Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jay and her Odd Daddy

Jay and her Odd Daddy

BabyAlien69

5.0
Komentar
491
Penayangan
14
Bab

"Semua butuh uang!" adalah realita Jay. "Jangan menjual harga dirimu untuk uang," merupakan prinsip yang diajarkan oleh ibu Jay. Jayashri, akrab disapa Chai. Gadis di awal usia 20-an yang menghadapi dilema antara kebutuhan dan prinsip.  Semua berawal dari pertemuan pertama mereka di taman RS. Ketika seorang pria asing menghentikan usaha putus asa yang Chai hendak memotong nadinya-sekaligus untuk memotong semua tekanan hidup dan ekonominya yang menggila. "Pekerjaan ini disebut sugar baby." "Maaf. Mungkin aku memang miskin, tapi saya tidak akan menjual harga diri demi uang!" Chai berlalu meninggalkan sang pria. Hingga kemudian takdir kembali mempertemukannya dengan pria itu. Untuk kedua kalinya, pria itu kembali menyentuh topik yang sama, namun kali ini dengan pendekatan yang berbeda. "Kontrak bisa didiskusikan, tidak ada pelecehan, ini adalah hubungan timbal balik." Chai dilema. Haruskah ia menerima tawaran pria tersebut? Realita atau prinsip?

Bab 1 Jay, Bukan Laki-laki. Miskin Tepat Sekali.

"Saya memiliki sebuah penawaran untuk kamu. Itupun jika kamu tidak keberatan." Chai memfokuskan pandangannya kepada pria di hadapannya untuk menyimak kalimat selanjutnya. Penawaran apa yang dimaksud? Perasaan Chai mulai tidak nyaman.

"Begini. Singkatnya, pekerjaan ini normalnya disebut sebagai sugar baby."

Mata Chai membola. Apa dia tidak salah dengar? Miskin-miskin begini, kolot-kolot begini, Chai juga tahu mengenai istilah-istilah mesum itu. Chai tidak mengerti. Apa yang ada di benak pria di hadapannya, menawarinya pekerjaan yang jelas-jelas ia tahu sangat tidak cocok untuknya?

Chai sadar, ia tidak punya fisik yang semulus itu untuk bisa menjadi seorang sugar baby. Di atas itu semua, Chai masih waras dan tidak akan menggadaikan dirinya hanya untuk melunasi hutang budi tunggakan rumah sakit bapaknya.

"Jadi di sini itu ...."

Kalimat pria itu terpotong oleh dengusan napas Chai yang keras seperti banteng yang tengah mengamuk. Ya, Chai memang marah dan tidak berusaha untuk menyembunyikannya.

"Mungkin saya miskin, dan memang benar begitu. Tapi jangan berpikir jika saya akan menjual diri hanya karena tidak punya uang dan pekerjaan. Saya bukan perempuan seperti itu. Permisi."

Dan begitulah pertemuan mereka berakhir. Chai berderap meninggalkan tempat itu sembari menahan air matanya yang hendak tumpah ruah. Tidak mengacuhkan seruan pria itu di belakangnya, hanya sibuk menahan kekesalan serta rasa terhina yang melukai batinnya. Ia tidak akan pernah terbiasa, tak peduli berapa kali merasakannya.

Chai menyesal, benar-benar menyesali takdirnya bertemu dengan pria itu. Pria tidak dikenal yang sudah banyak memberi bantuan finansial, namun ironisnya justru melecehkannya seperti ini. Kalau bisa, Chai tidak ingin kenal dengan pria itu sekalian!

Ini semua bermula dari beberapa minggu lalu, pada pertemuan pertama mereka yang dramatis, sekaligus agak tragis.

•••

Sore itu, Chai merasa tidak ingin pulang ke rumahnya sendiri. Gadis itu sudah pamit pada sang ibu, dari siang sebelum berangkat menjaga sang bapak di rumah sakit. Chai bilang pada jika dia akan menjaga sang bapak sampai pagi, tidak usah digantikan oleh adik-adiknya. Chai kasihan pada si kembar yang kebetulan memang tengah memasuki masa-masa UAS. Gadis 21 tahun itu tidak ingin mengganggu waktu belajar adik-adiknya.

Malam hari selepas sang bapak tertidur, Chai memutuskan untuk duduk sendirian di spot favoritnya. Pikirannya kacau akibat sebuah surat administrasi rumah sakit bertuliskan jumlah yang harus segera dibayar sementara Chai benar-benar sudah kehabisan akal. Depresi yang telah ia alami semenjak jaman sekolah, malam itu terasa semakin menjadi-jadi. Orang bilang, setan akan lebih mudah menggoda manusia untuk melakukan hal-hal gila saat manusia tersebut sedang berada dalam titik terendahnya.

Chai berjalan gontai tanpa arah, mulai dikuasai oleh kesedihan dan keputusasaan. Mungkin kalimat bijak tersebut benar adanya. Ketika Chai melihat sebuah pisau cutter serta sampah-sampah bekas buah yang ditinggalkan di atas sebuah meja gazebo, tak jauh dari spot favorit Chai menyendiri. Gadis itu merasa terpanggil oleh kilatan tajam lempeng pisau murahan yang semakin terlihat tajam ditimpa sinar lampu bangunan rumah sakit.

Chai hanya bergerak mengikuti nalurinya. Berjalan gontai, matanya yang kosong terlihat kontras dengan derap langkah yang lurus dan pasti menuju tempat di mana pisau tersebut berada. Orang bilang, bahasa lain dari jodoh adalah pertemuan. Chai berpikir, mungkin sudah jodohnya untuk menemukan pisau bekas memotong buah yang masih terlihat baru itu di meja gazebo rumah sakit. Mungkin pisau itu adalah jodohnya untuk kemudian berjodoh lagi dengan kematian.

Chai merampas pisau tersebut, memperkirakan posisi dan kedalaman luka yang tepat agar kematian benar-benar mendatanginya malam ini. Tangan kasar dan berwarna kecokelatan akibat sering terpanggang sinar matahari di ladang itu sudah bergerak hendak memutus nadinya sampai putus, memutuskan pula tekanan di hidupnya yang tak kunjung usai.

Tanpa Chai sadari, tindakan anehnya telah diperhatikan sejak awal oleh seorang pria yang berdiri di balik keremangan ekor koridor rumah sakit. Posisinya cukup tersembunyi hingga Chai yang sebelumnya sudah menengok kiri-kanan sebelum mengambil cutter pun tidak menyadari kehadirannya.

Tepat ketika Chai sudah hendak mengiris pergelangan tangannya, pria itu menghambur keluar dari persembunyiannya. Secepat kilat, menahan pergelangan tangan Chai dan membuang cutter jauh-jauh.

Pria misterius itu tidak melepaskan tangan Chai yang menatapnya dengan sorot heran, terkejut dan takut. Sebaliknya malah menarik tangan gadis itu keluar dari pelataran rumah sakit menuju sebuah kafe tak jauh dari sana. Pria aneh itu membelikan Chai segelas cokelat hangat dan membujuk Chai untuk berbicara.

Pria aneh itu menguarkan aura yang menenangkan. Chai tidak tahu apakah hal itu atau bebannya yang sudah sedemikian menumpuklah yang kemudian mendorongnya untuk mulai menuturkan masalah hidup.

Menuturkan tentang kesulitan keuangannya, tentang tekanan yang dialaminya, mengenai keterbatasan ekonomi dan cobaan bertubi-tubi. Mengenai keresahan diri karena sebagai anak sulung, ia tak dapat berbuat banyak untuk membantu ekonomi keluarga. Sementara tagihan rumah sakit tak mau menunggu. Lucunya negeri ini, keluarga Chai yang jelas-jelas masuk dalam kategori tidak mampu, justru malah tidak mendapatkan bantuan berupa BPJS Kesehatan khusus untuk masyarakat kurang mampu.

Beban dan tekanan yang telah ia tahan selama berhari-hari-bahkan berminggu-minggu semenjak sang bapak mulai sakit- laksana bendungan yang ambrol. Kala Chai selesai meluapkan semua isi hatinya, gadis itu tak kuasa membendung air mata. Gadis itu menangis tersedu-sedu di depan orang asing. Hal yang baru pertama kalinya terjadi.

Hanya sampai di sana, Chai bersyukur ia cepat sadar dan mengerem mulutnya. Hampir saja ia terlena dan menceritakan lebih banyak lagi pada pria asing berwajah teduh di hadapannya ini. Pria itu tak pernah memotong ucapannya sama sekali, bahkan memberikan beberapa helai tisu yang tersedia di meja mereka untuk Chai menghapus air mata dan ingusnya.

Pertemuan aneh mereka malam itu ternyata berujung pada perubahan nasib bagi Chai sendiri. Keesokan harinya ketika Chai berniat hendak meminta keringanan pada pihak rumah sakit, jawaban staf kasir berambut disanggul tersebut membuat Chai serasa bermimpi.

"Maaf, Mbak. Tapi tagihan rumah sakit atas nama Bapak Rismawan, sudah dilunasi seluruhnya tadi pagi."

Chai melongo. Apa?

"Bahkan Mbak juga tidak perlu khawatir mengenai biaya kontrol Bapak Rismawan selanjutnya. Semua sudah dijamin, jadi Bapak Rismawan bisa terus datang secara rutin ke rumah sakit untuk kontrol hingga dinyatakan sembuh oleh dokter ya, Mbak," tambah sang staf semakin membuat mata Chai terbelalak lebar.

"Ka-kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayarnya, Mbak?" Chai tergagap, masih dikuasai kejutan. Staf tersebut tersenyum sebelum mengecek komputernya, lalu kembali menatap Chai dengan ekspresi meminta maaf.

"Maaf, Mbak. Tapi saya tidak punya wewenang untuk memberikan informasi pribadi terkait dermawan tersebut ...."

"Namanya, aja, Mbak?" desak Chai dengan tatapan memohon paling mumpuni. Sayangnya hal itu tidak mempan untuk meluluhkan sang staf.

"Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Mbak ...." tandas sang staf sopan, namun final. Chai menghela napas kecewa, berlalu dari sana setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih. Pikiran Chai masih dipenuhi rasa penasaran mengenai dermawan misterius, bahkan ia tidak begitu fokus ketika siangnya, ia menemani bapaknya pulang dari rumah sakit.

Sang Ibu menyambut kedatangan mereka dengan sukacita, adik lelakinya membantu Chai memapah bapak mereka yang masih lemah untuk masuk ke dalam rumah. Adik perempuannya sigap menyiapkan minum dan menghamparkan selimut di atas tubuh sang kepala keluarga. Bapak Chai tersenyum lemah, mengucapkan terima kasih dan membelai kepala kedua anak kembar berbeda jenis kelamin itu.

"Bagaimana bisa kamu berhasil meyakinkan rumah sakit hingga Bapak sudah dibolehkan pulang seperti ini?" Ibu Chai menarik putri sulungnya ke dapur, bertanya dengan jejak kekhawatiran yang nyata terpatri di wajahnya. Kekhawatiran yang sejak tadi ia sembunyikan di hadapan sang suami dan si kembar.

Begitulah seorang Ibu, selalu pintar menyembunyikan segala resah dari wajahnya, dari orang-orang tercinta. Setidaknya itulah yang Chai pelajari dari ibunya. Gadis berambut sepunggung itu menghembuskan napas pelan, semakin menambah kerutan di kening sang ibu.

"Chai nggak tahu, Bu. Ketika Chai baru aja mau minta keringanan ke staf rumah sakitnya, Chai tiba-tiba diberitahu kalau semuanya sudah dilunasi."

Terdengar kesiap napas sang ibu, terkejut. Kedua tangannya menutup mulut. Chai mengangguk, melanjutkan penjelasannya seperti yang dituturkan staf rumah sakit tadi siang.

"Siapa dermawan itu sebenarnya?" tanya ibu Chai dengan tatapan menerawang. Chai menggeleng lelah, itu juga merupakan pertanyaannya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku