Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Gairah Liar Pembantu Lugu
Jangan Main-Main Dengan Dia
Mantan Istri Genius yang Diidamkan Dunia
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Clara terisak pelan. Meratapi kepergian kedua orang tuanya yang meninggalkannya beberapa waktu lalu. Ia tak menyangka bahwa kedua orang tuanya meninggalkannya secepat ini. Clara hanya memiliki mereka. Orang yang selalu memberikan kasih sayang dan pelukan hangat saat ia bersedih.
Clara menatap bintang-bintang di langit yang gelap. Mereka mulai tertupi awan tebal. Pertanda bahwa malam ini akan turun hujan. Ia tak menghiraukan semilir angin yang mulai menusuk kulit putihnya. Ia tak memperdulikan tubuhnya yang mulai menggigil akibat hawa dingin yang begitu menusuk.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, bagaimana kehidupannya yang akan datang? Apakah itu akan begitu berat? Ia tak bisa membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan yang akan ia alami. Ia tak tahu harus menopangkan dirinya kepada siapa saat ia terjatuh. Siapa yang akan mengusap air matanya saat ia menangis. Dan siapa yang akan memberikan sebuah pelukan hangat saat ia terjatuh.
Clara hanya berandai-andai. Seandainya Clara tak menyuruh kedua orang tuanya pulang cepat, mungkin hal ini tak akan terjadi. Kedua orang tuanya masih berada disisinya. Memberikan sebuah petuah bijak untuk bekalnya ketika ia dewasa.
Clara hanya bisa terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Ia menyesal kenapa ia menjadi gadis cengeng. Seharusnya ia bisa menjadi gadis kuat. Tak cengeng seperti saat itu. Ia hanya demam, tapi kenapa ia begitu egois menyuruh kedua orang tuanya agar segera pulang? Clara merutuki kebodohannya sendiri.
Hujan mulai turun. Clara tak berniat beranjak sedikitpun dari balkon kamarnya. Ia masih terlalu asik dengan fikirannya sendiri. Clara menghela nafas. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan balkon kamarnya. Udara dingin tak baik untuk kesehatan.
Clara menjatuhkan tubuhnya sendiri pada ranjang empuknya. Kemudian, ia meraih foto kedua orang tuanya yang terletak pada meja samping ranjang. Ia mengusap foto itu perlahan. Air matanya lagi-lagi menetes. Hatinya begitu sesak dan sakit. Jika Tuhan mengizinkan, ia ingin bersama kedua orang tuanya disana. Ia tak mau hidup sendiri. Ia takut, takut dengan dunia luar yang semakin liar. Takut kepada paman dan bibinya yang selalu berkata kasar akhir-akhir ini. Itu membuat Clara sakit. Walaupun mereka tak pernah main fisik dengan tangan mereka, tetapi ucapan kasar dan pedas mereka telah membuat Clara sakit hati.
Ia memeluk foto itu erat. Berharap dengan begitu, rasa rindunya kepada mereka akan sedikit berkurang.
BRAAKK!!!
Clara dikejutkan dengan suara pintu yang dibuka dengan kasar. Terlihat bibinya membawa sebuah koper besar miliknya. Dengan tiba-tiba ia menyeret tangan Clara dengan kasar.
"Bibi, apa yang kamu lakukan?" Tanya Clara kebingungan.
"Pergi dari rumah saya. Sekarang!"
"Tapi ini rumah orang tuaku? Kenapa bibi mengusirku? Lalu, aku harus tinggal dimana?"
"Aku tak peduli kau mau tinggal dimana. Terserah. Mau di kolong jembatan,gubuk, kandang ayam pun aku tak peduli. Yang penting kau angkat kaki dari rumah ini!"
"Tidak mau! Ini rumahku! Bibi tidak bisa seenaknya mengusirku begitu saja!"
PLAK!
Clara memegangi pipinya yang berdenyut nyeri. Panas dan perih menjalar di kulit mulusnya. Sial. Kenapa rasanya sakit sekali. Ini pertama kalinya ia mendapatkan sebuah tamparan seumur hidupnya.
"Sekarang pergi dari rumah saya!!"
Clara hanya menunduk mendengar bentakan dari bibinya. Ia tak mungkin lagi tinggal disini. Ia tak mau terus menerus mendapat perlakuan kasar dari paman dan bibinya.