Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
"Nanti pas acara makan-makan, kalian bagian makan paru sama ampela aja ya. Jangan makan daging yang disajikan di atas meja!" ucap Ibu mertuaku ketika aku dan Mas Ruslan sedang sibuk memasak di dapur.
"Kenapa, Bu?" tanyaku memberanikan diri.
"Takutnya nanti keluarga Dina sama Dimas tidak kebagian!" sahut ibu mertuaku.
"Lalu Danis?" tanyaku lagi. Merujuk pada putraku yang baru berusia 4 tahun.
Ibu mertuaku itu langsung melemparkan delikan masam. "Dia makan sesuai dengan apa yang kamu makanlah, Tri. Begitu aja mesti banget ditanya!" seru mertuaku kesal.
"Sama satu lagi, kalian juga jangan ikut bergabung di meja makan bersama keluarga suami dan istrinya Dina dan Dimas. Jangan malu-maluin. Kalian makan aja di dapur!" perintah ibu mertua.
Selesai mengucapkan kalimat tidak menyenangkan itu, ibu mertua langsung berbalik pergi meninggalkan dapur. Menyisakan aku dan Mas Ruslan yang hanya bisa berdiri bengong.
"Mas, kok ibu bisa tega banget gini sama kita?" Aku bertanya retoris pada Mas Ruslan, suamiku.
Faktanya aku tahu dengan sangat jelas alasan dari sikap ibu mertua yang seperti ini. Tidak lain karena di mata ibu mertua, kami hanya orang miskin. Tidak seperti Mbak Dina yang menikah dengan anak pejabat. Atau seperti Dimas yang bisa menikahi anak pengusaha kaya raya.
"Udahlah, Tri. Kita ngalah aja sama ibu. Kita makan enaknya besok aja ya," hibur Mas Ruslan seraya mengelus bahuku pelan.
"Hm," Aku berguman pelan. "Tapi kamu baik-baik aja, Mas?" tanyaku lagi sambil terus melanjutkan mengaduk gulai sapi di atas kompor.
Mas Ruslan yang bertugas mencuci peralatan masak yang segunung itu menyunggingkan senyum simpul padaku. "Hal seperti ini sudah terjadi seumur hidupku, Tri. Hatiku sudah lama mati rasa," jawab Mas Ruslan acuh tak acuh.
" ... "
Aku otomatis terdiam mendengar jawaban dari Mas Ruslan ini. Tapi memang seperti inilah kehidupan Mas Ruslan di keluarga ini. Selalu diperlakukan dengan berbeda. Jerih payah Mas Ruslan tidak pernah dihargai.
Entah apa yang membuat perlakuan bapak dan ibu mertua begitu berbeda terhadap Mas Ruslan. Aku sampai sering sekali meragukan kalau Mas Ruslan adalah anak kandung dari keluarga ini. Akan tetapi, wajah Mas Ruslan yang terlalu mirip dengan seluruh anggota keluarga ini menghentikanku dari pikiran liar.
"Mas, kamu tahu 'kan kalau aku tuh nggak suka makan paru sama ampela. Nanti aku makan pakai lauk apa dong? Kuah gulai?" tanyaku pada Mas Ruslan dengan nada merajuk. Bibirku mencebik maju satu sentimeter.
Hanya dengan membayangkan makanan itu menyentuh ujung lidahku saja sudah membuat bulu romaku meremang. Aku memang paling anti memakan organ dalam hewan seperti itu.
"Gimana kalau kita sembunyikan aja ayam gorengnya tiga biji?" bisikku dengan suara lirih hingga hanya aku dan Mas Ruslan yang bisa mendengar.
Mas Ruslan terkekeh pelan. "Nanti ketahuan ibu loh," timpal suamiku itu.
"Kita pilihnya yang paling kecil," bisikku lagi. Tidak mau menyerah.
Mas Ruslan menggeleng. "Jangan! Ibu pasti tahu kalau lauknya kurang," ucap Mas Ruslan.
Mataku seketika membola kaget mendengar penuturan Mas Ruslan ini. "Nggak mungkinlah ibu sampai segitunya," ujarku sanksi.
Mas Ruslan lantas mengangguk pelan. "Percaya deh sama, Mas. Kita cukup bersabar untuk hari ini aja. Besok Mas bawa kamu sama Danis ke tempat makan dimanapun kamu mau," bisik Mas Ruslan berusaha untuk menghiburku.
"Besok ya besok, Mas. Sekarang beda lagi. Ya kali semua biaya perjamuan ini kamu yang keluar duit, tapi cuma kebagian paru sama ampela doang!" dumelku tidak senang.
Kalian salah jika memiliki pemikiran yang sama seperti mertuaku, bahwa aku dan Mas Ruslan adalah orang miskin. Faktanya, baik aku dan Mas Ruslan itu sangat berkecukup dari segi finansial.
Di luar pekerjaan Mas Ruslan sebagai pedagang sapi, dia juga diam-diam menjadi makelar tanah. Semenjak disuruh berhenti sekolah saat kelas 2 SMA, Mas Ruslan telah berkelana dari satu desa ke desa lain untuk bekerja serabutan. Entah itu menjadi buruh panggul di pasar, menjadi kenek angkot, menjadi pelayan cafe, menjadi kasir mini market dan lain sebagainya.
Kerja keras dan ketekunan Mas Ruslan sejak dirinya masih remaja membuat Mas Ruslan dikenal oleh banyak orang di desa-desa sekitar. Banyak pula dari mereka yang menaruh simpati pada Mas Ruslan, karena di usia yang masih begitu muda, dia sudah kerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Karena kerja keras Mas Ruslan itu, dia seringkali diminta oleh para tetua kenalannya yang ingin menjual tanah untuk mencarikan mereka pembeli. Bonus pertama yang didapatkan setelah itulah yang membuat Mas Ruslan kemudian memiliki pemikiran menyimpang.
Dia yang juga sering kali didesak untuk membantu biaya pendidikan kakak dan adiknya, mulai berpikir untuk diam-diam menyimpan uang untuk dirinya sendiri. Rupiah demi rupiah yang terkumpul kemudian diam-diam diputar dengan membuka toko grosir di kabupaten lain.
Belasan tahun kini telah berlalu sejak saat itu. Uang di dalam rekening Mas Ruslan juga semakin banyak. Sayang sekali, kami tidak bisa menggunakan uang itu dengan terang-terangan karena takut digerogoti oleh ibu dan saudara-saudaranya.
Apa Mas Ruslan pelit? Apa Mas Ruslan tidak berbakti?
Tidak juga!
Karena selain membantu biaya pendidikan kakak dan adiknya dari usaha jualan sapi yang diwariskan oleh bapak mertua, Mas Ruslan juga membantu mencukupi biaya harian di rumah ini. Bahkan rumah berlantai dua yang baru saja dibangun ini adalah hasil dari kontribusi Mas Ruslan.
"Terus maunya bagaimana, Astriku sayang?" tanya Mas Ruslan membuyarkan lamunanku. Ada binar jenaka di matanya tatkala sedang menatap wajah cantikku.
"Ya gimana kek? Nggak tahu!" Aku berseru tak berdaya.
"Gimana kalau besok Mas ajak kamu shopping?" bisik Mas Ruslan tepat di samping telingaku. "Atau bagaimana kalau kita buat adik untuk Danis?" sambung Mas Ruslan tanpa jeda.
Dengan telinga yang terasa panas karena hembusan nafasnya, aku mendorong rusuk Mas Ruslan agar memberi jarak pada tubuhku.
"Kan! Kan! Kita lagi ngomongin apa, larinya kemana!" dumelku.