Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Cinta Brutal Sang CEO

Cinta Brutal Sang CEO

yuliani

5.0
Komentar
32
Penayangan
2
Bab

Warning!! Bagi yang mau basah basahan jangan lupa mampir!!

Bab 1 Cinta pandangan pertama

Di tengah gemerlap lampu kristal dan hiruk-pikuk para pebisnis ternama yang berbaur dalam acara gala mewah, Cesia, seorang model majalah dewasa yang terkenal dengan kecantikannya yang memukau, melangkah masuk dengan percaya diri. Pakaian merahnya yang menempel sempurna pada lekuk tubuhnya, menjadi sorotan para tamu. Banyak yang berbisik dan memandanginya dengan kagum, sementara kilatan kamera terus mengikuti setiap gerakannya.

Di sudut ruangan, Alexander, CEO terkaya nomor satu dengan reputasi yang dikenal di seluruh dunia, berdiri dengan elegan. Dia memegang segelas sampanye dan berbicara santai dengan beberapa kolega bisnisnya. Namun, saat Cesia masuk, tatapan dinginnya yang biasanya penuh perhitungan berubah fokus. Mata elangnya mengikuti gerakan Cesia, seperti seekor predator yang mengamati mangsanya.

"Siapa dia?" tanya Alexander pada asistennya, Jason, tanpa mengalihkan pandangan dari Cesia.

"Dia Cesia, model terkenal. Menjadi pembicaraan banyak media akhir-akhir ini," jawab Jason singkat.

Alexander mengangguk pelan. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang tampan namun penuh teka-teki. "Sepertinya acara ini baru saja menjadi lebih menarik," gumamnya. Dia meletakkan gelas sampanye dan mulai berjalan dengan langkah mantap ke arah Cesia.

Cesia menyadari tatapan tajam yang mendekatinya. Saat Alexander berdiri tepat di hadapannya, sorotan mata mereka bertemu. Cesia mengangkat dagunya, seolah tidak terpengaruh oleh aura kekuasaan pria itu. Namun, getaran halus di dalam dirinya tidak bisa dia abaikan.

"Selamat malam," suara Alexander dalam dan penuh wibawa, memecah keheningan di antara mereka.

Cesia tersenyum lembut, penuh pesona, "Selamat malam, Tuan Alexander."

Alexander terdiam sejenak, matanya meneliti setiap detail wajahnya. "Anda sepertinya menjadi pusat perhatian malam ini."

"Sepertinya begitu," balas Cesia ringan, namun dengan nada percaya diri. "Tapi Anda tampaknya sudah terbiasa menjadi pusat perhatian di setiap acara yang Anda hadiri."

Alexander tertawa kecil, sebuah suara yang jarang terdengar dari pria penuh kontrol seperti dirinya. "Mungkin, tapi Anda... memiliki cara tersendiri untuk membuat semua mata tertuju."

Cesia menatapnya dengan tajam, mencoba membaca maksud di balik setiap kata pria di hadapannya. "Dan Anda... memiliki kekuatan untuk membuat semua orang patuh pada perintah Anda," balasnya, nadanya sedikit menggoda.

Alexander mengangkat alis. "Patuh? Atau tertarik?"

Cesia menyipitkan matanya sedikit, tersenyum dengan anggun. "Keduanya, mungkin."

Sebuah keheningan yang dipenuhi ketegangan samar terjadi di antara mereka. Alexander lalu mendekatkan diri, membuat jarak di antara mereka hampir hilang. "Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih menarik di sini," bisiknya dengan nada menantang.

Cesia menahan napas, merasa adrenalinnya terpacu. Pria di hadapannya bukan hanya kaya dan berkuasa, tapi juga seseorang yang tahu bagaimana memainkan permainan kekuasaan dan ketertarikan. "Saya tidak pernah menolak tantangan, Tuan Alexander," katanya dengan senyum penuh makna.

Alexander tersenyum lebih lebar. "Bagus. Saya suka wanita yang berani."

Malam semakin larut, namun atmosfer di ruangan gala semakin memanas. Alexander dan Cesia berdiri berdekatan di sebuah sudut yang agak tersembunyi dari keramaian. Percakapan di antara mereka tidak lagi tentang basa-basi. Ada sesuatu yang lebih dalam-sebuah permainan kekuasaan yang hanya mereka berdua pahami.

"Apa kau terbiasa dengan semua perhatian ini?" Alexander bertanya, matanya menelusuri wajah Cesia dengan intens.

Cesia mengangkat bahu, bibirnya membentuk senyum kecil. "Menjadi pusat perhatian adalah hal biasa bagi seorang model, tapi terkadang perhatian dari seseorang yang... berbeda, bisa terasa lebih mendalam."

Alexander tertawa kecil, namun di balik tawa itu, ada sebuah tantangan tersirat. "Berbeda, katamu? Maksudmu aku?"

"Jika sepatu itu cocok dipakai, kenapa tidak?" jawab Cesia, matanya tidak pernah lepas dari tatapan Alexander.

Alexander mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, kali ini cukup dekat sehingga dia bisa merasakan napas Cesia yang hangat di pipinya. "Kalau begitu, mari kita bermain sebuah permainan," ucapnya perlahan, setiap kata terasa seolah diucapkan dengan penuh perhitungan.

Cesia menaikkan alisnya, tertarik. "Permainan seperti apa?"

Alexander menegakkan tubuhnya, memasukkan tangannya ke dalam saku jasnya dengan sikap santai namun tetap mengesankan. "Sebuah tantangan. Kita berdua adalah orang-orang yang terbiasa mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi, bagaimana jika malam ini, kita coba untuk meraih sesuatu yang tidak mudah didapat?"

Cesia tertarik. Mata cokelatnya berkilat penuh rasa ingin tahu. "Lanjutkan."

Alexander tersenyum, lalu menatap ke arah sekelompok pria kaya dan penting yang sedang berdiskusi tidak jauh dari mereka. "Kau lihat pria itu? Henry Gregson, CEO perusahaan teknologi terbesar di Eropa."

Cesia mengangguk. "Aku tahu siapa dia."

"Tantangannya sederhana," Alexander melanjutkan dengan suara rendah, hampir berbisik. "Buat Henry memperkenalkan dirimu kepada semua orang di sini sebagai partner bisnis barunya... sebelum malam ini berakhir."

Cesia tertawa kecil, hampir tidak percaya. "Kau serius? Aku tidak punya latar belakang bisnis yang akan membuatnya tertarik."

Alexander mengangguk dengan mantap, senyumnya berubah menjadi lebih menantang. "Itulah poinnya. Ini bukan soal apa yang kau punya, tapi bagaimana kau bisa memainkannya. Kau pandai mengendalikan perhatian orang, bukan? Gunakan itu."

Cesia berpikir sejenak, tatapan matanya tajam saat dia menimbang tantangan tersebut. "Dan jika aku berhasil?"

Alexander mendekat sekali lagi, kali ini suaranya terdengar jauh lebih pribadi, hampir seperti bisikan di telinganya. "Kalau kau berhasil, aku akan memberikan apa pun yang kau inginkan. Apa pun."

Cesia tersenyum, penuh percaya diri. "Dan jika aku gagal?"

"Kalau kau gagal," Alexander tersenyum lebar, "maka kau harus menemaniku sepanjang malam, dan melakukan apapun yang aku perintahkan."

Cesia tertawa, suara tawanya terdengar lembut namun penuh dengan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan. "Kau suka bermain berbahaya, ya?"

Alexander menatapnya, ekspresinya tenang namun penuh kepastian. "Hidupku adalah permainan berbahaya, Cesia."

"Baiklah, Tuan Alexander. Aku terima tantangannya." Cesia kemudian melangkah dengan anggun menuju Henry Gregson, meninggalkan Alexander yang memperhatikannya dengan tatapan tajam penuh antisipasi.

Beberapa menit berlalu, Alexander terus memperhatikan dari jauh. Cesia dengan cerdas melancarkan pembicaraan dengan Henry. Tawa dan senyuman mengiringi setiap gerakan tangannya yang anggun, dan tidak lama kemudian, Henry terlihat terkesan. Alexander tahu bahwa Cesia sedang memainkan permainan ini dengan baik.

Tak lama, Henry berdiri dan mengangkat gelas sampanye, memperhatikan para tamu. "Para hadirin," suaranya menggema di ruangan, "izinkan saya memperkenalkan partner bisnis baru saya, Cesia."

Sorakan kecil terdengar di ruangan, dan Alexander hanya bisa menyeringai. Dia tidak menyangka Cesia bisa menyelesaikan tantangan itu begitu cepat.

Cesia kembali ke arah Alexander dengan langkah yang penuh kemenangan. "Sepertinya aku menang," katanya sambil tersenyum manis.

Alexander mengangguk pelan, kagum namun tidak terkejut. "Kau memang luar biasa."

"Jadi," Cesia berkata, nadanya penuh rasa ingin tahu, "apa yang akan kau berikan padaku?"

Alexander mendekat sekali lagi, kali ini lebih intim dari sebelumnya. "Apa pun yang kau inginkan, Cesia. Tapi ingatlah," bisiknya, "aku belum selesai denganmu."

Cesia hanya tersenyum, menyadari bahwa tantangan ini hanyalah awal dari permainan yang lebih besar di antara mereka. "Aku tunggu tantangan berikutnya, Tuan Alexander," balasnya, tak gentar dengan apa yang mungkin akan datang.

Setelah tantangan pertama yang dimenangkan dengan mudah oleh Cesia, jarak antara mereka semakin intens. Alexander, yang dikenal sebagai pria penuh kontrol, kini tertantang lebih dari sebelumnya. Mereka berdua berdiri di balkon, di bawah langit malam yang dipenuhi bintang. Angin lembut menerpa wajah mereka, namun suasana di antara mereka tetap hangat, penuh ketegangan yang menyala-nyala.

"Kau memang memukau," ucap Alexander sambil mengagumi Cesia. "Tapi kemenanganmu yang mudah tadi membuatku berpikir, apakah kau benar-benar siap untuk tantangan berikutnya?"

Cesia mengangkat alisnya, tersenyum sinis. "Aku tidak pernah takut, Tuan Alexander. Apa pun yang kau rencanakan, aku siap."

Alexander tersenyum kecil, lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Baiklah, kali ini tantangannya lebih pribadi," katanya, suaranya penuh ketenangan namun tersirat sebuah provokasi. "Aku ingin melihat seberapa jauh keberanianmu."

Cesia menyipitkan mata, penasaran. "Maksudmu?"

Alexander mencondongkan tubuhnya, jaraknya semakin dekat sehingga Cesia bisa merasakan kehangatan tubuhnya. "Aku ingin kau menciumku... di depan semua orang. Tidak di sudut yang tersembunyi ini, bukan di bawah bintang-bintang ini. Di ruangan utama, di tengah pesta yang penuh dengan para CEO, investor, dan tokoh bisnis penting. Kita lihat apakah kau berani menghadapi tatapan dunia, atau hanya bisa bermain dalam bayang-bayang."

Cesia terdiam sejenak, menimbang tantangan itu. Bukan soal sekadar mencium Alexander, tetapi keberanian untuk melakukannya di depan orang-orang yang selalu memandangnya sebagai sekadar model. Ini akan mengubah cara dunia memandangnya. Sebuah risiko besar, namun juga kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih dari sekadar wajah cantik.

"Kau tidak main-main," ucap Cesia akhirnya, matanya menatap Alexander dengan penuh keyakinan.

"Tidak pernah," jawab Alexander, suaranya rendah dan penuh godaan.

Cesia tersenyum licik, lalu meluruskan tubuhnya dengan penuh percaya diri. "Baiklah. Jika itu yang kau inginkan, Tuan Alexander, kau akan mendapatkannya."

Tanpa membuang waktu, Cesia berbalik dan melangkah dengan anggun kembali ke ruangan utama. Alexander mengikutinya dengan tenang, tatapannya penuh rasa ingin tahu. Saat mereka memasuki ruangan, suasana pesta terus berjalan seperti biasa. Para tamu sibuk dengan obrolan mereka, tak menyadari bahwa ada sesuatu yang akan segera terjadi.

Cesia berhenti di tengah ruangan, tepat di bawah lampu kristal yang megah. Semua orang masih tenggelam dalam percakapan, hingga tiba-tiba Alexander berdiri di sebelahnya. Seperti magnet, kehadiran mereka mulai menarik perhatian para tamu. Bisikan-bisikan mulai terdengar, dan tatapan penasaran mulai mengarah ke mereka.

Cesia berbalik menghadap Alexander, tatapannya penuh tantangan. "Kau siap?" bisiknya.

Alexander tersenyum lebar, tak gentar sedikit pun. "Pertanyaannya terbalik, apakah kau siap?"

Tanpa ragu, Cesia melangkah lebih dekat, jarak di antara mereka hampir hilang. Dalam satu gerakan yang anggun dan berani, Cesia menarik Alexander dan menciumnya di depan semua orang. Ciuman itu tidak singkat-cukup lama untuk membuat suasana ruangan berubah drastis. Percakapan berhenti, dan tatapan terkejut memenuhi ruangan.

Beberapa detik berlalu, dan saat mereka akhirnya melepaskan diri, ruangan dipenuhi dengan keheningan yang memekakkan telinga. Semua mata tertuju pada mereka. Beberapa tamu terlihat bingung, yang lain terkesima, dan beberapa tersenyum penuh arti. Namun, Alexander dan Cesia tetap tenang, seolah tidak ada yang terjadi.

Cesia berbalik dengan tenang, menatap Alexander dengan kemenangan di matanya. "Bagaimana? Sudah cukup membuktikan keberanianku?"

Alexander tersenyum puas, mengagumi wanita di depannya. "Lebih dari cukup. Kau bahkan melebihi ekspektasiku."

Cesia tertawa pelan. "Dan sekarang, apa yang kau berikan padaku?"

Alexander mendekat sekali lagi, namun kali ini tatapannya lebih serius, lebih dalam. "Tantangan ini bukan sekadar permainan, Cesia. Kau baru saja membuktikan bahwa kau tidak hanya berani, tetapi juga pantas berdiri di sampingku. Mulai sekarang, kau akan melihat dunia dengan cara yang berbeda. Semua mata akan tertuju padamu-bukan hanya karena kecantikanmu, tapi karena keberanian dan kekuatanmu."

Cesia mengangguk pelan, memahami bahwa tantangan ini lebih dari sekadar ciuman di depan umum. Ini adalah sebuah pernyataan-bahwa dia siap menghadapi dunia, siap menerima risiko, dan siap untuk berdiri di samping pria paling kuat di ruangan itu. "Dan aku tidak akan mundur," katanya dengan tegas.

Alexander tersenyum lebih lebar. "Aku tidak pernah ragu soal itu."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku