menghampiriku berjongkok menatapku aku sedikit takut padanya namun melihat senyumnya yang begitu menawan menghilangkan rasa takutku ia memegang pundakku sambil berkata
"Hei nak boleh ku miliki ibumu yang cantik dan menawan ini?"aku sedikit terkejut mendengarnya namun secara spontan aku mengangguk paham menatap wajah ibuku yang tersenyum begitu ceria hari ini, mengisyaratkan bahwa aku harus menjawabnya karna tak ingin melihat wajah kecewa ibu aku membalas ucapan lelaki tinggi itu
"boleh paman asal jangan pernah sakiti ibuku, dia sangat suka menangis"lelaki itu hanya tertawa singkat lalu menatapku dengan tulus tatapanya benar-benar membuatku terpesona
"tidak akan nak, jika aku menyakiti ibumu maka bunuh saja aku, aku akan menjadi lelaki kurang ajar jika melakukan itu"aku tertegun mendengar kata-katanya yang begitu serius meski usiaku masih tujuh tahun namun aku tahu arti dari ucapan itu
"aku percaya padamu paman, ibuku sungguh kesepian aku tau kau akan menikah denganya"lelaki tinggi itu lagi-lagi tertawa
" Ha.. Ha.. kau seperti peramal nak. apa cita-citamu nanti?"
"menjadi orang besar paman, agar ibu tak perlu mengeluarkan banyak keringat untuk bekerja dengan begitu aku bisa melihat ibu tersenyum setiap hari"Lelaki itu sedikit terkejut pada ucapan ini, apa ia tahu apa pekerjaan ibunya?.
"wah ibumu sepertinya pelit senyuman aku jadi ragu menikahinya"lelaki tinggi itu tertawa sedikit menolehkan pandanganya pada ibu yang wajahnya memerah memahan malu, aku sangat senang melihat wajah ibu yang tak biasa seperti ini.
"maka buatlah dia bahagia paman agar aku dan kau bisa setiap hari melihat senyumanya, emmm.. Jangan ragu menikahi ibuku paman dia wanita yang manis kau pasti beruntung memilikinya"entah apa yang ada dibenakku namun aku mengatakan itu tanpa berpikir tiba-tiba keluar membuatku terdiam beberapa saat, ibu bukanlah wanita yang sempurna namun entah mengapa aku mengatakan "beruntung memilikinya".
"maka sebentar lagi kau akan mempunyai seorang ayah"
"panggil saja dia Daddy, emm.. Daddy Rio"ibu tiba-tiba memotong pembicaraan membuat kami berdua, aku dan paman Rio seketika menoleh
"tapi aku ingin memanggil paman dengan sebutan paman atau om, atau juga uncle seperti yang teman-temanku bicarakan"aku mengatakan sejujurnya entahlah ibu marah atau tidak namun jujur aku sangat tak nyaman jika memanggil dengan sebutan daddy maklum ini pertama kalinya ibu mengenalkan seorang lelaki padaku.
"Ha... Ha.. Terserah kau saja, ngomong-ngomong siapa namamu boy terlalu senang berbincang hingga lupa mengenalkan diri"
"Hasanama Bhatory panggil saja aku Zain paman"paman Rio melongo sedetik kemudian tertawa dengan keras hingga mengeluarkan air mata, aku sangat heran kenapa lelaki itu tertawa apa ada yang aneh dengan namaku?, jujur aku tak merasa demikian, aku juga melihat ibu sedikit menahan tawa plus menahan malu terlihat dari wajahnya yang semerah tomat.
"ternyata bukan hanya ibunya anaknya pun sama Ha.. Ha.. Hasanama Britana panggil saja aku Elena ibumu mengatakan itu dengan malu-malu, sambil menunduk layaknya gadis desa, hei nak mengapa nama panjangmu Hasanama Bhatory namun kau ingin dipanggil Zain Ha.. Ha.. Lucu sekali nama kalian berdua"lelaki itu tertawa lagi membuatku melongo dan menatap ibu yang wajahnya semakin memerah
"sudahlah kau mempermalukanku didepan anakku sendiri"
"kapan ibu akan menikah?"pertanyaan itu tiba-tiba muncul dipikiranku dan mampu membuat keduanya berhenti tertawa lalu menatapku serius
"nak kau serius akan merestuiku sebagai ayahmu?"aku mengganguk menatap wajah paman Rio yang tegas dan serius
"aku serius paman asal jangan pernah sakiti ibuku, jangan membuatnya menangis dan sayangi dia seperti kau menyayangi istrimu dulu"
Deg
paman Rio terlihat terkejut dengan ucapanku membuatnya menurunkan tanganya dari bahuku.
"sepertinya sekarang aku percaya bahwa kau ini benar-benar peramal"
********
Dua bulan hanya dua bulan saja paman Rio mampu bertahan dengan ibu setelah pernikahan mewah yang digelar tujuh hari berturut-turut itu, hanya menyisakan kenangan semata tanpa mampu dipertahankan lebih lama aku yang melihat ibu pergi ditengah malam yang kupikir hanya akan pergi mencari angin nyatanya pergi untuk selamanya meninggalkan aku dan paman Rio sendiri dirumah besar ini, menangis layaknya bayi hanya akan membuat paman Rio semakin naik pitam
Aku menangisi kepergian ibu dan menangisi kehancuran keluarga baruku yang menyenangkan, aku tak tau apa yang terjadi sebenarnya terdiam tanpa keluar kamar meski beberapa kali pembantu datang mengedor pintu dengan keras bahkan nekat memanjat jendela kamar, aku tak mau makan sudah kubilang padanya aku hanya ingin ibu, aku akan makan ketika ibu datang dan jika selama itu ibu tidak datang maka aku tidak akan makan, katakan aku memang bocah bendel aku tak peduli aku hanya ingin ibu disini!, sambil terisak aku memandang fotonya tersenyum sangat cantik itu.
"Zain, boleh aku masuk"aku mengarahkan pandanganku kepintu, menatapnya kosong beberapa saat terdiam hingga paman Rio mengetuk pintu kamar lebih keras lagi
"Zain, aku akan masuk tanpa seizinmu"
"jangan masuk paman, aku sedang menangis disini kau bilang bahwa lelaki yang menangis adalah pecundang, aku tak ingin paman melihatku menangis karna aku tak ingin dikatakan pecundang"tidak ada jawaban dibalik pintu itu membuatku semakin sesak menangis
"Zain, ibumu tak akan pulang ketahuilah jika kau seperti ini ibumu akan sakit juga kudengar insting seorang ibu itu kuat apa yang anaknya rasakan ibu pasti merasakanya juga"
"aku memang masih kecil paman tapi aku tak mudah dibohongi jangan merayuku untuk makan seperti anak kecil lainya, aku hanya ingin ibu disini, bawa ibu kesini paman aku sangat merindukanya"tangisku semakin pecah dikala mengatakan ibu entahlah pikiranku hanya ibu, ibu dan ibu, tuhan izinkanku bertemu denganya.
"hei kau pikir setelah ibumu pergi aku juga senang"
"bukanya paman yang menyakiti ibu hingga membuatnya pergi"dibalik pintu mungkin paman Rio sedang memikirkan jawaban yang tepat atau menghela nafas panjang
"aku tak pernah meragukan ucapanmu Zain, kau memang peramal dan kau benar aku telah membuat ibumu pergi dan mungkin tak akan kembali"tangisku semakin mengaum dibalik kesunyian malam rumah megah ini, kenapa paman Rio begitu tega entahlah aku sama sekali tak berniat tinggal disini lagi aku ingin pergi, mencari ibu ide itu tiba-tiba muncul diotakku.
"aku bisa menjelaskanya Zain, namun jika kau marah padaku itu hakmu aku sama sekali tak membujukmu untuk mendengarku"aku hanya terdiam menatap pintu itu, sama sekali tak ada niat membukanya hingga paman Rio benar-benar pergi, namun aku tau paman Rio masih menimang-nimang pilihanya
"aku akan pergi Zain, maafkan aku telah menjadi ayah yang buruk untukmu"
Cklek
Mata kami saling bertatapan entah angin apa yang membuatku membuka pintu untuk paman Rio, ia bereskpresi sangat datar berbeda dari pemikiranku yang lain, paman Rio berjongkok mensejajarkan tingginya denganku tersenyum sangat tulus setelah berhari-hari hanya tatapan benci yang sering ia berikan, terisirat rasa bersalah dimatanya membuatku iba namum sebisa mungkin biasa saja aku tak bisa memafkan orang yang telah menyakiti ibuku dan membuatnya pergi.
"aku memberimu waktu lima menit paman"Aku menunduk menghindari tatapan mata paman Rio, aku tak suka tatapanya sangat mirip dengan ibu dan kembali mengingatkanku pada dirinya.
"Zain kau masih kecil untuk mengetahui masalah orang dewasa, mulai sekarang kau tak akan menemui ibumu kau akan tinggal disini bersamaku dan aku berjanji akan merawatmu, anggap saja aku ibu serta ayahmu aku bisa menjadi keduanya"
"tidak paman kau tidak bisa menjadi keduanya, karna ibuku terlalu sempurna untuk digantikan tidak ada siapapun yang bisa menggantikan ibu Elena dihatiku, tidak akan ada paman..."paman Rio tersenyum tulus matanya nampak berkaca-kaca namun tak ada air mata yang keluar dimatanya sepertinya ia sangat menahan hal itu keluar.
"ibumu memang tak pernah tergantikan, sama dihati ini hanya ada ibumu Zain, ibumu lah satu-satunya wanita yang kucintai, maafkan aku telah membuat ibumu pergi"paman Rio memelukku begitu erat aku hanya terdiam tanpa berniat membalas kosong sekarang aku bingung harus melakukan apa, ada air menets dipundakuu pasti paman sedang menangis saat ini.
"katakan saja paman apa yang terjadi aku bukan bayi yang tak tahu apa-apa, ibu bilang aku adalah lelaki dewasa yang selalu mengerti dirinya maka aku mengangap diriku akan mengerti masalah dari paman dan ibu"
"kau tak akan mengerti bagaimana sulitnya memahami semua ini, namun Zain jika kau telah besar nanti jangan pernah cari ibumu jangan memeluknya atau kau akan kehilangan aku"
"aku benci orang dewasa mengapa mereka semua sangat egois paman, tak memikirkan bagaimana perasaanku yang mesih kecil ini, mengingatkanku betapa senangnya kita bersama ibu membuatku semakin menangis mengingat ibu benar-benar egois telah meninggalkanku bersama orang baru"paman Rio melepas pelukanya menatapku dengan iba, ia menghapus air mataku dengan kedua ibu jarinya
"mulai sekarang kita akan tinggal berdua camkan itu dan berjanji tak akan menyebut ibu Elena lagi, demi kebaikanmu dan kebaikanku"
"paman berniat menghapus ingatanku dengan ibu?"
"Ha.. Ha.. Tidak Zain kejam sekali aku jika melakukanya, tidak ada gunanya menangisi orang yang telah pergi hanya akan membuatmu menderita, lupakanlah sejenak semua akan baik-baik saja tanpa ibu Elena"aku melotot mendegar ucapan paman namun sepersekian detik aku menunduk menyembunyikan wajah sedihku yang kentara
"aku tak bisa paman..."
"kau bisa Zain bukan melupakan kita mencoba beradaptasi tanpanya"
"aku sangat menyayangi ibu aku ingin disisinya saat ini"
"bangunlah pecundang jangan seperti bayi yang linglung tanpa ibu, hei Zain kau lelaki ingat itu"
"kau juga lelaki, kau juga yang menyakitinya kenapa kau bicara bahwa kau menyesal telah membuat ibu pergi seolah-olah kau yang paling benar disini paman... Aku tau kau juga sedih tanpanya"
"kau benar aku sedih tanpanya tapi setidaknya aku masih memikirkan bagaimana hari-hariku nanti, kehilangan bukan berarti kita harus terus bersedih mungkin ibumy juga tak peduli padamu hingga tak mengajakmu pergi denganya"
"sepertinya benar ucapanmu paman, aku akan mencoba tak mengingat ibu lagi"