Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Gairah Liar Pembantu Lugu
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
Prolog
"Bagas, Sayang."
Tangis Aira tidak mampu lagi terbendung saat melihat tubuh suaminya tergeletak lemah di aspal dingin, bersimbah darah.
"Kumohon, buka matamu!"
Aira mengerakkan tangannya ke sembarang arah untuk menjangkau tubuh suaminya. Namun yang ia dapatkan hanya kehampaan. Ketakutan memenuhi hati dan pikirannya, membuatnya nyaris kehilangan akal sehat.
"Apa yang terjadi? Kenapa aku?" Tubuh Aira bergetar. Ia menatap tangannya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
Raungan sirine ambulan menyadarkan Aira. Ia segera beranjak, memberi ruang bagi para petugas untuk menolong suaminya.
"Selamatkan suamiku. Kumohon!" Pintanya di sela airmata.
Belasan personil gabungan antara polisi, pemadam kebakaran dan petugas medis turun dari mobil dan menuju pos kerja mereka masing-masing. Para polisi memasang garis pengaman di sekitar lokasi kecelakaan, menahan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi merengsek masuk dan merusak TKP.
Di lain sisi, para pemadam kebakaran berjibaku dengan api yang membumbung tinggi yang berasal dari mobil mewah akibat ledakan tangki bensin yang bocor saat mobil menghantam badan jalan. Di sudut lainnya, para petugas medis segera menghampiri sepasang suami istri yang terkapar di aspal keras, tidak sadarkan diri. Darah mengenang disekitar tubuh keduanya.
"Kondisinya kritis," ucap petugas medis yang memeriksa denyut nadi korban laki-laki.
Tak jauh dari sana, petugas medis lainnya yang tengah memeriksa korban wanita menggelengkan kepala. Mengirimkan pertanda bahwa korban telah menghembuskan nafas terakhirnya jauh sebelum mereka tiba.
Mendengar hal itu, sang kapten polisi segera bergerak mengamankan jalur evakuasi. "Bawa keduanya ke rumah sakit," serunya pada petugas ambulan yang telah bersiap di samping mobil dengan tandu.
"Hubungi rumah sakit. Minta mereka menyiapkan kantong jenazah." Lanjutnya memberi perintah.
*****
"Aileen, mulai besok kamu tidak perlu datang lagi."
Sepenggal kalimat singkat dari Manajer HRD terdengar bagai petir yang menyambar puncak kepala Aileen Andita. Wanita itu tidak pernah menyangka, perusahaan akan mendepaknya keluar setelah apa yang ia korbankan selama ini.
"Kenapa Bu? Saya tidak pernah melakukan kesalahan dan selama ini saya bekerja dengan baik bahkan setiap hari saya lembur," debat Aileen. Ia tidak ingin begitu saja menerima perlakuan tidak adil.
"Aileen, kamu tahu 'kan? Perusahaan ini sedang melakukan pemangkasan karyawan karena kondisi ekonomi yang tidak baik."
Aileen menyisir poninya kasar. "Aku tahu. Tapi harus ada alasan yang kongkrit. Kenapa harus aku yang di pecat?"
Manager HRD mengeser sebuah amplop ke hadapan Aileen. "Ai, ikan kecil tidak akan menang di sarang hiu," jelasnya dalam bentuk kiasan. "Terima ini dan beristirahatlah beberapa hari sebelum mencari pekerjaan baru."
Aileen mendesah dalam. 'Yah, benar. Seorang karyawan kontrak seperti ku tidak akan bisa melawan koneksi orang-orang berduit,' batinnya miris.
"Aku akan membuatkan surat rekomendasi. Dua hari lagi kamu bisa datang untuk mengambilnya." Manager HRD menepuk pelan tangan Aileen. "Semoga kamu bisa mendapatkan tempat yang lebih baik diluar sana."
Air mata mengenang di pelupuk mata Aileen. Butuh kekuatan besar baginya untuk bisa mengangkat kepala dan mengangguk pelan.
***
Aileen menyeret langkahnya keluar dari pagar utama yang selalu dilewatinya saat matahari terbit dan tenggelam. Aileen selalu berusaha menjadi karyawan terbaik. Dia selalu datang lebih pagi dan pulang paling akhir. Memastikan tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda. Jika perusahaan membutuhkannya, Aileen selalu siap untuk lembur meski uang yang didapatkannya terkadang tidak sesuai dengan jumlah yang dikeluarkannya untuk sekedar membeli obat pereda nyeri.
'Dunia ini memang terlalu kejam bagi ku yang hidup sebatang kara. Meski aku telah berjuang hingga kucuran darah dan keringat, mereka tetap tak mengindahkan ku,' desah Aileen pilu.
Bus berhenti tepat di depan halte, dimana Aileen biasanya menunggu. Aileen segera naik dan melempar senyum tipis untuk menyapa supir dan kondektur yang setiap hari dia temui.
"Tumben cepat, Neng?"
"Iya Pak," sahut Aileen singkat. Ia sedang tidak ingin bicara banyak dengan suasana hatinya yang buruk.
Aileen mengedarkan pandangan mencari posisi strategis, bangku panjang paling belakang. Ia menggeser kaca jendela disampingnya, menikmati hembusan angin yang sayup-sayup menerpa wajahnya.
'Lalu? Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Pikir Aileen.
'Mencari pekerjaan baru? Ah, tidak semudah itu. Di zaman serba sulit seperti saat ini, lapangan pekerjaan semakin sempit,' dialognya dalam hati.
Aileen menepuk tas nya pelan. 'Apa aku buka usaha saja dengan pesangon ini?' Pikirnya.
Getaran ponsel dari balik tas menyadarkan Aileen dari lamunannya. Ia melirik nama di layar ponsel.
IBU ...
"Apa lagi yang diinginkan wanita itu?" Desis Aileen.
"Ada apa?"
"A-aileen, kamu dimana?"
Aileen mendesah pelan. "Ada apa?" Ulangnya dengan pertanyaan yang sama. "Uang? Aku tidak punya uang sekarang." Tebaknya cepat karena wanita itu hanya menghubunginya setiap kali membutuhkan uang.
"Ta-tapi Aileen, mereka akan membunuh adik mu kalau-"
Aileen mematikan sambungan ponselnya dan beralih pada mode shutdown, membuat ponsel itu mati total. 'Kali ini dia tidak akan tertipu lagi. Cukup sudah!' batinnya.
"Pak, halte depan ya." Teriak Aileen.
"Siap, Neng."
Bus berhenti di depan halte terdekat menuju gang dimana Aileen menyewa sepetak ruangan atap di lantai dua. Ruangan yang awalnya digunakan sebagai gudang oleh pemilik rumah. Aileen tidak pernah mengeluh dengan kondisi ruangan yang kumuh dengan cat mengelupas dan lantai kasar tanpa keramik. Dia merasa itu cukup sepadan dengan harga sewa yang murah. Lagipula, Aileen hanya membutuhkan sebuah ruangan untuk sekedar tempatnya pulang beristirahat. Dengan gajinya yang kecil, Aileen tidak akan mampu membeli atau sekedar menyewa rumah layak huni di tengah kota.
"Mana putri yang kamu banggakan itu? Hah!"
Begitu menaiki tangga, perhatian Aileen teralih oleh suara yang berteriak kasar di depan rumahnya. Ia mempercepat langkahnya untuk sampai diatas, matanya terpaku pada dua pria yang duduk dengan kaki terangkat diatas bangku panjang dimana Aileen biasanya menjemur kaktus kesayangannya. Kening Aileen mengerut kesal begitu melihat puluhan pot kaktus yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang berserakan di lantai, hancur terinjak-injak.
Di lantai, Nani duduk dalam posisi memohon. Wajahnya basah oleh air mata, di pipinya tercetak bekas tangan yang meninggalkan ruam merah.
"Ai, tolong Ibu!" Serbu Nani begitu melihat putrinya.