Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Sugar Daddy Dosenku

Sugar Daddy Dosenku

sumini

5.0
Komentar
4.1K
Penayangan
17
Bab

Sebagai mahasiswa, Nina tahu betul bagaimana sulitnya membiayai hidup di kota besar. Beasiswa memang ada, tetapi itu tidak cukup untuk menutupi biaya hidup dan keperluan lainnya. Apalagi, keinginan untuk memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan dasar selalu mengintai. Inilah yang membuatnya terjerumus ke dalam dunia yang selama ini hanya ia dengar dari gosip-gosip teman.

Bab 1 Di Balik Laya

Nina melangkah masuk ke dalam kafe mewah dengan perasaan campur aduk. Sebagai seorang mahasiswa yang tengah berjuang menyelesaikan kuliah di tengah-tengah himpitan ekonomi, keputusan untuk bertemu dengan seorang pria yang menawarkan kehidupan lebih baik terasa seperti menjual jiwanya. Namun, ia telah memikirkannya matang-matang. Kehidupan tidak semudah yang dibayangkan, dan mungkin ini adalah satu-satunya cara untuk keluar dari keterpurukan.

Pria yang akan ditemuinya bukanlah sembarang orang. Namanya Andi, seorang pria mapan berusia 45 tahun yang selama ini hanya ia kenal melalui pesan singkat. Percakapan mereka di dunia maya terasa begitu realistis dan penuh janji. Andi menawarkan sesuatu yang lebih dari sekedar materi-perhatian, kenyamanan, dan rasa aman yang Nina selalu dambakan.

Nina menemukan Andi duduk di pojok kafe, mengenakan setelan jas yang rapi. Saat tatapan mereka bertemu, senyuman Andi mengembang, menyambut kedatangan Nina dengan antusiasme yang terkendali. Nina merasa gugup, tapi mencoba menutupi rasa gelisahnya dengan senyuman kecil.

"Selamat datang, Nina. Aku senang akhirnya kita bisa bertemu langsung," sapa Andi sambil berdiri dan menjabat tangan Nina dengan hangat.

"Iya, Pak Andi. Senang juga bisa bertemu," jawab Nina sambil duduk di kursi di depannya. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha tetap tenang.

Andi memesan dua cangkir kopi sebelum memulai percakapan yang lebih pribadi. "Kau terlihat jauh lebih cantik dari foto-foto yang kau kirimkan," ujarnya sambil mengamati Nina dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Nina tersipu, mencoba menahan rasa malu yang mulai merayapi dirinya. "Terima kasih, Pak Andi. Anda juga terlihat... lebih berkarisma daripada di foto."

Andi tertawa kecil, senyumannya membuat Nina sedikit lebih rileks. "Kau tidak perlu gugup, Nina. Aku di sini hanya untuk berbincang dan mengenalmu lebih dekat. Anggap saja kita sedang bertemu teman lama."

Mereka berbincang tentang banyak hal-kuliah Nina, kehidupan sehari-hari, hingga obrolan ringan tentang tempat-tempat yang pernah Andi kunjungi. Nina mulai merasa lebih nyaman, meski ada sedikit rasa canggung yang tak dapat ia hilangkan sepenuhnya. Setelah beberapa saat, Andi mulai membicarakan topik yang lebih serius.

"Aku tahu hubungan ini mungkin terasa aneh bagimu, Nina," Andi memulai, menatap mata Nina dengan serius. "Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak akan memaksakan apa pun. Aku hanya ingin memastikan bahwa kau merasa nyaman dan tahu apa yang kau inginkan dari hubungan ini."

Nina menelan ludah, mencoba menata pikirannya sebelum menjawab. "Saya mengerti, Pak Andi. Saya sudah memikirkan ini dengan baik, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Saya hanya berharap kita bisa saling menghormati dan... tidak ada paksaan."

Andi mengangguk, terlihat puas dengan jawaban Nina. "Itulah yang aku harapkan juga, Nina. Hubungan ini harus berdasarkan rasa saling percaya dan pengertian. Aku ingin kau merasa aman dan nyaman bersamaku."

Setelah obrolan itu, Andi mengajak Nina ke sebuah hotel yang tidak jauh dari kafe. Mereka berjalan berdua, dengan Andi yang terus-menerus memastikan bahwa Nina merasa nyaman. Di dalam kamar hotel yang mewah itu, Nina merasa sedikit canggung, meski Andi terus berusaha membuatnya merasa rileks.

"Minumlah sesuatu, Nina. Aku tahu ini mungkin terasa sedikit menegangkan untukmu," ujar Andi sambil menuangkan anggur ke dalam gelas dan menyodorkannya pada Nina.

Nina mengambil gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu meneguk anggur itu perlahan. Rasanya sedikit pahit di mulutnya, namun ia terus minum, berharap cairan itu bisa sedikit meredakan kegugupannya. Andi duduk di sebelahnya, menyentuh tangan Nina dengan lembut.

"Aku ingin kau tahu bahwa kau sangat menarik bagiku, Nina. Aku sudah lama menantikan momen ini," bisik Andi di telinga Nina, membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

Nina menatap Andi, mencoba membaca maksud dari perkataannya. "Saya juga, Pak Andi. Saya... ingin mencoba menjalaninya."

Andi tersenyum, lalu menarik Nina ke dalam pelukannya. Sentuhan pertama mereka terasa begitu intens, penuh dengan gairah yang selama ini terpendam. Nina bisa merasakan tubuhnya mulai merespons sentuhan Andi, meski ada sedikit keraguan yang masih membayang di benaknya.

Andi membimbing Nina menuju tempat tidur, menciuminya dengan penuh gairah. Nina mengikuti setiap gerakan Andi, meski di dalam hatinya masih ada sedikit ketakutan. Ia tahu bahwa ia telah memilih jalan ini, dan tidak ada jalan untuk kembali.

Di atas ranjang yang empuk itu, Andi mulai mengeksplorasi tubuh Nina dengan tangan-tangannya yang terampil. Ia mencium setiap inci tubuh Nina, membangkitkan sensasi yang belum pernah Nina rasakan sebelumnya. Gairah mulai menguasai Nina, mengalahkan rasa takut yang tadi menghantuinya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder

Romantis

5.0

Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku