Kepentok Cinta Sang Idol

Kepentok Cinta Sang Idol

MRS LEE

5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
45
Bab

Karena kesalahpahaman, Adara, gadis yang menjadi wartawan ini di cap sebagai tersangka penyebar berita yang yang membuat Artis itu tidak nyaman, siapa lagi dia adalah Benard. Dan tidak pernah di duga kalau gadis itu terjebak dengan masalah percintaanya dengan Aktor tersebut. Lantas? Bagaimana cara gadis itu menyelesaikannya?

Bab 1 1. Awal Bertemu

Menjadi Idol bukanlah hal yang sangat mudah. Seperti yang dilakukan oleh Benard Djaya Aditya yang kini berprofesi sebagai Artis solo di agency MC Entertainment. Agency ini adalah salah satu perusahaan hiburan Seoul-Korea Selatan yang dibentuk oleh Robert Chan. Di sana terdapat beberapa artis solo dan grup, salah satunya adalah Benard yang lolos tanpa mengikuti audisi di beberapa kota. Itu semua tentunya membuat banyak yang mengaguminya.

Benard diambil Agency tersebut dari sekolahannya dikarenakan dia memiliki suara emas sejak kecil dan juga dirinya sering disorot di televisi sejak berusia 19 tahun. Maka dari itu, pihak Agency menyeret Benard untuk ikut debut.

Bukan hanya itu Benard juga mempunyai bakat, terutama tentang music. Wajahnya juga terlihat tampan dan mempunyai visual, alasan itu juga Agency menyukai pria tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Benard dijuluki penggemarnya dengan Raja Beruang, yang diambil dari namanya Benard-Bear.

Tap Tap Tap

Suara derap langkah mereka terdengar nyaring di lobi bandara. Saking sepinya, sampai-sampai dia merasakan kalau dirinya ini sendirian saja di bandara ini. Padahal tidak, dia sekarang bersama dengan Asisten Pribadinya yang bernama Ronald.

Langkahnya terhenti ketika terdengar suara teriakan dari sebrang sana. Sontak membuat Benard menoleh ke belakang, ternyata dugaannya benar banyak penggemar dan wartawan di belakangnya.

"Benard!"

"Astaga," gumamnya. Penyamarannya sepertinya tidak ada gunanya.

Jujur saja, dirinya ingin bebas sehari saja dari serbuan dari penggemar dan juga wartawan. But it's free,

"Sehari saja mau sendiri bisa tidak sih?" gumamnya, dirinya langsung berlari keluar dari area bandara tersebut.

Kadang, dirinya merasa tertekan karena ulah sasaeng yang menurutnya sangat berlebihan. Dari menguntit ke dormnya sampai mengikuti sampai kamar mandi bahkan ke rumahnya sendiri.

"H-hei! Benard! Kau gila!" pekik Ronald spontan, melihat Benard yang berlari terlebih dahulu.

Benard terus berlari tidak peduli apa yang dikatakan Ronald barusan, dia terus mencari celah untuk bersembunyi dari penggemarnya itu.

***

Seorang gadis yang berparas cantik dan memiliki tubuh kecil serta berambut pendek itu melangkah keluar dari restoran setelah selesai membeli makanan buat Ibunya pada siang hari itu.

Adara menghentikan langkahnya, ketika melihat seorang pria tampan di seberang sana dengan berpakaian tertutup berlarian dari serbuan orang di belakang sana.

Mata gadis itu dipicingkan, pria itu ternyata sedang dikejar sama kerumunan wartawan dan beberapa perempuan.

Adara sempat mengerutkan kening dan mengumpat, dia berpikiran kalau semua perempuan itu adalah kekasih atau mantan pria itu. Pikiran yang tidak masuk akal. "Apa mereka kekasihnya semua?"

"Ah, apa yang kau pikirkan Adara!" Gadis itu menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan hal-hal yang jelek.

Adara tidak ingin berpikir panjang, menaikkan bahunya, karena itu juga bukan masalahnya juga. Segera ia melanjutkan perjalanan pulang.

Ternyata pria itu menyebrang ke arah Adara. Dan masih berlarian karena menghindar dari wartawan yang berada di belakangnya.

Pria itu tidak melihat di depannya ada gadis yang sedang berjalan. Matanya membulat ketika ia akan menabrak perempuan itu.

"Awas!" teriak seorang pria tersebut dengan suara nyaringnya.

Adara menoleh ke belakang, matanya membulat ketika pria itu sudah akan dekat dengannya. Bagaimana pria itu sudah di belakangnya?

Brukk!!

"Aww!" pekiknya.

Adara terpental ke bawah sembari meringis kecil, sambil mengusap pantatnya yang sudah mendarat bebas di tanah sana.

"Ugh! Kalau jalan pakai mata dong! Tidak tau apa ada orang besar di depannya!" omel Adara dengan nada cepat, sambil berdiri pelan. Padahal tadi dia sudah menghindar, tapi pria itu tetap saja menabraknya, sangat menyebalkan.

"Apa kau tidak punya mata hah!?"

"Ah maaf, aku dikejar tadi. A-ku buru-buru."

"Tidak mau, kau harus bertanggung jawab!"

"Hah! Ta--"

"Benard!!!"

Ucapan pria itu terpotong saat ada salah satu penggemarnya memanggil namanya. Sontak pria itu menoleh ke belakang. Tentunya membuat pria itu sangat shock.

"Sial! Mereka masih mengejarku," umpat pria tersebut, lalu menatap Adara yang kini menatap tajam seakan dia mau berbicara.

Tanpa berkata apapun Benard menarik lengan Adara untuk bersembunyi dari serbuan wartawan dan penggemar-nya itu, alhasil gadis itu mengikutinya.

"A--ah! Mau bawa ke mana, lepaskan tidak!" Adara terus memberontak, namun nihil kekuatan pria itu lebih kuat darinya.

"Hei! Kau salah bawa orang!" lanjutnya, sesekali melirik ke belakang.

"Diam, cerewet banget sih!" katanya sambil berlari. Adara yang tadinya memberontak kini terdiam saat melihat ke arah belakang.

Ternyata mereka masih mengikuti pria ini.

Terus, apa masalahnya denganku? batin Adara sambil melirik pria yang lari bersama dengannya dengan penuh tanda tanya.

Padahal dia tidak saling mengenal. Nama, alamat, ah sudahlah mungkin dia cuma modus saja dengannya.

Tidak menghabiskan waktu lama, akhirnya dia terhenti di tempat yang jauh dari sana. Nafas mereka tidak beraturan, terlihat sangat jelas wajah kelelahan apalagi Adara. Karingat juga mulai keluar dari keningnya, mereka seperti baru lari marathon.

"Gila, itu kekasihmu semua," ucap Adara spontan, menunduk sekilas dengan nada polosnya. Adara melirik tangannya yang kini masih dicekal oleh pria tersebut.

"Lepas?!"

"Hei! Enak saja. Mereka bukan kekasihku." Napas pria tersebut tersenggal-senggal. Lalu, melepaskan tangan gadis itu. "Sorry."

"Hei! Dikira aku gadis murahan gitu? kamu cuma minta maaf begitu saja?" Adara asal bicara begitu saat saat mendengar permintaan maaf dari Benard. Lalu menatap pria tersebut dengan tajam.

Benard memicingkan matanya heran.

"Ya, terus? Lagipula cuma dipegang saja kan? Tidak akan hamil juga kan? Untuk apa aku harus bertanggung jawab!?" Benard meringis kecil, lalu memutarkan bola matanya.

Adara memicingkan matanya dengan wajah geli.

Dengan cepat dia menarik masker yang menutup wajahnya, dan topi yang dikenakan. Karena menurut dia seperti orang yang sok misterius.

"E-ehh!" Benard sontak shock saat Adara membukanya.

"Kau mau mati ditangan mereka hah!" ucap Benard dengan nada tinggi. Adara terdiam sepertinya dia pernah melihat wajah ini? Tetapi dimana. Sedari tadi dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia masih bertanya-tanya dibenaknya.

"Kau saja, aku tidak!?" ucapnya dengan nada tidak santai.

"Hei!" Benard memukul kening Adara dengan keras.

"Aws!"

"Apa yang kau pikirkan sekarang?"

"Ah ya, pasti kau berpikiran kalau aku tampan? Atau kau juga salah satu penggemarku yang--" ucap Benard sambil menunjuk kening Adara dengan sangat percaya diri. "Mengikutiku diam-diam?" cicitnya.

Adara membulatkan matanya saat pria itu menunjuk kening mulusnya, lalu dia melirik tangannya yang berada di dahinya.

"Hah? Apa kau bilang coba? aku tidak mendengar perkataanmu tadi," ucap Adara sambil mendekatkan telinganya.

Benard melihat tingkah Adara langsung menahan pipinya dengan jari telunjuknya dan mendorongnya dengan cepat.

"Kau tuli ya?"

Adera membulatkan matanya lagi, ketika Benard berbicara seperti itu.

Sial, batin Adara, ia tidak terima ketika Pria itu berbicara seperti itu.

Sesekali melirik kaki milik Benard, tanpa disadari dia mendekat kearah Benard dengan memasang wajah sok manis.

Benard yang mengetahui gerak-gerik Adara, lalu bertanya. "Mau apa? Benar kan perkataanku?" tebak Benard dengan sangat percaya diri. Adara tidak merespon.

Lalu~

"Argh! Bodoh! Kakiku! Damn!" sontak Benard menjerit kesakitan saat kaki gadis itu melayang di kakinya.

"Mampus!"

"Bagaimana rasanya enak kan? Heum?" tanya Adara sambil menjejerkan gigi putihnya.

Tangannya dilipat di depan dadanya. Dia menaikkan kepalanya-sombong.

Benard menatap Adara tajam, tersenyum masam-lalu melangkah mendekatinya. Dia sangat gemas dengan gadis ini, tidak biasanya gadis diluar sana bertingkah seperti ini padanya.

"Lebih enak lagi kalau ...." Benard mendekati Adara dengan wajah jail. Sontak membuat gadis itu membulatkan matanya ketika Benard mendekatkan wajahnya. Tangan Adara mengepal menaikan ke atas untuk bersiap-siap menonjok wajah tampan Benard.

"Mau apa kau, hah!" tanya Adara dengan nada tinggi. Dia shock melihat pria tersebut mendekatinya tanpa alasan. Namun, Benard hanya menyunggingkan senyuman jahilnya.

"Melangkah sekali lagi, aku akan menendang masa depanmu," ancam Adara, kali ini dia sangat panik dan juga bingung harus melakukan apa. Tubuhnya sudah terpojokan di tembok, dia melirik ke samping lalu menatap Benard dengan tatapan was-was.

Adara menegukkan ludahnya, dia berpikir aneh-aneh dengan pria misterius ini.

Tangan Benard kini sudah berada di samping kepalanya. Wajah Benard sudah terpampang jelas di depan mata Adara.

"Kau penggemarku bukan? Atau seseorang sasaeng yang menyamar?" Benard menaikkan sudut bibirnya miris.

Beberapa kali, Adara menegukkan ludahnya. Dia menggelengkan kepalanya dengan polos. Tidak hanya itu saja, dia juga menetralkan jantungnya saat Benard berada tepat di depannya.

"Are you serious? Jangan bercanda!"

"Astaga, ini orang sudah gila ya?" batin Adara.

"Kau berpura-pura bodoh di depanku kan?" lanjutnya.

"Aku tidak bercanda, aku ...."

"Aku bahkan tidak mengenalmu!"

"..."

"Eh, sebentar. Diam!"

"Kau mirip dengan--?" ucapan Adara menggantung, matanya dipincingkan, ia melihat wajah Benard dengan jelas. Ia masih ingat waktu pertama kali ia masuk ke kantor, dan kemungkinan Benard adalah orang yang sama.

"Ceo di perusahaan Satria Garuda bukan?! Kau sudah menolakku waktu itu."

Benard terdiam dia memikirkan apa yang dikatakan sama wanita ini. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Adara. Memang dia tidak mengerti apa yang dikatakannya.

Apa maksud dia? batin Benard.

"Tidak mau mengaku juga heum?!" Adara menunjuk-nunjuk wajah Benard, benard tidak merespon gadis itu lalu menepis tangan Adara.

"Aku tidak pernah melihatmu sebelum ini," ucap Benard dengan desisan, sesekali melirik ke sekitar untuk melihat keadaannya.

"Aish, kau amnesia atau bagaimana hah?"

"Sepertinya kau salah orang," ujar Benard.

Benard membenarkan posisinya dengan berdiri dengan benar. Dia menghela nafasnya dengan lega, lalu memutarkan bola matanya dengan jengah. Bagaimana bisa dia bertemu dengan gadis bodoh seperti Adara.

"Tidak, aku tidak salah orang! memang iya aku pernah bertemu denganmu sebelum ini." Adara tidak mau kalah, karena ia benar-benar pernah melihat pria ini di kantor yang pernah ia masuki, tapi ditolak karena penulisan Cv kurang tepat itu saja, kecewa sudah pasti tapi bagaimana lagi.

Benard mengepal tangannya dengan gemas. "Terserah kau, intinya aku tidak pernah bertemu denganmu," ucap Benard, diiringi dengan senyuman tipisnya lalu meninggalkannya gadis itu sendirian di sana.

Adara berkedip polos, pipinya digembungkan seperti ikan.

"Sepertinya salah orang, tapi memang dia kemarin ih!" sorot mata Adara masih ke arah punggung Benard yang semakin lama semakin menghilang.

"Siapa namanya?" gumamnya.

Saat Adara melangkah, tidak sengaja melihat dompet yang tergeletak tidak jauh dari tempat tadi, dia menautkan alisnya. Tidak apa apapun kecuali ATM dan juga kartu namanya.

"Dompet?" Adara memutuskan mengambil dan mengecek isi yang ada di dalam dompetnya.

"Benard Djaya Aditya. Oh ... orang tadi. Eh hei! Kamu meninggalkan dom--" Adara mau berteriak. Namun nihil, pria sudah terlalu jauh. Adara berdecak pelan, lalu memutuskan untuk pulang dan mengembalikan dompet dilain waktu.

***

Sesampai di rumahnya, Adara terus memandangi Dompet tersebut. Bukan hanya ATM dan juga tanda pengenalnya, akan tetapi ada gambar waktu pria itu masih kecil.

"Lucunya, apa ini kecilnya pria tadi? Hish, beda sekali dengan gambar di kartunya."

"Adara! Ayo kita makan!" teriak Ibunya dari luar, menata makanan yang sudah di belikan oleh Adara.

"Iya, Bu! Adara keluar." Adara menyimpan dompet tersebut di laci kamarnya, lalu beranjak keluar dari kamarnya.

"Kenapa lama sekali tadi? Ada masalah di jalanan heum?" tanya Ibu Lastri selaku Ibu angkat Adara, disela-sela makannya.

Adara menoleh ke Ibunya itu, lalu menduduki kursi di samping Ibunya. "Tidak Ibu, Adara tadi menunggu pesanan. Ramai di sana, mau tidak mau ya harus menunggu," jawab Adara dengan kekehan kecilnya di sela makannya.

Ibu Lastri mengangguk kecil. "Terus, bagaimana dengan pekerjaanmu heum? Apa diterima di kantor yang kau maksud kemarin?"

Adara terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Aku tidak diterima di sana," gumamnya sambil mencebikkan bibirnya.

Ibu Lastri sempat terkekeh melihat tingkah Anak angkatnya ini.

"Kau jangan lemas gini dong, semangat! Mungkin belum rezekinya juga."

Adara menganggukkan kepalanya. "Siap Bu Bos!"

Jujur saja Adara sangat beruntung mempunyai Ibu yang menyayanginya. Meskipun Ibu Lastri adalah bukan Ibu kandungnya. Senyuman Adara melebar, menatap Ibunya itu dengan dalam.

Ibu selalu beri semangat aku, terimakasih Ibu. Panjang umur selalu, batinnya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh MRS LEE

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku