Anna Azka Abrar adalah wanita yang cantik, penyayang, konyol, dan penuh kehangatan. Orang tua yang tidak pernah menginginkan kelahirannya membuat Anna menjadi seorang wanita tangguh dan pekerja keras sampai akhirnya orangtuanya menukarnya dengan uang, tapi itulah awal lembaran baru dalam hidupnya.
Dor!!!
Guci di meja jatuh, membuatku meringis kaget.
"Dasar anak tidak tau diuntung,
bukannya kerja cari uang, ini malah
leha-leha," ucap pria paruh baya.
Pria itu adalah ayahku, dalam hidupnya ia tak pernah menginginkan anak perempuan lahir dari rahim ibuku dan begitu juga dengan ibuku.
Aku Anna Azka Alabrar, terlahir dari
keluarga miskin, mempunyai banyak
saudara dan mereka semua laki-laki.
Jengkel dengan sikap ayah yang selalu
memarahi dan selalu membeda-bedakan. Ia pikir semua anak perempuan pembawa sial dan sangat merepotkan, terlebih keadaan ekonomi kami yang tidak mendukung. Ayah pernah bilang, dalam keadaan seperti ini anak laki-lakilah yang sangat menguntungkan karena laki-laki bisa bekerja dan bisa digunakan menjadi sumber penghasilan.
Setelah puas mendengarkan celotehan dari ayah aku berjalan-jalan untuk mencari kebebasan dan ketenangan, tapi bukannya kedamaian malah keriuhan yang aku dapatkan.
"Assalamualaikum, ibu-ibu semua. Lagi
pada ngapain nih bu, kumpul-kumpul
kaya gini?" Tanyaku. Aku menggesek paksa tubuhku agar bisa duduk di tengah ibu-ibu yang tengah kumpul di taman dekat danau. Raut wajah ibu-ibu itu terlihat sangat kesal.
"Waalaikumsalam, neng," jawab ibu-ibu serentak.
"Ini nih neng, kita lagi nyoba main yang
jujur jujuran tantangan gilu loh. Biar kaya anak ABG," ucap salah satu dari ibu-ibu itu. Walaupun kesal, mereka tetap memperlakukanku dengan baik dan ramah.
"Ouh, truth or dare kali bu," kataku memperbaiki.
"Iya itu neng," ucap salah satu dari mereka. Mata mereka menatapku tajam. Ngeri.
"Saya boleh ikutan gak bu, bosen nih
gak ada kerjaan. Di rumah di omelin mulu, diluar gak ada tujuan," curhatku. Beberapa dari mereka menepuk pundak, kepala, dan punggung tanganku.
"Yaudah ikutan aja, lagian gak ada yang tau cara mainnya," ajak mereka.
Aku menepuk jidat pelan. Heran, gak bisa main tapi tetap memaksakan untuk bermain.
"Hadeuh, gimana sih bu," protesku. Mereka semua malah cengengesan.
***
"Dasar cewe-cewe matre, bisanya cuma
mandang dompet sama fisik doang," Keluh seorang pemuda.
Revin Edgar Cavero adalah seorang anak dari keluarga konglomerat, miliarder, ia tampan, mapan, cerdas, ia memiliki segalanya kecuali pasangan. Bukannya tidak laku, hanya saja ia belum menemukan perempuan yang tepat.
"Setiap pulang ngeluh. Bawa calon juga enggak!" Cetus seorang wanita. Ia adalah mamaku, sedari tadi ia sudah berada dibalik pintu kamar. Aku menatapnya cuek.
"Kenapa sih ma, setiap cewe yang Revin temui pasti cuma mengejar duit, duit, dan duit? Matre!" protesku. Mama tersenyum dan duduk di sampingku.
"Matre itu wajar karena mereka wanita. Wanita ingin prianya bisa memuaskan mereka dengan memberi harta dan kebutuhannya. Sedangkan pria, mereka membutuhkan wanita karena ingin memuaskan nafsunya kan," ucap mama. aku mendengarkan. Lalu, mama mengelus kepalaku lembut.
"Tapi, ma..mm," mama membungkam mulutku dengan tangannya.
"Bagaimana kalau kamu terima perjodohan dari anak teman papa? Mama yakin wanita itu akan setuju, karena kamu tampan, mapan, dan dari keluarga terpandang," usulnya. Mulai lagi. Nada bicara mama yang lembut berubah menjadi rada-rada...
"Ma! Revin udah bilang kan, kalau Revin gak mau di jodohin. Coba mama bayangin," aku menatap mama. Ia menutup mata dan akan mulai membayangkan. "Gimana kalau perempuan yang dijodohin sama aku itu ada kelainan, tapi orang tuanya nyembunyiin dari kita," dugaku. Mata mama langsung melek.
"Gak mungkin!" Keningnya mengerut.
"Atau dia udah gak perawan," ucapku asal. Mama melotot. "Ya kali, zaman sekarang masih ada yang mau di jodohin. Gak akan ada, ma!" Ucapku. Sepertinya aku berhasil. Terlihat dari raut wajah mama yang sedikit takut dan khawatir.
"Terus gimana? Masa kamu Jomblo terus, kak," ucapnya. Aku mendengus kesal.
"Gak gitu juga kali, ma. Bukan berarti kalau perjodohan batal, aku akan menjomblo. Aku bakal cari menantu yang sempurna buat mama. Yang baik, yang sehat jasmani dan rohani, dan setia," aku tersenyum puas. Matanya menyipit. Sepertinya, mama tidak percaya dengan ucapanku.
"Gimana kalau kamu pura-pura lumpuh?" Usul mama membuatku menganga. Gila nih mama, maksudnya apa coba. Anaknya sehat wal'afiat gini, malah disuru pura-pura lumpuh.
"Mama ngaco! Kayanya mama sakit deh, aku bawa kerumah sakit, mau?" Mata mama melotot seakan mau keluar.
"Kan kata kamu, mau nyari mantu yang sempurna buat mama. Nah, dengan kamu berpura-pura lumpuh, kamu bisa nyari istri yang tulus kan," jelasnya. Aku diam berpikir. Itu bukan ide buruk dan harus di coba.
"Gimana kalau papa gak setuju?" Tanyaku. Mama tersenyum licik.
"Mama bisa ngatasin papa. Kamu tenang aja," aku tersenyum simpul.
"Tapi, mamah mau ada orang yang
merawat kamu selama kamu pura-pura
lumpuh. Dan, supaya akting kamu lebih
sempurna. Gimana sayang?" Tawaran mama ini sangat konyol. Tapi, kekonyolan yang ia miliki justru membuat keluarganya terlihat harmonis dan bahagia.
"Terserah mama! Revin nurut aja sama mama," mama mengangguk senang.
"Anak patuh! Mama keluar dulu, mau jalan-jalan deket taman," Revin mengangguk. Gak biasanya mama jalan-jalan, ke taman lagi. Masa bodolah, toh mama udah gede. Mama keluar dari kamarku.
***
Saat berjalan-jalan di taman, mama Revin tak sengaja melihat seorang gadis sedang asyik bermain dengan ibu-ibu.
"Haduh, kayanya tuh anak gak punya temen deh sampe main sama ibu-ibu
gitu," gumamnya. Mama Revin menggeleng kasian.
Ia langsung menghampiri gadis dan ibu-ibu tersebut. Berniat untuk basa basi, ia tersenyum ramah.
"Hallo holla semua," sikap bar barnya kumat depan mereka. Ibu- ibu mengerutkan kening, mereka tidak mengerti.
"Holla hallo juga ibu cantik," ucap Anna ramah. Mata mama Revin tertegun, karena Anna sepertinya bisa lebih mudah beradaptasi. Sedikit terlintas untuk menjadikannya pengasuh anaknya.
"Lagi pada ngapain nich?" Tanyanya. Basa basi yang basi. Ya iyalah namanya juga basa basi.
"Lagi main tut ooor dor," jawab salah
satu ibu-ibu. Yang lain menatap ibu itu.
"Truth or Dare, buuu" revisi Anna, sebelum ibu itu kena semprot yang lain karena salah menyebut.
"Nah, iya itu." si ibu itu menunjuk Anna dengan senyum yang masih mengembang.
"Oalah, seru kali kayanya," mama Revin duduk dekat Anna.
"Tante, mau ikutan?" Tawar Anna. Matanya berbinar, ia juga mengangguk.
"Sini Tan, duduk!" Anna menepuk tempat duduk dekatnya. Mereka melakukan permainan itu hampir setengah jam, sekarang giliran ibu Revin untuk bertanya atau menantang Anna.
"Aku milih tantangan, Bu," belum mama Revin bertanya, Anna sudah menjawabnya. Mama Revin mempunyai ide gila untuk Anna.
"Bagaimana kalau kamu jadi perawat anak saya?" Tanyanya. Anna melonjak kaget, bukan hanya Anna, tapi ibu-ibu yang lain juga.
"Maksud ibu?" Anna masih tidak mengerti dengan tantangan aneh itu.
"Saya tantang kamu menjadi perawat anak saya, dengan bayaran 10 juta perbulan. Gimana?" Anna tampak sedang berpikir. Ia tidak bisa menolak karena sekarang ini sangat membutuhkan uang, agar keluarganya tidak mengomelinya terus. Tanpa sadar, Anna mengangguk.
"Serius?" Ibu Revin tak percaya. Ia sangat senang.
"Saya serius, Tan. Saya lagi butuh duit." Ibu Revin mengangguk-angguk.
"Siapa nama kamu?" tanyanya.
"Anna, Tan." Ibu Revin memberi tanda pengenal.
"Saya Denada. Mulai besok kamu bisa kerja di rumah saya," Anna mengangguk paham. Denada berdiri.
"Kalo gitu, saya pamit," ucapnya. "Bye bye, bunda-bunda!" Ibu-ibu itu melambaikan tangan dengan gembira.
"Kamu yakin, mau jadi perawat anak ibu itu?" Tanya salah satu dari mereka masih penasaran.
"Yakin, Bu. Lagian ya bu, saya butuh" Anna menyatukan jempul dan telunjuknya, lalu menggesek-gesekkan keduanya. "Duit. Biar keluarga saya gak marah-marah terus. Saya udah gedek dengernya," wajah mereka berkerut. Fokus mendengarkan.
"Loh, loh. Wajahnya pada kenapa nih?" ucap Anna. "Udah ah, Bu. Saya mau pulang dulu. Takut di omelin lagi," ucap Anna lagi.
"Eh, si neng. Kita nungguin cerita kamu, malah mau pergi," Anna nyengir.
"Lain kali aja saya ceritanya, saya udah cape. Mau pulang," ibu-ibu mengangguk mengerti. Anna pergi sambil bernyanyi-nyanyi tak jelas.
Bab 1 Chapter 1
24/04/2023
Bab 2 Chapter 2
25/04/2023
Bab 3 Chapter 3
27/04/2023
Bab 4 Chapter 4
29/04/2023